Oleh: Naufal Sebastian (LBH Semarang)
Angka kekerasan seksual dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan setiap tahunya. Data catatan akhir tahun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menunjukan data bahwa pada tahun 2018 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan meningkat sebesar 14%. Tahun 2017 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sebanya 348.466 kasus, sementara tahun 2018 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sebanyak 406.178 kasus. Dari jumlah tersebut sedikitnya 6.645 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Perempuan menjadi kelompok paling rentan menjadi korban kekerasan seksual. Stuktur sosial patriarki menciptakan ketimpangan struktur sosial, politik dan ekonomi sehingga menempatkan perempuan sebagai golongan kelas kedua.
Di Indonesia, korban kekerasan seksual yang mayoritas adalah perempuan sulit untuk mengakses keadilan. Selain karena kondisi sosial, ekonomi dan politik yang menempatkan perempuan sebagai kelompok inferior daripada laku-laki, juga karena negara ini tidak memiliki instrumen hukum yang memadai untuk melindungi korban kekerasan seksual. Tidak sedikit korban kekerasan seksual yang menjadi korban untuk kedua kali (secondary victim) ketika berusaha mendapatkan keadilan. Selain stereotip negatif dari masyarakat sebagai korban kekerasan seksual, penegak hukum yang tidak memiliki perspektif gender juga menjadi tantangan bagi korban kekerasan seksual yang menempuh jalur hukum. Perspektif maupun mentalitas aparat penegak hukum tentu sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya patriarki dan minimnya instrumen hukum yang melindungi korban kekerasan seksual.
Baiq Nuril adalah salah satu contoh perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan mendapatkan ketidakadilan bertubi-tubi. Baiq Nuril merupakan guru honorer di SMAN 7 Mataram yang menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah di sekolah tempatnya mengajar. Baiq Nuril justru dikriminalkan dengan dakwaan melanggar Pasal 27 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena merekam peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya. Sementara terduga pelaku pelecehan seksual tidak diproses hukum.
Negara perlu melakukan redefinisi mengenai kekerasan seksual. Saat ini instrumen hukum kita hanya mengenal mengenai perbuatan cabul dan perkosaan, sementara bentuk-bentuk kekerasan seksual berkembang seiring perkembangan sosial masyarakat. Kekerasan seksual harus dimaknai dengan perbuatan fisik maupun nonfisik yang merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Dinamika Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menempuh jalan terjal. Harapan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat disahkan menjadi Undang-Undang di bulan November 2019 kandas setelah Ketua DPR RI dalam pidato Penutupan Rapat Paripurna tanggal 30 September 2019 mengatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai salah satu RUU Prioritas yang belum dapat diselesaikan (www.idntimes.com). Dalam pidato Ketua DPR RI ditegaskan bahwa regulasi untuk pemenugan hak korban kekerasan seksual bukan hal prioritas bagi DPR RI Periode 2014-2019, meskipun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk dalam daftar program legislasi nasional prioritas sejak tahun 2016 (www.idntimes.com).
Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) adalah bagian dari elemen yang menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Penolakan terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini terjadi karena disinformasi yang diciptakan oleh orang-orang yang tidak ingin adanya regulasi yang melindungi korban kekerasan seksual dan misinformasi dengan narasi bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah instrumen hukum yang melegalkan seks bebas dan lesbian, gay, biseksual dan transgender. Narasi tersebut bisa diciptakan dan bisa juga timbul dari ketidakpahaman dalam melakukan penafsiran hukum dan sikap yang menegasikan pengalaman pendaping dan korban kekerasan seksual.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan instrumen hukum yang mengatur tindak pidana khusus. Sebagai rumpun hukum pidana, analogi tidak boleh digunakan dalam interpretasi/penafsiran suatu ketentuan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pasal-pasal yang ada dalam setiap peraturan perundang-undangan tentu harus ditafsirkan sesuai dengan kaidah penafsiran hukum.
Setidaknya ada 3 (tiga) jenis model penafsiran hukum, yaitu; pertama penafsiran gramatikal yaitu berarti ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tata bahasa. Kedua, penafsiran Sistematis yaitu berarti ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan meninjau susunan yang berhubungan/keterkaitan antara Pasal-pasal yang ada. Ketiga, penafsiran historis yaitu berarti dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang melatarbelakangi lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut.
Narasi penolakan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengatakan bahwa RUU Penghapusan kekerasan Seksual adalah bentuk legalisasi seks bebas, legalisasi LGBT ini adalah bentuk kesembronoan dalam melakukan penafsiran hukum. Pasal-pasal dalam RUU ini yang menjadi dasar pijakan para penolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yaitu Pasal 1 Ayat (1) Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Pasal tersebut ditafsirkan secara “serampangan” sebagai bentuk legalisasi LGBT. Kata hasrat seksual dalam rumusan Pasal tersebut bukanlah suatu kata yang berdiri sendiri, melainkan berhubungan erat dengan kata sebelum dan setelahnya dalam rumusan pasal tersebut. Pasal tersebut justru dapat mengkriminalkan para LGBT, tentu saja jika mereka melakukan kekerasan seksual. Hasrat seksual menjadi penting untuk masuk dalam rumusan kekerasan seksual karena instrumen hukum saat ini tidak mampu menjawab problematika kekerasan seksual yang merendahkan, menghina, menyerang hasrat seksual.
Penafsiran secara “serampangan” tidak hanya dilakukan oleh masyarakat umum. Drs. KH. Choirul Muna, salah seorang Tim Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang hadir dalam forum diskusi publik yang diselenggarakan oleh LRC-KJHAM pada Selasa 12 Maret 2018 juga melakukan misinformasi dalam menyampaikan perkembangan status pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Anggota DPR RI tersebut berpandangan bahwa kata “secara paksa” menjadi suatu yang melegalkan perzinahan, menurutnya jika yang dilarang adalah “secara paksa” maka apabila tidak dengan paksaan maka hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan menjadi legal. Pernyataan tersebut menunjukan hal yang memprihatinkan, anggota Tim Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri terlihat tidak mengerti konteks kekerasan seksual dan melakukan tidak melakukan penafsiran sesuai kaidah penafsiran hukum.
Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Data monitoring LRC-KJHAM di Jawa tengah sejak tahun 2013-2018 (www.mampu.or.id) menunjukan angka 2.289 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 4.427 perempuan korban dan 50 persen dari jumlah tersebut sebanyak 2.454 korban adalah korban kekerasan seksual. Data tersebut memberi arti bahwa di Jawa Tengah setiap hari ada 1 sampai 2 perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Data Catahu Komnas perempuan tahun 2018 menunjukan peningkatan angka kekerasan seksual dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
Tingginya angka kekerasan seksual terjadi karena kuatnya budaya patriarki dan timpangnya relasi kuasa serta lemahnya hukum dalam menindak pelaku kekerasan seksual. Hal tersebut menjadikan kekerasan seksual seolah merupakan hal yang biasa. Pemakluman terhadap tindak kekerasan seksual tentu menimbulkan dampak pelemahan psikis bagi korban kekerasan seksual.
Instrumen hukum yang ada tidak mampu menjawab problematika kekerasan seksual. UU Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang masih sangat terbatas dalam melindungi dan menyeleaikan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Selain instrumen hukum materil, masalah lain juga timbul dari sektor penegakan hukum. Aparat penegak hukum yang tidak memiliki perspektif gender dan korban serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menggunakan perspektif tersangka/terdakwa menjadi hambatan bagi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan. Peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempermudah penanganan kasus kekerasan seksual, namun justru cenderung mempersulit penanganan kasus kekerasan seksual. Peraturan yang ada juga belum menyediakan skema perlindungan, penanganan dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas dan berkelanjutan.
Redefinisi kekerasan seksual perlu dilakukan ke dalam instrumen hukum. Berbagai jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh instrumen hukum yang ada di Indonesia. KUHP hanya mengenal mengenai perbuatan cabul dan perkosaan, begitu juga dengan instrumen hukum lainya yang tidak mengenal berbagai jenis dan bentuk kekerasan seksual.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya pembaharuan hukum yang berperspektif korban. Pembaharuan hukum ini bertujuan untuk; melakukan pencegahan kekerasan seksual, melaksanakan dan mengembangkan mekanisme penanganan korban kekerasan seksual, memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual, memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, dan merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam menciptakan ruang aman dan perlindungan korban kekerasan seksual. Oleh karena itu mari terus melakukan sosialisasi dan produksi narasi untuk meluruskan disinformasi dan misinformasi yang ada mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan mari terus mendorong negara mengesaahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sekarang menjadi Prolegnas Prioritas DPR RI 2020/2024.
Tulisan pernah diupload di akun pribadi penulis https://aselinaufal.wordpress.com/2019/10/17/undang-undang-penghapusan-kekesaran-seksual-sebagai-tanggung-jawab-negara-melindungi-korban-kekerasan-seksual/