Memaknai Partisipasi Politik Perempuan dalam 22 Tahun Reformasi

Oleh: Alhilyatuz Zakiyah Fillaily (Devisi Kajian dan Riset Gender eLSA)

Gerakan perempuan dan demokrasi, adalah wacana yang terus hidup untuk didiskusikan di lingkungan aktivis gerakan sosial. Dalam konteks gerakan sosial, gerakan perempuan dan demokrasi adalah dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Hemat saya, gerakan sosial yang telah banyak didefinisikan oleh sosiolog kontemporer, dapat dirumuskan sebagai suatu proses perubahan sosial melalui upaya kolektif dengan semangat revolusioner.

Dalam sejarahnya, demokrasi bersanding dengan kebebasan (freedom) dengan segala prosedurnya yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang. Secara singkat, demokrasi merupakan bentuk institusional dari kebebasan. Maka, bersandar dari argumen ini, untuk melihat apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis atau tidak terletak pada sejauh mana pemerintahan tersebut berjalan pada prinsip; prinsip konstitusi, hak asasi manusia, dan persamaan warga negara di hadapan hukum. Dalam realitas politik dewasa ini, di seluruh dunia, eksistensi dan keterwakilan perempuan di dalam proses pembuatan kebijakan adalah hal yang penting. Politik dinormakan secara luas untuk mampu melibatkan peran dan partisipasi perempuan pada proses didalamnya.

Diantara unsur-unsur demokrasi adalah adanya negara hukum, masyarakat sipil (civil society) dan adanya aliansi kelompok strategis seperti pers, partai politik dan kelompok gerakan (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2003: 78-80). SIP (Suara Ibu Peduli) membangun perlawanan politik dengan aksi di jalan, di tengah “siaga satu” yang berarti aparat keamanan dibolehkan untuk menembak mati para demonstran yang dianggap berbahaya pada tanggal 23 Februari 1998 di tempat dan aksi menutup tahun lalu oleh Jaringan Muda Setara di bundaran HI pada tanggal 8 Desember 2019 untuk menuntut keadilan kasus SA, meski berkali-kali diusir Satpol PP. Dua aksi tersebut adalah contoh bentuk hadirnya masyarakat sipil yang menekan kebijakan pemerintah untuk berpihak pada mereka yang berposisi sebagai “korban”.

Memaknai (kembali) Partisipasi Politik Elektoral Perempuan

Dalam pengertian yang lebih luas, menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries memahami partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi itu bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif (Miriam Budiardjo, 2008: 368). Dari penjelasan tersebut pemahaman partisipasi politik lebih dekat dengan aktivitas keseharian kita. Artinya, tidak perlu mencalonkan diri dulu memenuhi kouta 30 persen di DPR atau lembaga politik formal lainnya untuk dapat melakukan sebuah partisipasi politik. Atau ukurannya tidak hanya saat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suara atau memilih tidak melakukan itu. Sebab tidak memilih juga bagian dari partisipasi politik.

Partisipasi politik juga berwujud dalam kolompok yang memberikan posisi dari analisa kritis atas kebijakan pemerintah. Sebut saja New Social Movements (NSM) dalam bahasa para ahli politik yang kemudian berganti nama menjadi Non-Govermental Organizations (NGO). Sedangkan di Indonesia sebut saja namanya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM hadir dalam wajah civil society atau masyarakat sipil yang selalu memimpikan kesejahteraan dan keadilan bersama. Ini bisa dilihat sebagai partisipasi politik non elektoral. Sedangkan politik elektoral ialah segala proses politik yang berjalan berdasarkan prosedur negara.

Partisipasi politik ini merupakan cermin dari demokrasi sebuah negara. Seseorang yang berpartisipasi melalui proses ini tentu memiliki dorongan kuat supaya terjadi perubahan, dapat memengaruhi kebijakan dan memiliki efek politik (political efficacy). Konteks di Indonesia dalam partisipasi politik elektoral perempuan baru saja diperbincangkan sejak tahun 2002 dengan mengadopsi kebijakan afirmatif. Pada Pemilu tahun 2004 pertama kalinya keterwakilan perempuan hadir. Menurut Soetjipto (Jurnal Perempuan edisi 101: 20), kebijakan afirmatif ini merupakan kerjasama tiga kelompok antara perempuan yang berjuang di akar rumput, perempuan di partai politik, dan perempuan anggota legislatif.

Baca Juga  Adakah Tempat Bagi Pramuria Dalam Agama?

