Oleh: Tedi Kholiludin
Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) kembali menggelar Pasar Imlek selama tiga hari pada 17-19 Januari 2020. Dihelat sejak 2005, kegiatan ini tidak hanya diharapkan dapat menjadi magnet secara ekonomi, tetapi juga ada ingatan tentang kebudayaan dan keragaman yang ingin terus diperpanjang.
Tahun ini, panitia menjadikan Wayang Potehi sebagai tema kegiatan. Sebagai karya seni yang memiliki nilai sejarah dan pesan moral yang tinggi, tidak banyak anak-anak muda Tionghoa yang tertarik dengan kesenian ini. Didesain sebagai tema kegiatan, harapannya, akan banyak orang, khususnya pegiat seni dan budaya yang melirik Potehi.
Meski digelar dalam waktu yang tak lama, Pasar Imlek Semawis, sekali lagi, digadang-gadang tidak hanya bergulir sebagai aktivitas ekonomi belaka. Di kegiatan tersebut, kita juga mendapatkan hiburan, edukasi serta pengenalan akan keragaman yang tercermin di pelbagai dimensi. Soal kuliner misalnya. Di Pasar Imlek Semawis, pengunjung bisa menikmati panganan dengan cita rasa beragam; masakan Jawa, Tionghoa, Belanda dan lainnya.
Sebagai bagian dari rangkaian menyambut Tahun Baru Imlek, pagelaran Pasar Imlek, mula-mula, tentu saja adalah selebrasi kalangan Tionghoa. Ia adalah festival kebudayaan dari sebuah kelompok masyarakat yang unik. Menjadi menarik, karena, ia kemudian hadir dari ruang privat menjadi ruang publik. Kalau kita cermati aktor atau mereka yang terlibat dalam Pasar Imlek Semawis, maka bisa dipastikan bahwa ritus itu tak hanya milik kelompok Tionghoa saja. Pelaku didalamnya, berasal dari berbagai elemen dan latar belakang. Ciri masyarakat multikultural sudah sangat melekat dalam aktivitas seperti itu.
***
Pada setiap gelarannya, selalu ada upaya untuk menyisipkan pesan-pesan kebudayaan. Tahun 2019 kemarin misalnya, Pasar Imlek Semawis mengangkat tema WARAS (Warga Rukun Agawe Sentosa). Jauh ke belakang, pada tahun 2007, Pasar Imlek Semawis merilis Album Tembang Dulur Tuwa, karya Mbah Pringis (So Khing Hok). Album berisi tembang campursari itu berkisah tentang persaudaraan orang-orang Tionghoa dan Jawa yang kemudian mengalami kemunduran pasca hadirnya Belanda.
Di awal kegiatan, sempat ada kekhawatiran dari beberapa kalangan Tionghoa akan kegiatan ini. Jamak diketahui, bahwa represi yang teramat panjang, masih menyisakan perasaan traumatik yang mengancam. Meski KH. Abdurrahman Wahid saat menjadi presiden sudah memberikan keleluasaan, tetapi kekhawatiran akan terjadinya represi selalu membayangi.
Begitupun ketika Pasar Imlek Semawis ini hendak digelar untuk kali pertama. Menunjukan identitas secara telanjang di ruang publik di tahun-tahun awal reformasi, adalah pertaruhan yang entah seperti apa ujungnya. Jika nasib baik, berarti keadaan aman-aman saja, tapi kalau nasib tak berpihak, mungkin ada situasi buruk yang menimpanya. Begitu, kira-kira terkaannya.
Nyatanya, kekhawatiran akan adanya resistensi yang masif, tak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya. Semua elemen dari latar belakang identitas yang beragam, terlibat dalam aktivitas ini. Meski mungkin ada keuntungan secara material yang didapatkan karena kegiatan ini, tetapi, ada interaksi lintas budaya yang terbangun dalam komunikasi keseharian.
***
Dalam konteks yang lebih banal, Kawasan Pecinan Semarang masih bisa menyebut Pasar Gang Baru sebagai ruang interaksi yang khas. Letaknya, ada di tengah pemukiman warga Tionghoa, namun mayoritas yang berjualan bukan dari etnis Tionghoa. Transaksi sudah pasti terjadi diantara kelompok yang majemuk itu. Pertukaran bahasa Jawa dan Tionghoa terjadi secara alamiah.
Pasar memang ruang transaksional yang khas. Disana, orang berposisi setara. Tidak ada yang dominan, kecuali kepentingan yang sama-sama disepakati oleh penjual dan pembeli. Identitas-identitas primordial bukanlah penentu jadi atau tidaknya sebuah transaksi, meski masing-masing pihak mungkin mengetahui dengan jelas.
Pasar Imlek merupakan pasar ekonomi yang didesain sebagai jembatan (budaya) yang bisa menghubungkan identitas-identitas primordial yang tak sama itu. Ia menjadi identitas kebudayaan, selain, tentu saja, ada tindakan ekonomi disana.
Pasar Imlek adalah ruang dimana solidaritas bisa terwujud karena orang tidak hanya bicara tentang sekarang dan disini, tetapi juga pada sebuah fondasi solid yang berdimensi masa depan. Ini adalah civil sphere atau ruang sipil (Alexander, 2006). Pasar Imlek tak semata ruang non-sipil; ekonomi atau agama, tetapi juga adalah ruang sipil. Ruang dimana keakraban dan dalam ideal masyarakat sipil terbangun. Ia melampaui batas-batas yang bersifat non sipil tersebut.