Dimensi Lokal dan Global dalam Gerakan Transnasional

Oleh: Tedi Kholiludin

Mengapa kelompok-kelompok tertentu tertarik dengan ideologi keagamaan yang melintas batas-batas teritori dan negara? Sejumlah riset menggambarkan tentang bagaimana kesempatan serta peluang itu dimanfaatkan sejumlah agen dan ditangkap oleh mereka yang kemudian turut bergabung didalamnya. Saya coba merujuk pada beberapa riset yang menjelaskan fenomena dan situasi tersebut.

Kirsten Schulze dan Joseph Liow (2018) membandingkan fenomena ketertarikan kelompok kecil kepada gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang terjadi di Malaysia dan Indonesia. Keduanya membaca aspek transnasional dan dimensi lokal dari tiap negara yang berkontribusi pada perkembangan ISIS. Selain ideologi yang bersifat transnasional, faktor lokal juga tak bisa diabaikan. Menurut keduanya, dinamika politik dan keagamaan lokal memainkan peran kunci dalam menciptakan lingkungan yang kondusif dan fasilitatif.

Absennya negara, terang Schulze dan Liow, terjadi di Indonesia dan hal tersebut menjadi pintu masuk bagi ideologi transnasional. Di Malaysia, yang terjadi justru sebaliknya. Kehadiran negaralah yang secara tidak sengaja berkontribusi pada radikalisasi pro-ISIS melalui Islamisasi politik dengan cara yang selaras dengan unsur-unsur ideologi dan agenda ISIS.

Riset lain dilakukan oleh Ihsan Yilmaz (2010), mengenai keberhasilan dan kegagalan Hizbut Tahrir di empat negara. Gagal di Mesir dan Turki, tetapi cukup menjangkarkan pengaruh di Uzbekistan dan Inggris. Singkatnya, kata Yilmaz, mengapa Hizbut Tahrir berhasil adalah karena faktor kurangnya kepemimpinan komunitas Bersama, plus kurangnya intelektual serta keilmuan komunitas muslim. Akibatnya, retorika Hizbut Tahrir yang sederhana hampir tak tertandingi. Selanjutnya bisa dibaca analisis mengenai soal ini dalam artikel yang juga saya tulis di laman ini.

Kajian lainnya membahas mengenai antara interseksi antara elemen transnasional, nasional dan lokal dalam politik Islam. Tulisan ini dikerjakan oleh Delmus Puneri Salim (2015) yang memotret kasus Sumatera Barat, Indonesia. Salim menyisir aspek keuangan Islam, zakat, pendidikan, serta perilaku dan pakaian.

Baca Juga  Driyarkara, Pancasila dan Manusia

Di level lokal, kata Salim, peraturan berbasis agama, dalam banyak hal, dapat dilihat sebagai upaya para politisi dan pejabat lokal untuk menggunakan Islam sebagai sarana untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Juga termasuk kekuasaan untuk membuat orang bertindak dengan cara tertentu. Pemerintah nasional, kata Salim, menjalankan kewenangannya di bidang yang ditentukan oleh hukum nasional. Otonomi daerah telah membuka peluang baru bagi politisi dan pejabat lokal untuk menjadikan Islam sebagai modalitas yang ampuh sebagai sarana elektoral. Sementara, Islam transnasional menyediakan bahan, bentuk, dan jaringan yang memungkinkan perumusan peraturan Islam itu bisa tercipta dan terimplementasi.

Riset-riset diatas menggambarkan sebuah benang merah. Keberhasilan (termasuk ketidakberhasilan) infiltrasi ideologi global tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ideologi saja, tetapi juga ada lingkungan lokal yang memberikan ruang bagi tumbuh dan berkembangnya ideologi tersebut. Lingkungan lokal itu bisa berasal dari sejarah, kultur, kesempatan secara politik maupun peraturan.

***

Untuk bisa diterima oleh komunitas di lokus tertentu, ideolog gerakan transnasional melakukan pelbagai upaya. Salah satunya adalah dengan mencari ketersambungan antara ide yang dimilikinya dengan modal budaya masyarakat tertentu. Salah satu yang bisa kita temukan untuk menggambarkan fenomena ini adalah film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang rilis tahun 2020.

Film ini sempat menjadi pro dan kontra. Kalangan akademisi dan sejarawan merasa bahwa ini produksi film yang seolah-olah menunjukan justifikasi historis bahwa kesultanan di Nusantara merupakan bagian dari Kekhilafahan Turki Usmani. Dua pertanyaan bisa diajukan dalam kasus ini. Pertama, apakah Turki Usmani merupakan representasi Kekhalifahan. Kedua, betapapun ada relasi diplomatik atau akademik, apakah itu artinya Kesultanan Nusantara adalah bagian dari Kekhalifahan Turki Usmani.

Baca Juga  “The Force Be With You” dan Kebiasaan Berkunjung

Lepas dari gugatan yang dialamatkan pada film tersebut, semangat untuk melakukan penetrasi terhadap atmosfer lokal, nampaknya akan terus diupayakan. Potensi lokal sangat berperan untuk membungkus atau setidaknya menjadi instrumen bagi transformasi ideologi-ideologi global atau transnasional.

Meski demikian, pada saat yang bersamaan, semangat lokal juga bisa membuat ideologi transnasional itu tidak memiliki ruang. Pancasila itu digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Identitas ini mencerminkan karakter yang menjadi pegangan bangsa Indonesia menghadapi derasnya penetrasi ideologi transnasional. Dalam kasus ini, lokalitas menjadi “counter ideology.”

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2023

Laporan tahunan kehidupan keagamaan di Jawa Tengah tahun 2023...

Nahdlatul Arabiyyah Semarang: Jejak Keturunan Arab yang Terlupakan

Oleh: Tedi Kholiludin Pertumbuhan organisasi keturunan Arab di Hindia Belanda...

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini