Masjid (bukan) Sebagai Pasar Perbedaan: Tanggapan Terhadap Ulil Abshar-Abdalla

Khoirul Anwar
Khoirul Anwar

Oleh: Khoirul Anwar

Yang saya hormati dan yang saya muliakan, para alim, para ulama, para kyai, para ustadz dari berbagai organisasi masyarakat (ormas). Bapak Ulil Abshar Abdalla yang saya hormati dan yang saya muliakan, Pak Guntur (Romli), Pak Tedi, Mas Idos, sahabat –sahabati, hadirin-hadirat yang saya hormati dan yang saya muliakan.

Setahun yang lalu dalam acara seperti ini saya duduk bersama pak gun, pak tedi, namun tidak terasa, kini sudah satu tahun, sekarang tahun 2014. Waktu berjalan sangat cepat, tapi nasib berjalan di tempat, pak tedi masih jomblo.

Untuk isi jurnal secara garis besar sudah dijelaskan panjang lebar oleh Mas Guntur. Ibarat kitab kuning, jurnal justisia terbitan kali ini matan, dan mas Guntur memberikan syarh (komentar) dan hasyiyah (catatan) atasnya.

Saya berbeda dengan Mas ulil. Tadi Mas Ulil menyampaikan bahwa masjid dalam sejarah islam bersih dari ideologi. Sependek pembacaan saya, justru masjid-masjid dalam Islam atau rumah ibadah dalam Islam itu sangat kompleks, persaingan sangat ketat. Saya mencontohkan demikian, bahwa pembahasan masjid dalam fikih ada dalam bab jumu’ah, yakni tentang ta’addudul jumu’ah.

Bagaimana hukum mengadakan jum’atan lebih dari satu tempat dalam satu desa? Para ulama berbeda pendapat. Yang menarik, Syafi’iyah, Malikiyah, hanafiyah, hanabilah, mereka sepakat bahwa dalam satu kota, intinya dalam satu tempat tidak boleh ada jum’atan lebih dari satu, yang berarti tidak boleh ada masjid lebih dari satu. Kenapa demikian, karena pada saat itu masjid dipegang penuh oleh penguasa, artinya pimpinan politik tidak hanya berada dipersoalan partainya menang atau kalah, calegnya menang atau kalah. Bukan pada persoalan itu saja, tapi juga menentukan siapa yang harus menjadi imam sholat, siapa yang harus menjadi mu’adzin, dan lain sebagainya. Bahkan ketika terpaksa masjid tidak muat seumpama, tidak dapat menampung jamaah, lalu mengadakan jum’atan lain, yang berarti kita mengadakan masjid baru, maka jumatan mana yang sah? Maka dilihat imam atau pemimpin politik itu ada di masjid mana, masjid yang pertama atau masjid yang kedua.

Jika imam ada di masjid yang kedua maka jumatan di masjid kedua sah, dan yang pertama tidak sah. Artinya kompleks sekali, nah yang menarik itu, ini saya ada ibarot tentang itu, saya bacakan agar sesuai dengan temanya, keislaman.

Jadi begini, as-Sya’rani dalam karyanya, kitab al-Mizan, menjelaskan bahwa sesungguhnya persoalan ta’addudul jumu’ah murni sebagai persoalan politik, yakni ketika seseorang mengadakan jum’atan lain, mengadakan jum’atan lagi, sementara sudah ada jum’atan, maka masyarakat langsung akan mengira bahwa jum’atan yang kedua sebagai pembangkangan terhadap imam, pembangkangan terhadap pemimpin politik.

Baca Juga  Kartini dan Problem Perempuan Desa

Kemudian sekarang jika hal seperti itu atau illat seperti itu tidak ada maka apakah masalah kita mengadakan jum’atan lain atau membangun masjid lain? Tentu tidak. Kata as-Sya’roni, Fa hadza sababu qoulil a’immah innahu la yajuzu ta’addudul jumu’ati fil baladil wahid illa idza ‘asuro ijtima’uhum fi makanin wahid, fa buthlanul jumu’atits tsaniyati laisa li dzatish sholah, wa innama dzalika li khoufil fitnah.