Hasil dari advokasi aktivis perempuan adalah UU No. 2 tahun 2008 berisi kebijakan yang mewajibkan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dan UU No. 10 tahun 2008 yang menegaskan adanya syarat partai politik sekurang-kurangnya memiliki 30% keterwakilan perempuan di pengurusan partai politik tingkat pusat. Peraturan lain adalah Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 tahun 2008 tentang sistem zipper yang mengatur setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 perempuan. Tetapi yang menjadi permasalahannya adalah keterwakilan perempuan di parlemen yang diperjuangakan oleh aktivis perempuan non elektoral, tidak menjamin kebijakan pemerintah menjadi pro persoalan gender. Sangat mengenaskan.

Melalui tulisan ini, saya ingin memunculkan sebuah permasalahan bahwa keterwakilan perempuan untuk duduk merespon persoalan negara sangat dibutuhkan, karena dianggap akan mewakili suara-suara perempuan yang senyap. Lalu pertanyaannya adalah apakah sistem demokrasi memposisikan perempuan setara di parlemen?

Melalui metode tutur perempuan yang pernah saya fasilitasi pada 31 Agustus 2019, saya mendengarkan cerita yang diungkapkan oleh perempuan-perempuan muda terkait bagaimana pengalaman berorganisasi di lingkup kampus. Ada pembelajaran penting dari 4 mahasiswi yang mengaku mendapat tantangan berlapis ketika aktif di organisasi.
Ia bernama E. Ketika pertama kali bergabung di salah satu teater di kampusnya dirinya sering di tempatkan di bagian domestik, untuk mengurusi konsumsi kegiatan. Sedangkan si D juga memiliki cerita yang sama, bahwa perempuan harus dua kali kerja ketika harus membuktikan dirinya militan dan memiliki kemampuan. Polanya biasanya sampai semester 3 baru berpindah membantu mengurus hal strategis dari sebuah organisasi.

Cerita yang saya dengar dari tutur perempuan memiliki kesamaan pengalaman dengan kisah yang didokumentasikan oleh Jurnal Perempuan edisi 101. Dalam cerita menjelaskan bahwa patriarki membuat agenda politik perempuan menjadi lemah. Begini kesaksiannya;

Saya pimpinan dewan yang pertama dan satu-satunya di Kota Yogyakarta untuk saat ini. Jadi tahun pertama dan tahun kedua adalah tahun terberat bagi saya untuk membuktikan bahwa saya juga mampu menjadi pimpinan dewan. Itu berat sekali. Dicemooh, diomongin yang macem-macem, jadi saya hanya tutup kuping saja. (Ririk Banowati, wawancara 14 April oleh Jurnal Perempuan)

Dilanjutkan pula bahwa permasalahan organisasi sayap perempuan partai di partai politik yaitu; pertama, masih bersifat patron, artinya keaktifan sebuah organisasi sayap partai ditentukan oleh keaktifan ketuaya, begitu juga agenda yang didorong. Kedua, organisasi sayap perempuan partai di beberapa daerah masih sangat ekslusif, yakni diisi oleh perempuan yang memiliki kedekatan dengan elite partai dan kerap kali tidak mengikutsertakan perempuan dari kelas sosial lain, hal ini dipengaruhi oleh ego eksistensi sebagian. Ketiga, kepemimpinan perempuan dalam organisasi sayap partai tidak menjamin keberpihakannya terhadap agenda politik perempuan (Jurnal Perempuan, 2019: 141).

Terbitnya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan Nasional telah mengakomodir keterwakilan perempuan, tetapi dengan praktik yang tidak maksimal dan harus ditingkatkan. Melalui berita di https://www.kpu.go.id/ menginformasikan bahwa sebanyak 575 anggota DPR RI 2019-2024 terpilih resmi dilantik dan diambil sumpahnya pada 1 Oktober 2019 lalu. Dari jumlah itu sebanyak 463 orang (80,52 persen) adalah laki-laki dan 112 orang (19,48) perempuan. Pada pemilu serentak pertama ini terjadi peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen bahkan jika ditarik lebih ke belakang, jumlahnya jadi yang tertinggi dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Kita bisa lihat pada Pemilu 1999 jumlah anggota DPR RI perempuan yang terpilih sebanyak 44 orang (9 persen), angkanya meningkat di Pemilu 2004 menjadi 65 orang (11,3 persen). Di pemilu berikutnya, 2009 keterwakilan perempuan meningkat kembali menjadi 100 orang (18 persen), namun di Pemilu 2014 angkanya sempat menurun menjadi 97 perempuan (17 persen) yang lolos ke Senayan. Kita patut berbahagia bahwa peningkatan kembali terjadi di Pemilu 2019 dimana anggota dewan dari perempuan mencapai 112 (19,48 persen).

