[Semarang –elsaonline.com] Beberapa waktu lalu, Andree Feillard peneliti masalah Nahdlatul Ulama (NU) menyempatkan berdiskusi dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah. Dalam silaturahminya di kantor PWNU, Andree bertanya tentang perkembangan terbaru di Jawa Tengah.
“Di wilayah, perkembangan menarik apa ya? Ada sesuatu yang menarik?” tanya Andree. Mantan Ketua PWNU, Drs. H. Moh Adnan menjawab dengan setengah bercanda meski benar adanya. “Ya ini Syuriyah kita (KH. Ubaidullah, red). Setahu saya belum pernah ada Syuriyah yang sarjana hukum,” kata pengajar Ilmu Politik di Universitas Diponegoro itu.
Dalam diskusi itu, Adnan menambahkan bahwa pemikiran NU dengan karakternya yang moderat, masih terus menerus bertahan. “Dulu, moderasi NU itu didominasi kalangan pesantren. Tapi sekarang, meski ada kalangan non pesantren, tetapi pikiran moderasi Islamnya tidak putus,” papar Adnan.
Berbeda dengan Adnan, Ketua PWNU Jateng, Abu Hapsin menyoroti karakter moderat di kalangan NU dari aspek historisnya. “Dulu, moderasi NU itu karena mewarisi karakter moderat para ulama. Sekarang, perilaku moderat itu coba dikemas secara metodologis. Anak-anak muda memberikan bungkus metodologis pada pikiran-pikiran moderat tersebut. Dengan kata lain, moderasi itu dijustifikasi oleh metodologi yang 10 tahun lalu belum ada. Sarjana-sarjana NU sekarang sudah bisa membungkus metodologi yang accptable academically,” terang Abu.
Berbeda dengan Abu, KH. Ubaidullah Shodaqoh, Rais Syuriyah PWNU menandaskan bahwa moderatisme NU memiliki konteks yang berbeda. “Dulu, moderasi itu respon dari keadaan. Penetapan Soekarno sebagai waliyyul amri al-dharuuri bis syaukah dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal adalah sesuatu yang mesti diterima. Moderatisme NU pada era tersebut ada pada situasi itu,” jelas Kyai Ubed.
Bedanya dengan sekarang adalah moderatisme itu sendiri sebagai barang yang ditawarkan oleh NU itu sendiri.
Abu Hapsin menambahkan bahwa meskipun saat itu sifat dari moderatisme NU itu karena responsif, tetapi jika tidak ditunjang dengan kesiapan secara psikologis maka para ulama juga tidak bisa menerima hal tersebut. “Untungnya, NU punya modal psikologis itu,” urai alumnus Mahidol University, Thailand tersebut.
Andree kemudian mengatakan bahwa faktnya sekarang ada kalangan NU berhaluan konservatif di tubuh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, mengenai besaran kalangan moderat di NU.
Menjawab kekhawatiran Andree, Abu mengatakan kalau moderasi itu bukan titik, tetapi gejala kontinum. “Ada yang moderat dan dekat ke fundamentalisme dan liberalisme,” tukas Abu. Di NU, Abu melanjutkan variasi pemikiran itu ada dan banyak. Corak dan ragam pemikiran NU itu heterogen. Dan tidak bisa mencari titik temu untuk satu paham keagamaan. “Tapi paling tidak, kalau yang terjadi di masyarakat seperti itu, maka yang perlu diperhatikan adalah kebijakan organisasi. Ini yang bisa dilihat, apakah kebijakan ini representasi dari mana,” tegas Abu. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]