Oleh: Khoirul Anwar
Perempuan itu bernama Maisun bintu Bahdal al-Kalbiyah, gadis desa (Badui) berparas cantik dan beragama Kristen. Mu’awiyah bin Abi Sufyan tertarik dengan gadis desa itu, cantik dalam semua sisinya, dan sangat mempesona. Kecantikan Maisun dibahasakan oleh ad-Damiri dalam buku “Hayatul Hayawan al-Kubro” dengan “dzata jamalin bahirin wa hasanin ghamirin”. Artinya, perempuan berparas cantik, bersinar, dan menarik dari segala sisi tubuhnya.
Mu’awiyah menikahinya, dan Maisun kemudian dibawa ke istana megah yang berada di kota Ghuthah, tempat tinggal Mu’awiyah. Maisun gadis cantik yang asalnya tinggal di pedesaan, setelah dinikahi Mu’awiyah dibawa pindah ke istana megah di kota metropolitan. Di istana megah, Maisun selalu diiringi oleh dayang-dayang kerajaan. Ia berpakaian sutra, duduk di atas singgasana yang terbuat dari emas dan permata. Perhiasan yang dipakai juga terbuat dari emas termahal, segala fasilitas lengkap, hiburan ada, kendaraan bagus, segalanya terpenuhi.
Bahkan sejarawan lain menggambarkan Maisun saat itu bagai ratu Bilqis yang punya singgasana termegah di sepanjang usia dunia. Tapi bagi Maisun itu semua tak ada artinya jika kemewahan itu tidak dirasakan juga oleh orang-orang yang ada di daerah asal kelahirannya. Maisun rindu pada tanah kelahirannya. Sembari berdiri di balik jendela dan menghadap ke taman kerajaan yang sangat indah, Maisun menangis. Dalam tangisnya itu, Maisun mendendangkan sya’ir sangat indah dengan bahar wafir.
Berikut syair gubahan Maisun, syair yang berisi tentang kerinduannya terhadap tanah kelahiran (al-wathaniyah).
Labaitun takhfuqul arwahu fihi # ahabbu ilayya min qoshrin munifi
(Rumah gubug yang membuat ruh berdebar-debar lebih aku senangi ketimbang istana tinggi nan megah)
Wa lubsu ‘aba`atin wa taqirro ‘aini # ahabbu ilayya min lubsis syufufi
(Memakai pakaian jelek yang terbuat dari kain kasar lebih aku senangi ketimbang memakai pakaian sutra yang sangat halus)
Sebelum melanjutkan syair berikutnya, menarik untuk membahas syair ini. Syair tadi dikemudian hari dibahas oleh sarjana gramatika arab. Oleh nahwiyyin (sarjana gramatika), kata “wa taqirro ‘aini” dijadikan sbg contoh huruf “wawu” bisa menashobkan pada fi’il mudlari’. Atau dalam istilah lain disebut dengan “wawu ma’iyah”, “wa lubsu ‘aba`atin wa taqirro ‘aini” (memakai baju jelek serta hati saya senang). Dengan demikian dapat disimpulkan bhw syair milik Maisun bintu Bahdal ini sangat otoritatif hingga dijadikan sebagai dasar sarjana gramatika.
Lanjutan syair tadi:
Wa aklu kasirotin fi dzilli baiti # ahabbu ilayya min aklir roghifi
(Makan remukan makanan di bawah atap rumah sendiri lebih aku senangi daripada makan roti di istana megah ini)
Wa ashwatur riyahi bi kulli fajjin # ahabbu ilayya min naqrid dufufi
(Suara angin dengan hembusannya yang keras lebih aku senangi ketimbang suara pukulan gendang)
Wa kalbun yanbahut thorroqo duni # ahabbu ilayya min qithin alufi
(Anjing yang menyalak kulit sendal di bawahku lebih aku senangi ketimbang kucing jinak)
Wa bakrun yatba’ul adz’ana sho’bun # ahabbu ilayya min ba’lin zafufi
(Anak unta yang sukar diatur lebih aku senangi ketimbang sepasang burung kasuari)
Wa khorqun min bani ‘ami nahifun # ahabbu ilayya min ‘iljin ‘anufi
(Kebodohan dan kekurusan di keluargaku lebih aku senangi ketimbang kekuatan-kekuatan yang keras)
Setelah Mu’awiyah mendengar syair kerinduan Maisun terhadap tanah kelahirannya, Mu’awiyah langsung mengabulkan kerinduannya. Maisun ditalak ba’in (dicerai) dan dikembalikan ke keluarganya di kampung. Saat itu Maisun sdg hamil. Di tanah kelahiran yang kehidupannya sangat sederhana Maisun melahirkan anak laki-laki yang dikemudian hari diberi nama Yazid bin Mu’awiyah. Setelah Yazid berusia 2 tahun, lalu diambil oleh Mu’awiyah dibawa ke kerajaan. Sedangkan Maisun lebih memilih tinggal di desa.
Bait-bait syair yang didendangkan oleh Maisun menggambarkan dua sisi kehidupan yang berbeda, satu di kota dan satu di desa. Bagi Maisun lebih baik hidup sederhana di tanah kelahiran daripada hidup mewah tapi di tanah orang lain. Inilah nasionalisme.
Bagi Maisun, tidak ada artinya jadi permaisuri di negeri orang tapi tanah kelahirannya terus dijajah. Selain itu, bagi Maisun, tidak ada artinya jika wanita bergelimang harta tanpa ada bakti terhadap sesama. Inilah Maisun, wanita cantik yang punya kecerdasan luar biasa, lebih memilih hidup sederhana tapi berguna daripada bergelimang harta. Inilah Maisun, lebih memilih bekerja demi membangun negaranya daripada menduduki tahta yang tidak berguna bagi sesama.
Tahun kelahiran Maisun tidak diketahui, tapi ia wafat pada 80 H/700 M.