Baca Juga  Antisemitisme dan Relasi Muslim-Yahudi di Indonesia

Selanjutnya, partisipasi politik di tingkat non elektoral, dalam 20 tahun terakhir dan sampai sekarang, saya mencatat beberapa langkah feminisme dari perempuan pejuang yang mengupayakan adanya ketersambungan dengan politik elektoral. Mereka adalah, Eva Bande di Sulawesi Tengah yang divonis hukuman penjara 4 tahun pada tahun 2014 karena mengorganisir petani melawan korporasi PT KLS yang ingin menutup lahan pertanian dijadikan perkebunan kelapa sawit. Yu Patmi, dan para perempuan pegunungan Kendeng yang melakukan aksi menyemen kaki pada tahun 2017 menolak PT Semen Indonesia yang akan didirikan di Pati, Jawa Tengah. Aleta Baun di kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengorganisir perempuan untuk melawan tambang murmer sejak tahun 1999-2012. Aksinya yaitu menduduki tambang murmer dengan menenun selama 2 bulan di desa Fatumnasi dan Kuanoel, bersama perempuan Molo aksi mengeluarkan payudara untuk menunjukkan jika tanah diambil, sama halnya air susu ibu diambil. Aksi petani perempuan di Dusun Selasih, Gianyar, Bali melepaskan baju mengusir polisi yang ingin mengeksekusi perkebunan warga yang diklaim milik PT Ubud Resort Development. Selanjutnya adalah aksi Kamisan sejak 18 Januari 2017 sampai sekarang, yang digagas oleh seorang Ibu yang kehilangan anaknya dalam peristiwa tragedi Semanggi I tahun 1998. Dan aksi solidaritas untuk SA, yaitu atlit yang dipulangkan karena tuduhan tidak perawan oleh aktivis feminis Jaringan Muda Setara pada tanggal 8 Desember 2019, serta aksi lainnya.

Beberapa aksi di atas menggambarkan bahwa gerakan di akar rumput kaya akan metode dan kuat dalam militansi. Dalam memaknai partisipasi politik non elektoral perempuan dan partisipasi politik elektoral perempuan, sekarang seakan terpisah dan memiliki strategi yang berbeda. Tetapi sangat penting sekali untuk selalu mendialogkan keduanya, menjembatani untuk mencari titik temu membuka wacana dan impiannya adalah mengkonsolidasikan gerakan bersama. Gerakan perempuan di akar rumput juga perlu mengintervensi politik elektoral dengan memiliki sikap yang tidak anti terhadap pemerintahan, tetapi memanfaatkan segala peluang untuk perjuangan, tidak menjadikannya basis dan tidak perlu masuk ke politik elektoral.

Jika dicari lagi permasalahannya adalah budaya patriarki di lingkaran perempuan yang mengakar menyebabkan adanya sistem tidak bisa saling mendukung. Akibatnya yaitu proporsi keterwakilan perempuan saat ini di parlemen sifatnya hanya sebagai pelengkap, bukan prioritas dan tidak strategis.

Semarang dan Suara Reformasi Dikorupsi: Mengurai Langkah Feminisme

Partisipasi poitik perempuan di ranah non elektoral seringkali membawa langkah perjuangan feminis dan lebih bersifat strategis. Bahkan seringkali upaya itu jika dibawa ke politik elektoral tantangan dan kegagalannya lebih besar. Di bagian ini, saya ingin mengurai tentang wacana apa saja dan dinamika apa yang terjadi dalam konteks kota Semarang.

Secara wacana, pergerakan perempuan di Semarang yang mayoritas adalah organisasi perempuan sayap organisasi mahasiswa kampus atau organisasi perempuan bentukan kampus sering mendiskusikan tentang wacana nasional di lingkungan kampus. Seperti diskusi RUU PKS, buruh perempuan, dan tentang isu apa saja yang berkaitan dengan gender.

Saya mengamati bahwa sejak tahun 2019 gerakan sosial dari berbagai isu bersatu menyepakati bahwa situasi politik hari ini menjadi isu bersama. Ini yang memicu adanya gerakan sosial baru misalnya anak SMK yang ikut turun aksi tanpa dimobilisasi. Puncak dari berbagai aksi di seluruh Indonesia adalah pada bulan September 2019. Pergerakannya di Semarang dimulai saat aksi Kamisan 19 September 2019 yang bertema “Bahaya RKUHP”. Lalu dilanjutkan dengan beberapa kali diskusi dan konsolidasi. Aksi serentaknya adalah pada tanggal 24 September 2019.

Kemudian konsolidasi lanjutan pada tanggal 29 September 2019 dengan tema “Mengawal Tuntutan dan Menyikapi Tindakan Represif Aparat” yang hanya satu kali menghasilkan kesepakatan aksi bersama 30 September 2019. Terdapat 8 tuntutan yaitu; (1) menuntut DPR RI mencabut draft RUU KUHP, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan mengesahkan RUU PK, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat, (2) menuntut Presiden mengeluarkan Perpu Pencabutan UU KPK dan UU Sumber Daya Air, (3) menuntut Presidek memberikan sanksi tegas kepada korporasi pembekaran hutan, (4) menuntut Kepolisian RI membebaskan dan menghentikan kriminilasisasi aktivis Papua, pejuang HAM, dan bertanggungjawab atas pemulihan nama baik setiap aktivis, menghentikan segala intimidasi terhadap masyarakat Papua, (5) menuntut pemerintah menjamin terlaksananya pemberian jasa layanan kesehatan BPJS yang baik dengan skema pembiayaan yang ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah sebagai lembaga yang berkewajiban untuk memenuhi hak atas kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia, (6) menuntut pemerintah mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM masa lalu, dan (7) menuntut pemerintah mewujudkan pendidikan yang demokratis, gratis, dan transparan dalam keuangannya, menghentikan komersialisasi pendidikan yang mengakibatkan akses pendidikan semakin sulit diperoleh oleh seluruh rakyat Indonesia, meningkatkan kesejahteraan guru honorer dan meningkatkan guru honorer golongan K2 menjadi PNS dan atau PPPK, dan memotoratorium kebijakan PPG bagi lulusan LPTK.

Baca Juga  Ini Lima Usulan Forum Kesetaraan dan Keadilan Gender pada Musrenbang Pemprov Jateng

Adanya berbagai RUU baru yang pembahasannya diutamakan membuat banyak pihak marah dan kecewa. Itu semua merupakan serangan terhadap demokrasi dan keberagaman saat ini. Banyak perempuan dan minoritas seksual yang berdomisili di Semarang turut terlibat turun ke jalan untuk menyuarakan protes kepada pemerintah. Sedangkan untuk isu RUU PKS sendiri yang tidak selesai di pembahasan DPR tahun ini dan menjadi pembahasan DPR selanjutnya sempat membuat pejuang agenda feminis ini hopeless dan pasrah. Oleh karena itu tahun 2019, orang-orang menyebutnya sebagai tahun reformasi dikorupsi.

Saya sendiri melihat bahwa kota Semarang telah memiliki jaringan kuat dalam isu perdamaian dan toleransi. Tetapi aksi itu berhenti pada upaya pencegahan intoleransi terhadap umat beragama tertentu atau yang termarjinalisasi. Akibatnya gerakan itu hanya berhenti pada situasi sosial dan luput dari situasi ketubuhan. Kaitannya intoleransi, intoleransi pada tubuh seharusnya menjadi kepentingan bersama. Ini berdampak juga pada cara menyikapi kalangan minoritas seksual, atau LGBTIQ yang sering tidak terdengar lantang. Intoleransi pada tubuh juga dapat menyerang siapa saja, termasuk perempuan. Karena situasi intoleransi dimanapun berada, akan mendisiplinkan tubuh perempuan untuk dipatuhkan menjadi tubuh yang patuh (decile bodies) mengikat ajaran ekslusif.

Langkah feminisme di Semarang, memiliki jaringan yang cukup kuat tetapi stagnan. Bahkan dengan meluasnya kasus kekerasan seksual, banyak inisiatif yang mengutamakan gerakannya mengubah haluan menjadi pendamping tanpa terlebih dahulu menguatkan anggota perempuannya. Yang menjadi keresahan bersama ialah bagaimana menjadikan suara korban sebagai inspirasi yang memiliki kekuatan bahwa kondisi ini memang sangat darurat dan penanganannya juga harus dengan langkah cepat. Hal itu bukan menjadi upaya yang sulit diwujudkan, melainkan harus berusaha keras diwujudkan di Indonesia yang memiliki pemerintahan yang kolot. Sehingga upaya itu menjadi trobosan politik yang kuat sebagai langkah feminisme.

Potret tentang intoleransi terhadap tubuh ini menjadi pijakan saya dalam menyuarakan tubuh sebagai alat perjuangan demokrasi perempuan. Sebab intoleransi itu menyasar hak atas tubuh itu sendiri. Jika ditarik di tingkat negara, negara tidak perlu mengurusi persoalan tubuh sebab setiap tubuh adalah otoritas bagi pemiliknya. Jika tanah rampas, apakah tubuh juga dirampas?

Perjuangan selanjutnya adalah tentang rumitnya penyelesaian kasus KS di kampus. Kasus KS di UNDIP dan UIN Walisongo Semarang memberikan pembelajaran penting bahwa penyelesaiannya sangat lambat, bahkan hak kebenaran korban dengan mengakui mereka adalah korban tidak serta merta disepakati oleh birokrasi kampus. Apalagi sampai pada pemulihan, adalah sebuah pekerjaan bersama untuk sampai pada jalan keadilan. Saya membayangkan bagaimana kondisi kampus-kampus lain di Semarang? Jalan keadilan memang sepi dan tidak menarik bagi banyak orang.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini