Identitas Transgender: Kedirian, Persepsi, dan Pergulatan Menjadi Manusia

Oleh: Dimas Hani Kusuma
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta

Identitas masih menjadi bagian penting bagi setiap manusia. Keberadaan manusia melalui identitas yang dimilikinya, menjadi penting untuk mendapatkan posisi di tengah realitas sosial. Identitas muncul dari seorang manusia sebagai sebuah simbol bahwa seseorang tersebut menjadi bagian dari kelompok suku, ras, agama, atau penganut ideologi tertentu. Sehingga, dengan adanya identitas sebagai simbol kedirian tersebut, seorang manusia bisa melangsungkan hidup secara sosial dengan membentuk kelompok dalam cakupan masyarakat luas.

Tetapi, hadirnya sebuah identitas bukan tanpa masalah; baik secara personal diri ataupun masyarakat luas. Identitas tidak bisa semerta-merta diterima begitu saja. Terdapat proses dialektika dalam kemunculan identitas tersebut. Menyadari keadaan identitas, melakukan pembedaan dengan identitas lain, menegasi, atau mengafirmasi. Sebuah indentitas, ketika telah terbentuk, akan dihadapakan dengan kenyataan diterima atau dinegasi.

Jika sebuah identitas memiliki bentuk yang teramat berbeda, seorang individu tentu akan merasa khawatir akan perbedaannya itu. Bayang-bayang negasi dari masyarakat luas membuat seorang individu riskan akan identitasnya. Transgender misalnya. Sebagian dari mereka memiliki ketakutan atas identitasnya yang berbeda. Sebab, secara prilaku dan tampilan, Tansgender tak sama dengan masyarakat kebanyakan. Perbedaan identitas inilah yang seringkali menjadi pemicu sebuah subordinasi terhadap masyarakat minor oleh masyarakat dominan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mengakibatkan perselisihan dan berujung pada tindakan kekerasan.

Transgender adalah fenomena dimana seseorang berpenampilan berbeda dengan identitas lahirnya. Dalam bahasa keseharian, biasanya dikenal istilah “perempuan yang terperangka di tubuh laki-laki” atau sebaliknya. Atau ada istilah transpuan (laki-laki yang berpenampilan perempuan) atau transman (perempuan yang berpenampilan laiknya laki-laki). Namun, persoalan Transgender ini tidak bisa dipahami sesederhana itu. Gender berbeda dengan keadaan kodrati atau biologis. Arahnya lebih pada perilaku, sikap, kejiwaan atau perasaan. Penting digarisbawahi, bahwa, bias gender ini masih bisa dilacak lebih kompleks.

Berbeda dengan Eropa, di Indonesia, identitas kelompok transgender masih berada dalam wilayah peripheral (pinggiran). Sebab, dasar akan nilai agama masih menjadi pegangan erat. Sementara, agama tidak mengajarkan untuk menerima dan tidak menolak sebuah identitas yang terberi secara alamiah. Sehingga, dalam praktiknya, tidak sedikit orang-orang dengan identitas transgender ini mengalami subordinasi, kecaman, ancaman, deskriminasi, hingga kekerasan.

Baca Juga  Kota dan Imajinasinya tentang Desa

Permasalahannya, bukan tentang apakah tampilan dan pilihan mereka itu benar dan salah. Namun, tindakan sebagian kelompok yang menghukumi apalagi merenggut hak asasi orang-orang transgender itulah pusat permasalahannya. Apalagi pelaku yang mensubordinasikan dan melakukan tindakan kekerasan adalah masyarakat beragama. Apakah artinya agama mengajari umat untuk bertindak demikian? Bukankah agama harusnya membawa kedamaian?

Permasalahan inilah yang akhirnya membuat transgender tidak berani mengungkapkan identitas aslinya. Tak jarang mereka mengalami trauma untuk menunjukkan kediriannya pada ruang publik yang lebih besar. Pilihan yang diambil pada akhirnya adalah membentuk kelompok-kelompok sendiri ketika ingin menunukkan eksistensinya dan berupaya menutupi identitas kediriannya sebagai seorang transgender ketika ada di ruang publik.

Dalam kajian akademis, keberadaan identitas tidak henti-henti menjadi topik bahasan. Descartes misalnya, melalui metode kesangsiannya, melahirkan sebuah kesadaran akan keberadaan identitas dalam “Cogito Ergo Sum” (Aku Berpikir Maka Aku Ada). Identitas seorang manusia, menurut Descartes, akan muncul ketika seorang mereka melakukan sebuah tindakan “menyangsikan” atau berpikir akan dirinya. Lalu, subjek yang sadar tersebut menopang pada sebuah tubuh biologis manusia. Dengan ini, maka teori Descartes menyimpulkan sebuah dualitas substansi, yaitu “Res Cogitan” dan “Res Extansa”. “Aku” sebagai kesadaran dan “Aku” sebagai tubuh biologis.

Namun, teori ini dibantah oleh David Hume, bahwa, segala bentuk “Aku” sebagai substansi, hanyalah bentuk kesadaran yang dibersamai dengan pengalaman (persepsi). Bagi Hume, substansi tidaklah benar-benar ada. Konstruksi identitas ke-Aku-an hanyalah hasil persepsi partikular subjek belaka. Persepsi subjek tentang realitas di luar dirinya, mempengaruhi subjek untuk mengkontruksi dirinya sendiri. Artinya, identitas tidak bisa dibentuk tanpa adanya persepsi.

Permasalahan tentang kedirian sebagai identitas, hari ini masih menjadi sebuah problem di abad ke 21. “Aku” sebagai subjek dianggap memiliki kebebasan untuk mengkontruksi dirinya sebagai pembentukan identitas diri. Sehingga, mengakibatkan seorang manusia bebas dalam mengekspresikan ke-diri-annya. Bebas berpendapat, berhubungan (sosial ataupun biologis), bahkan mewujudkan diri berubah dari hakikat lahiriahnya.

Dalam ranah akademis, kebebasan manusia melalui subjek bisa dipahami melalui kajian psikologis. Freud, Lacan, Deleuze dan Zizek, adalah para pemikir yang fokus terhadap kajian tersebut. Berbagai teorinya berusaha membahas subjek yang memiliki hasrat sebagai modal diri untuk membentuk identitas dan hubungannya di ranah sosial. Membedah bagaimana hasrat mengkontruksi diri dengan pengaruhnya atas realitas sosial. Pemikiran di kelompok ini, dekat kaitannya dengan gagasan Descartes dan Hegel.

Baca Juga  Sesaji di Tengah Erosi Tradisi

Ihwal dua pemikiran diatas, didapatkan dua perbedaan utama tentang subjek yang membentuk identitas. Pertama, subjek menurut Hume, adalah subjek yang membentuk identitas berdasarkan persepsi dari realitas diuar dirinya. Kedua, subjek menurut pemikir post-modern yang berangggapan bahwa identitas sekaligus realitas itu bermula dari diri subjek, sehingga realitas adalah subjek. Dua anggapan ini, lalu digunakan untuk membaca tentang identitas seorang transgender.

Dari semua hal di atas, yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana seorang transgender memaknai identitasnya sebagai seorang transgender? Lalu, yang tidak kalah menarik adalah, bagaimana proses transgender tersebut terjadi dalam dirinya? Pertanyaan ini akan digunakan sebagai bahan acuan untuk menelisik makna dan hakikat menjadi transgender seperti diungkapkan oleh seorang transgender (transpuan).

Jawaban yang diharapkan bisa menjelaskan apa arti makna hidup sekaligus identitas tentang dirinya. Sekaligus diharapkan bisa menjawab pertanyaan utama tentang identitas transgender tersebut sesuai dengan teori Hume—sebagaimana identitas terbentuk berdasarkan atas persepsi dari objek-objek di luar diri. Ataukah sebagaimana kelompok pemikir selanjutnya—bahwa identitas dibentuk murni dari dalam diri manusia itu sendiri.