Jadi di sini sebenarnya sedang menjelaskan ada dua jum’atan. Standar yang pertama yang dilakukan fuqaha’ kalau jum’atan yang pertama lebih dulu ketimbang jum’atan yang kedua maka jum’atan yang pertama sah dan jum’atan yang kedua tidak sah. Tapi kemudian memunculkan persoalan apabila jum’atan pertama tidak dihadiri oleh imam pemimpin politik, sementara jum’atan kedua dihadiri oleh pemimpin politik. Maka jum’atan kedua yang sah. Maka dapat disimpulkan bahwa alasannya ini bukan lidzatits tsaniyah, bukan karena persoalan sholatnya itu sendiri, wa innama li dzalika li khaufil fitnah. Insyaallah ini Islam banget, Bahasa Arab kok.

Bahkan dikatakan begini: Wa qod katabal imamu ‘umaru ibnul khathab ila ba’dli ‘ummalihi, aqimul jumu’ata fi masajidikum fa idza kana yaumal jumu’ati fajtami’u kullukum khalfa imamin wahid. Ini pesan umar.

Umar mengirim surat kepada semua pejabatnya saat itu, kepada menteri-menterinya saat itu agar mengadakan jumatan dipimpin oleh satu imam, tidak boleh banyak masjid. Karena seperti itu, kalau mengadakan jum’atan lagi maka dikira jum’atan kedua ini dianggap sebagai pembangkangan terhadap imam.

Kemudian dijelaskan oleh as-Sya’rani, fa lamma dzahaba al-ma’na (jika alasan ini hilang) yang berupa al-ladzi huwa khauful fitnah min ta’addudil jumu’ati jaza at-ta’addudu’alal ashli fi iqomatil jama’ah.

Dari sini saya hendak menyimpulkan bahwa sesungguhnya dalam persoalan pembangunan masjid di dalam Islam itu; satu, kita kalau membaca dari sini sangat dibebaskan tidak ada peraturan untuk membangun rumah ibadah, juga bahwa dalam Islam masjid itu tidak hanya sebagai -di sini saya ingin berbeda dengan mas Ulil- masjid itu bukan sebagai pasar yang menampung berbagai ideologi, tapi justru masjid itu bersih dari pertikaian ideologi, artinya masjid itu hanya dikuasai oleh aliran tertentu. Sehingga dalam I’anatut Tholibin atau syarah-syarah kitab fikih yang lain banyak penjelasan bagaimana kalau imamnya orang khawarij, sementara masjid itu dekat dengan kita, sementara masjid yang jauh imamnya sealiran dengan kita maka diperintahkan untuk keluar dari daerah itu, yakni mengikuti imam yang sealiran dengan kita. Itu sekilas gambaran dalam fikih.

Baca Juga  Reformulasi Demokrasi

Saya ingin kembali ke jurnal bahwa sebenarnya persoalan masjid itu kalau ditarik jauh ke masa jahiliyah sangat berkaitan erat dengan pemikiran pada masa itu. Pada masa jahiliyah, masjid atau tempat ibadah, tempat sujud, masjid itu sebagai simbol kekuatan suku, juga sebagai tempat untuk membuka fasilitas perekonomian rakyat. Saya mencontohkan seperti tiga rumah ibadah yang disebutkan al-Quran, afaro’atumul lata wal ‘uzza wa manatats tsalitsatal ukhro, ada lata, ada ‘uzza, dan ada manah. Saat itu paganisme Arab atau penyembah berhala semuanya thawaf di Ka’bah, jadi ka’bah itu tidak hanya tempat thawaf milik umat Islam, tapi jauh sebelum Islam datang, ka’bah menjadi tempat thawaf semua umat beragama, kemudian orang Taif menginginkan supaya penduduk Taif perekonomiannya lancar, juga memiliki pengaruh bahwa Taif juga mampu menciptakan kekuatan sebagaimana kekuatan makkah, membangun al-lata. Al-Lata ada di Taif, orang Makkah membangun ‘Uzza, orang Tsaqif di Yatsrib membangun Manah.

Dari sisi seperti ini kita melihat bahwa pembangunan rumah ibadah itu tidak semata-mata berharap akan mendapat pahala yang banyak, tapi ada sisi-sisi duniawinya seperti ini. Kemudian islam datang, yang menarik menurut saya, bahwa ada beberapa rumah ibadah yang tidak dihancurkan dalam sejarah Islam seperti gereja, tapi kenapa rumah ibadah dihancurkan. Baitul lata, baitul ‘uzza, baitu manah, semuanya dihancurkan.

Nah hal-hal seperti ini sesungguhnya yang hendak digagas dalam jurnal kan desakralisasi masjid, saya dan teman-teman bukan hendak mengotori masjid, tapi hendak menyadarkan kita dalam memposisikan masjid. Saat ini ada sebagian umat Islam yang mengharuskan orang yang masuk masjid harus yang sealiran. Kalau tidak sealiran masuk masjid maka masjid harus dibersihkan, harus disucikan, mungkin ini berkaitan dengan konsep takfir. Tapi seakan-akan masjid itu tempat yang suci, masjid itu tempat yang sangat sakral. Kita main gitar di dalam masjid tidak diperbolehkan, atau kita nyanyi-nyanyi di dalam masjid tidak diperbolehkan, karena itu sebagai rumah tuhan, rumah suci, rumah yang disakralkan, padahal -tapi tentu terserah yah ini mau percaya atau tidak soal keberadaan hadis ini- ini ada hadis yang saya kutip dari shahih muslim yang kemudian dikomentatori oleh Imam an-Nawawi, bahwa salah satu keistimewaan umat nabi itu katanya wa ju’ilat lanal ardlu kulluha masjidun. Bahwa salah satu keistimewaan umat nabi Muhammad masjid itu semua hamparan bumi, tidak terkotak dalam satu tempat tertentu, ini boleh beribadah di sini, ini tidak, tidak, tapi kulluha masjidun, semuanya adalah masjid.

Baca Juga  Catatan Tengah Tahun Kebebasan Beragama di Jawa Tengah 2016

Ini juga kemudian berkaitan dengan fa ainama tuwallu fa tsamma wajhullah, kita berada di dalam masjid, dalam arti masa sekarang juga di situ ada wajah tuhan, kita sholat di dalam gereja juga di situ ada wajah Tuhan, kita sholat di mushola sunan kuning seumpama, juga ada tuhan, dan lain sebagainya, fa ainama tuwallu fa tsamma wajhullah. Nah sementara bahwa konsep dengan membatasi masjid, bahwa beribadah harus berada di tempat yang seperti ini, ini kemudian jadi bermasalah karena seperti kita baca dalam literatur fikih klasik bahwa seorang muslim tidak boleh sholat di dalam gereja, muslim tidak boleh sholat di tempatnya orang Yahudi, dan sebagainya, itu akibat dari pembatasan rumah ibadah versi fuqaha ini. Kemudian hal lain yang berkaitan dengan masjid bahwa sekarang ini yang menjadi problem, masjid sering kali menjadi sarana untuk mencapai kekerasan atau sumber untuk menciptakan kekerasan dengan khutbah-khutbahnya yang keras, jihad dan lain sebagainya, itu keluar dari dalam masjid.

Sementara kalau kita melihat keberadaan masjid pada masa rasulullah ketika ada nashara najran bertamu kepada rasulullah, rasulullah menempatkannya di masjid. Bahkan nashrani mengadakan misa di masjid beliau, hampir seakan-akan kata sejarawan sebagaimana yang dikutip oleh Fahmi Huwaidi dalam masjid itu terdapat ada orang yang beribadah menghadap ke Tuhan Islam, sebagian lagi menghadap  Tuhan kepercayaannya. Itu artinya masjid sebagai rekonsiliasi, sebagai tempat islah, dalam hal ini nabi menjadi al-mushlih atau pendamai dua suku yang bermusuhan, dua agama yang bermusuhan, perselisihan diselesaikan di masjid. Tapi sekarang, masjid itu bukan sebagai tempat ishlah, sebagai tempat yang memperdamaikan tapi justru menjadi tempat yang memproduksi kekerasan. Oleh karena itu melalui jurnal desakralisasi masjd teman-teman hendak menyatakan bahwa sesungguhnya masjid itu bukan tempat yang istimewa, masjid itu sama seperti tempat-tempat lain, itu hanya bangunan, kita bisa sholat di luar bangunan itu.

Bahkan melaui penyekatan rumah ibadah ini berbahaya lagi seringkali standar kesalehan seseorang diukur dengan seberapa rajin seseorang pergi ke masjid. Kalau setiap sholat, maghrib, isya, shubuh, dzuhur, ashar, pergi ke masjid maka itu disebut orang saleh. Sementara orang yang sholat di rumah walaupun menjalankan sunnah qabliyah, ba’dliyah, tapi itu tidak saleh.

Mungkin itu sekedar pengantar diskusi, pembicara utama sebenarnya tadi sebelum saya dan ini setelah saya. Saya hanya menengah-nengahi, atau istilahnya iklan.

Terimakasih, wal’afwu minkum, wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini