Oleh: Tedi Kholiludin
Premis yang dibangun oleh konsep civil sphere atau ruang sipil adalah masyarakat tidak diatur oleh kekuasaan semata dan tak hanya didorong oleh kepentingan pribadi. Ada solidaritas terstruktur yang terbangun di ruang tersebut. Konten dari solidaritas, sejauhmana ia membentang, selalu menjadi percakapan dalam setiap tatanan sosial yang sudah pasti memiliki tujuan terciptanya kehidupan yang lebih baik.
Solidaritas menjadi mungkin bisa terwujud karena orang tidak hanya memiliki orientasi tentang sekarang dan disini, tetapi juga pada cita-cita, yang ideal, transenden, dan pada apa yang diharapkan menjadi batas solidaritas yang abadi.
Jeffrey C. Alexander (2006) mendedah konstruksi tentang ruang sipil itu dalam karya tebal berjudul “The Civil Sphere.” Kata Alexander, ide tersebut tak lepas dari gagasan mengenai civil society atau masyarakat sipil. Perlu konsepsi baru tentang masyarakat sipil sebagai ruang sipil, dunia nilai dan institusi yang menghasilkan kapasitas kritik sosial dan integrasi demokrasi pada saat yang sama.
Sekali lagi, hal tersebut hanya mungkin bisa terbangun melalui sebuah solidaritas. Merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain yang tidak kita kenal, tetapi kita menghormati mereka atas dasar prinsip.
Civil society bisa dipahami sebagai ruang yang independen. Ia memiliki etika dan institusinya sendiri. Tetapi, ruang sipil, tidak terpisah dan ideal. Ia ada dalam dunia yang nyata; terdapat dalam ruang dan waktu. Dalam praktiknya ruang sipil ini dibatasi oleh ruang “non-civil”; ekonomi, negara, agama, keluarga atau komunitas.
Ruang “non-sipil” ini tentu saja penting. Tetapi tak jarang, ruang tersebut mengancam ruang sipil. Yang dihasilkan dari ruang non-sipil kerapkali bersifat partikular, tidak universal. Solidaritas yang lebih luas, kerap terganggu oleh ruang non-sipil ini.
***
Ada banyak nilai yang disarikan dalam sebuah “keakraban sipil”. Selebrasi kebudayaan yang biasa dilakukan sebuah masyarakat, adalah upaya untuk menjaga ruang sipil tersebut. Jika kita mengunjungi atau terlibat dalam ritus-ritus seperti Selametan atau Sedekah Bumi, maka solidaritas sosial kerap melampaui batas-batas yang bersifat non-sipil.
Lebaran di Jawa atau Natal di Ambon, tak hanya sebagai ruang non-sipil (baca; agama) tetapi menjelma sebagai civil sphere. Dia tak hanya hidup dalam ideal civil society, namun menjelma dalam praktik keseharian, sebagai tampilan publik yang menyatukan. Mengunjungi kerabat, ziarah kubur, atau saling meminta maaf tak lagi ada dalam ruang non-sipil.
Hal tersebut hanya mungkin terjadi karena ada solidaritas sosial. Solidaritas hidup melampaui batas-batas fisik atau identitas primordial lainnya. Dalam situasi semacam itu, penghormatan diberikan atas dasar prinsip kemanusiaan universal.
Kita bisa menjejerkan lebih banyak lagi tentang selebrasi budaya yang merupakan bagian dari kehendak menjaga ruang sipil.