Seorang transgender mengatakan bahwa identitas adalah atribut yang hadir bersamaan dengan kelahirannya di dunia. Selama belum ada kesadaran dan kemampuan untuk mendiskripsikan identitas dirinnya, saat masih kecil misalnya, seorang transgender menganggap tidak ada yang salah dalam dirinya. Kesadaran akan perbedaan dirinya disadari ketika seorang transgender mulai mampu menafsirkan realitas sosial dan mendeskripsikan tentang kediriannya.

Selama masa pertumbuhan dan proses untuk menyadari realitas, ia akan dihadapkan pada pilihan ; menyesuaikan diri sebagaimana pandangan masyarakat luas, atau, mengikuti keinginan dari dalam dirinya. Tahap inilah yang akan menentukannya untuk mengubah penampilan sebagai seorang transgender.

Beberapa faktor sebagaimana disebutkan dalam hipotesis di atas tadi, seperti faktor internal dan eksternal rupanya memiliki peran masing-masing dalam mendukung pembentukan identitas transgender. Keduanya saling mempengaruhi dan berdialektika untuk membentuk identitas tersebut. Seringkali, dialektika tersebut membuat seorang transgender mengalami dilema. Sebab, konsekuensinya adalah kehadiran dirinya yang akan mendapat respon bermacam-macam dari masyarakat luas. Respon itulah yang kerap kali membuat transgender merasa down atau terpuruk.

Baca Juga  Mudik dan Kesadaran Berbangsa

Kesadaran akan dirinya hadir dan tumbuh memang dari internal. Namun, kekuatan untuk berani mengubah penampilan menyesuaikan lingkungan tempat dimana ia tinggal. Tidak dapat dikecualikan pula peran keluarga, terutama orang tua. Lingkungan yang lebih demokratis dan toleran menjadi pintu besar bagi seseorang untuk memilih menjadi seorang transgender atau menyesuaikan diri sebagaimana yang dianggap oleh masyarakat luas sebagai “kodrat”—perempuan berpenampilan dan bersikap layaknya perempuan, dan laki-laki juga sebagaimana laki-laki pada umumnya.

Transgender yang telah yakin untuk mengubah penampilan diri memiliki pemaknaan atas realitas yang tidak teramat jauh berbeda dengan masyarakat luas pada umumnya. Dalam kasus ini, transgender yang menjadi narasumber atas tulisan pendek ini mengungkapkan bahwa perbedaannya hanya terletak akan kesadaran tentang dirinya. Bahkan penafsiran akan nilai-nilai agama pun juga tidak menyalahi sebagaimana agama itu ditafsirkan oleh para pemuka agama. Seorang transgender tetap memiliki ketakutan akan dosa dan kesalahan. Sehingga membuatnya terus menggali diri dan bertindak sebaik mungkin sebagai seorang “Manusia”.

Hal tersebutah yang akhirnya membuat seorang transgender dalam berkehidupan sosial tetap memegang nilai-nilai kebaikan akan sesama manusia. Tidak melanggar hak, menindas, mendiskredikan, dan melakukan kekerasan kepada manusia lainnya. Baginya, hidup adalah cara berperilaku kepada sesama manusia. Bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah.

Pembentukan identitas, rupanya tidak bisa meninggalkan teori yang dikemukakan oleh tokoh seperti Hume ataupun tokoh-tokoh post-modern Hegelian. Keduanya memiliki peran masing-masing. Kesadaran akan identitas memang terbentuk dan berasal dari dari diri seorang manusia—sebagaimana para pemikir Hegelian. Namun, pembentukan lebih konkretnya tetap terpengaruhi oleh lingkungan di mana tempat dia tinggal—seperti yang dikatakan oleh Hume, ada faktor persepsi eksternal untuk pembentukan identitas diri manusia.

Selanjutnya, identitas bagi seorang transgender adalah atribut diri yang hadir bersama dengan kelahirannya di dunia. Identitas dimaknai sebagai bawaan lahir yang dianggapnya adalah kodrat dari Tuhan. Sehingga membuatnya mengikuti suara hati sebagaimana Tuhan menghendaki dirinya yang diciptakan dengan atribut identitas transgender. Sedangkan dalam peran untuk bersosial, identitas tersebut dianggap akan diterima ketika dia mampu bersikap baik kepada sesama manusia.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan...

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini