Mekanisme “Bonding” dan “Bridging” Jemaat Ahmadiyah Semarang

Oleh: Tedi Kholiludin

Bagaimana strategi kelompok minoritas membangun jejaring? Apa kapasitas yang dibutuhkan oleh mereka yang tidak masuk kategori komunitas besar agar bisa menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas?

Pertanyaan itulah yang menjadi pembuka dari diskusi yang dihelat oleh YPK ELSA pada Selasa (5/11/2024). Adrianus Bintang, Dosen Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang menjadi pengantar diskusi yang dilangsungkan di kantor ELSA, Ngaliyan, Kota Semarang. Ia memparkan hasil penelitiannya yang bertajuk “Keberlanjutan Sosial dan Keamanan Kelompok: Studi tentang Kapasitas Berjejaring Lintas Agama Jemaat Ahmadiyah Semarang.” (2024).

Dalam membangun strategi komunikasi lintas agama, menurut Bintang, ada beberapa hal yang dilakukan secara aktif oleh kelompok Ahmadiyah. Beberapa diantaranya adalah mengunjungi tokoh atau elit agama mayoritas, bergabung dalam forum lintas organisasi Islam, menjalin relasi dengan kelompok minoritas non-Islam, melibatkan diri secara aktif dalam jejaring lintas agama, menyediakan diri untuk menjadi tempat perjumpaan berbagai kelompok serta melakukan kegiatan yang bersifat karitatif.

Strategi tersebut dimungkinkan, karena secara organisatoris, ada tiga kapasitas utama yang mendukung. Pertama, secara ideologis organisasi ini memiliki spirit yang merupakan manifestasi dari prinsip “love for all, hatred for none.” Melalui “rabtah” atau silaturahmi nilai atau ideologi itu terejawantahkan. Kedua, struktur organisasi mendukung upaya-upaya strategis tersebut. Kerja berjejaring , karenanya, lebih terukur dan sistematis. Ketiga, kapasitas serta kecakapan dari elit organisasi mendukung struktur yang sudah mapan tersebut.

Elaborasi atas strategi berjejaring serta kapasitas yang mendukung upaya tersebut, hemat saya, memberi dukungan data yang tersistematis. Upaya yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) khususnya yang ada di Kota Semarang, disistematisasi oleh penelitian ini. Hemat saya, inilah salah satu kontribusi dari penelitian yang dilakukan oleh Bintang bersama koleganya di SCU, Bernadeta Lenny Setyowati.

Baca Juga  Indeks Demokrasi di Jawa Tengah

Penelitian ini menarik, karena yang ia menyisakan ruang untuk dilakukannya riset berikutnya sebagai kritik atau elaborasi lanjutan atas tema-tema yang berarsiran. Dalam kapasitasnya sebagai penelitian dasar, banyak topik yang bisa dianalisis lebih dalam dari apa yang sudah dilakukan oleh Bintang dan Lenny ini. Misalnya dalam aspek kapasitas elit organisasi seperti menjadi kesimpulan.

Konklusi ini bisa ditelaah lebih lanjut dengan mengajukan pertanyaan, siapakah yang dimaksud dengan elit Ahmadiyah itu? Ahmadiyah mengenal mekanisme double leadership; kepemimpinan spiritual dan kepemimpinan organisasi jemaat/umat. Jika yang pertama diperankan oleh mubalig, yang berikutnya adalah mereka yang secara struktur menjabat di organisasi Ahmadiyah, badan otonom, kepemudaan dan lainnya. Kalau aktivitas mubalig berpindah-pindah, maka mereka yang menjadi “elit struktur” atau pemimpin jemaat itu menetap di satu wilayah, kecuali berpindah domisili karena pekerjaan dan seterusnya. Sehingga, ketika ada kesimpulan tentang “kapasitas elit organisasi,” maka pertanyaan lanjutannya, apakah yang dimaksud adalah mubalignya, pimpinan jemaat setempat ataukah keduanya?

Saya hendak menggunakan satu sudut pandang lain untuk membaca bagaimana kapasitas berjejaring kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dalam usahanya untuk memancangkan kaki dan menjadi bagian dari kelompok besar. Robert D. Putnam (2000), dalam “Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community,” mengenalkan mekanisme modal sosial yang dibedakan dalam dua kategori, bonding dan bridging.

Yang disebut modal sosial, kata Putnam, merujuk pada hubungan antarindividu -jaringan sosial serta norma resiprositas dan kepercayaan yang muncul dari hubungan tersebut. dalam artian ini, modal sosial secara dekat merujuk pada apa yang disebut dengan “civic virtue.” (16).

Ada kalanya modal sosial itu muncul dalam bentuk ikatan atau bonding, yang entah karena pilihan atau kebutuhan berorientasi ke dalam dan cenderung untuk menguatkan identitasnya yang eksklusif dan kelompok yang satu warna. (20) Memperkuat identitas eksklusif serta kelompok homogen. Fungsi dari bonding adalah membangun soliditas internal, tetapi, jika tidak dikelola dengan baik ia berpotensi untuk membatasi akses ke sumberdaya eksternal.

Baca Juga  Pentingnya Penguatan Perspektif Gender; Catatan untuk Rancangan Awal RPJMD Jawa Tengah 2025 - 2029

Modal sosial yang lain bersifat bridging, menjembatani, yang berorientasi keluar dan didalamnya ada orang-orang yang berasal dari pelbagai warna sosial. Modal sosial ini digunakan untuk menjembatani kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, mendorong keterbukaan, inovasi serta membangun kerjasama dalam masyarakat (20).

Perspektif ini bisa menjadi alat baca untuk melihat Ahmadiyah. Misalnya, apakah bonding dan bridging adalah dualitas yang terpisah? Jika satu kelompok kuat “bonding”nya, apakah ia tidak bisa melakukan kerja-kerja “bridging”? Secara praktis, bonding itu berguna dalam kapasitas “getting by” alias bertahan, sementara bridging dilakukan untuk “getting ahead” atau berkembang. (20).

Dengan struktur yang sama, aturan main yang juga seragam, mengapa ditemukan kelompok Ahmadiyah yang bisa memainkan ritme bonding dan bridging-nya secara seimbang, tetapi di tempat lain, ada yang masih cukup besar bondingnya? Jawaban atas pertanyaan ini, mungkin masih bersifat hipotetikal, karena perlu penelaahan lebih dalam, tapi, asumsinya, kelompok Ahmadiyah yang memiliki trauma karena persekusi, perlu waktu untuk bridging. Ahmadiyah di Semarang, kebetulan tidak memiliki memori luka yang dalam karena ada persekusi langsung, sehingga keseimbangan “bonding” dan “bridging”nya bisa terjaga.

Di luar bagaimana ia digunakan sebagai perspektif, modal sosial itu sendiri menjadi bahasan penting dalam masyarakat yang terus mengalami individualisasi. Putnam memberi judul bukunya tersebut dengan “Main Bowling Sendirian,” dengan alasan bahwa sekarang, orang melakukan banyak hal (bowling dalam kasus yang diangkat di Amerika), tidak lagi berkelompok dan berkompetisi. Padahal, dulu, mereka bermain dalam naungan klub dan rajin mengikuti liga.

Secara kuantitatif, orang yang bermain bowling mungkin lebih banyak, tetapi, mereka melakukannya secara individual, tidak kolektif. Pada gilirannya, individualisme itu menurunkan modal sosial yang berakibat pada menurunnya rasa saling percaya di antara anggota kelompok.

Baca Juga  Jessika Liaurora Miss Waria Semarang
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini