Beralas Filsafat, Berteologi secara Merdeka

Oleh: Tedi Kholiludin

Dalam sebuah perbincangan, Romo Eduardus Didik SJ, Pastor Kepala di Gereja Katolik Bongsari Semarang, menjelaskan jenjang tradisi akademik bagi mereka yang hendak menjadi Imam. Dalam tradisi Katolik, seorang yang akan menempuh imamat, melewati, setidaknya dua etape kehidupan akademik kesarjanaan (pasca belajar di Seminari); studi filsafat dilanjutkan dengan teologi. Diantara keduanya ada masa-masa pastoral. Normalnya, studi filsafat dan teologi masing-masing ditempuh dalam waktu 4 tahunan, sementara, momen pastoral dilakoni kurang lebih selama 2 tahun.

Studi filsafat dituntaskan terlebih dahulu sebelum kemudian dilanjutkan dengan belajar teologi. Keduanya, meski sama-sama ditempuh pada level sarjana, tidak bisa ditukar rutenya alias harus berurutan; filsafat dulu teologi kemudian. Jadi, seorang Imam Katolik minimal memiliki dua ijazah sarjana; filsafat dan teologi.

Dalam filsafat, kritik tajam terhadap tema apapun, termasuk agama, dipelajari. Pertanyaan-pertanyaan elementer yang menjadi karakteristik pokok filsafat diajukan. Mempelajari filsafat berarti menyelami makna pada samudera semesta. Hakikat tentang sesuatu digali untuk mendapatkan makna yang berkaitan dengan kesejatian. Sesuai dengan namanya, filsafat mengajak para pengkajinya untuk hidup berhiaskan kebijaksanaan.

Mempelajari filsafat membuat seseorang menjadi luwes dan tidak terjebak pada formalisme. Itulah bekal untuk kemudian masuk ke dalam teologi. Ketajaman kritis dari filsafat membantu untuk tidak masuk pada jebakan teologi yang eksklusif atau triumfalistik. Karenanya, ketika masuk dalam percakapan teologi, ada bekal dari tradisi filsafat yang bisa membantu menerangi.

Teologi, terutama yang masih dalam penjara eksklusivisme sering hadir dalam wajah yang penuh terror. Menyematkan hal yang baik kepada Tuhan dan pada menempelkan kejahatan sebagai tindakan manusia. Teologi seperti mensupresi manusia, sampai kemudian kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Itulah kritik yang dikirim filsafat kepada teologi.

Baca Juga  Ngaji Filsafat di Bulan Penuh Rahmat

Filsafat memberikan warna kepada teologi agar ia tidak menakutkan. Agama spt mensupresi manusia. Ketika mendalam teologi, bekal kritik itu membantu agar teologi tidak kehilangan entitas kemanusiaannya. Ritus peribadatan dimana ada gerakan berlutut, berdiri, tunduk dan seterusnya akan menjadi bermakna jika seseorang mengenali filosofinya.

Teologi, mestinya membuat seseorang tumbuh dan berkembang serta bisa memberi makna atas kehidupan, menajamkan kepekaan sosial. Filsafat membuat seseorang memeluk teologi dengan penuh kemerdekaan. Filsafat, sebagai pandangan hidup yang menekankan pada pencarian atas kebijaksanaan, membuat seseorang tidak jatuh pada penghakiman kepada orang lain. Bagi seorang yang memiliki kebijaksanaan, hakikatnya, tidak ada manusia yang tak bermakna, semuanya punya bekal kebaikan untuk mengarungi hidup.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini