Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Satu per satu anggota keluargaku menghadap Sang Khalik.
Belum lama ini kakakku wafat karena serangan kanker. Setahunan yang lalu saya juga baru saja kehilangan ayah tercinta: orang yang selama ini menjadi “tulang punggung spiritual dan moral” perjalanan hidup dan studiku.
Karena ayahlah, saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Seandainya dulu ayah mogok menyekolahkanku, nasib saya tentu tidak jauh berbeda dengan kakak-kakakku di kampung: menjadi petani desa dan mencangkul di sawah! Ayahlah yang dulu berjibaku menyekolahkanku, meski kondisi ekonominya serba kekurangan. Maklum, almarhum ayah bukan seorang “rojo koyo” yang punya tanah dan sawah luas dan harta melimpah. Ia juga bukan “pejabat nengrat” yang berduit—meski hasil korupsi dan ngemplang uang rakyat. Ia hanya seorang modin kampung yang hanya punya sepetak sawah. Ayah dulu tidak peduli dengan omongan sebagian orang-orang “nengrat” kampung yang mencibirnya karena menyekolahkan anaknya—saya—di madrasah (MTs dan MA).
Kini ayah telah pergi meninggalkan saya. Belum hilang rasa sedih dan duka cita karena ditinggal ayah, kakakku juga pergi untuk selama-lamanya. Serangan kanker yang begitu ganas telah merenggut nyawanya. Sebelum kematiannya, saya dan keluarga telah mati-matian berusaha menyelamatkan nyawanya. Sudah ratusan juta uang saya keluarkan untuk biaya kemo, operasi, dan berbagai jenis pengobatan tradisional Jawa dan Cina dengan harapan penyakit kanker getah bening yang diderita kakak bisa sembuh. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Pagi selepas Subuh, 28 Juni 2012, Malaikat Maut menjemput nyawanya.
Sekitar dua hari sebelum kematiannya, saya menulis sebuah pesan pendek yang hingga kini masih saya simpan: “Tuhan, jika memang Engkau menghendaki kakak sehat maka sembuhkanlah dia. Tapi kalau memang Engkau ingin mengambil nyawanya, maka ambillah. Kami sudah siap menerimanya. Jangan biarkan ia terus-menerus hidup dalam penderitaan. Jangan biarkan kami dan keluarga terus-menerus menanggung beban berat ini.”
Sungguh, ini sebuah keputusan etis-teologis yang sulit dan berat buat saya. Sebagai orang normal, tentu saya tidak ingin dan tidak akan mendoakan kematian anggota keluarga tercinta. Tetapi jika memang kematian adalah “jalan terbaik” untuk melepas penderitaannya, maka saya pun merelakan kepergiannya. Bukan lantaran benci tetapi karena cinta. Sungguh, saya tidak tega melihat kakak yang terus-menerus digerogoti kanker ganas. Tubuhnya menjadi kurus-kering karena tidak ada asupan makanan dan minuman. Berbagai jenis obat dokter dan tradisional tidak mampu membendung laju kanker yang begitu ganas.
Saya juga tidak tahan melihat istri dan anak-anaknya yang setiap hari ikut menderita karena memikirkan kesehatan kakak. Tubuh-tubuh mereka juga ikut mengurus karena makan tidak teratur, tidur juga serba kurang. Kini kakak sudah tiada. Sebelum kematiannya ia memberi pesan kepada saya untuk menjaga dan meneruskan sekolah anak-anaknya. Sebuah “wasiat” yang tentu saja dan sudah seharusnya saya lakukan.
*****
Jika ayah adalah seorang peletak dasar Islam dan modin kampung, maka kakak saya adalah seorang imam salat, ketua takmir masjid, dan tokoh agama yang dihormati di desa. Jika ayahku adalah pendiri masjid di kampung, maka kakak adalah “perawat” masjid itu. Bahkan ia memelopori pembangunan “masjid jami’” yang berdiri megah di tengah kampung. Kakak-lah yang melanjutkan perjuangan keislaman yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh mendiang ayah. Kakak saya adalah alumnus Pondok Pesantren Al-Huda di Bawang di bawah asuhan Kiai Zarkoni. Oleh beliaulah kakak diberi nama baru “Musyafa” sehingga namanya menjadi Karono Musyafa. Kelak kakak memang menjadi “musyafa” bagi warga kampung khususnya. Sebagai “kiai kampung,” selama bertahun-tahun kakak mengajar ngaji, menjadi imam salat, memimpin tahlil, menjadi khothib Jum’at, mengurus kematian, pernikahan, dan perceraian warga dan masih banyak lagi. Semua urusan keagamaan di kampung, kakaklah yang menanganinya.
Itulah sebabnya ketika kakak terbaring lemah tak berdaya karena sakit, tiap hari rumahnya penuh dengan kerumunan warga yang bersimpati. Begitupun ketika kakak dirawat di rumah sakit, tiap hari warga berbondong-bondong menjenguknya. Dan ketika kakak wafat, warga, kerabat, teman, handai-tolan, dan orang-orang dari desa-desa tetangga tumpah ruah datang ke rumahnya yang sederhana dan berlantai tanah itu. Puluhan jamaah bergantian menyolatinya. Tangis pun tak bisa dibendung sebagai ekspresi kepedihan dan duka cita mendalam lantaran ditinggal sang “kiai kampung” tercinta.
Jika dulu kakaklah yang memimpin salat, kini ia yang disalati. Jika dulu kakak yang menguburkan setiap mayat warga, kini ia yang dikuburkan. Jika dulu ia yang membakar kemenyan, menyiram air, dan menaburi bunga-bunga di setiap makam, maka kini giliran kuburannya yang disiram dan ditaburi bunga. Jika dulu kakak yang memimpin talqin dan ritual kematian lain, maka kini ia yang ditalqini dan dibacakan doa-doa orang meninggal.
Begitulah hidup. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kiai, pejabat, artis, preman, koruptor, copet, tukang ojek, semua akan mati tanpa kecuali, untuk kemudian hidup di “dunia lain,” di “alam lain” yang tidak ada satupun manusia yang tahu persis situasi disana. Agama datang untuk mencoba menjelaskan atau tepatnya “meraba-raba” situasi paska kematian. Begitu pula ilmu pengetahuan mencoba memberikan penjelasan situasi terbentuknya alam sampai keadaan setelah kematian. Setiap masyarakat dan budaya juga memiliki penafsiran sendiri tentang dunia paska kematian itu. Tapi itu lagi-lagi sebatas tafsir dari sekian jenis tafsir “alam lain.” Karena penafsiran maka tidak ada tafsir yang mampu merepresentasikan alam kubur. Dunia paska kematian masih menjadi sebuah misteri yang tidak akan pernah terurai sampai ajal menjemput kita.
Bagi masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan misalnya, tidak ada istilah “kematian.” Yang ada adalah “kehidupan baru” di “dunia baru.” Bagi mereka, tidak ada bedanya situasi kehidupan di “dunia ini” dengan keadaan di “dunia sana.” Apa yang terjadi sekarang juga akan terjadi di “dunia lain.” Apa yang dialami manusia “disini” juga akan dialami manusia “disana.”
Karena itu setiap kematian di Toraja selalu disikapi dengan wajar-wajar saja. Kematian seseorang bukan disambut dengan tangisan tetapi dengan senyuman. Bukan dengan duka-cita melainkan dengan suka-cita. Bukan dengan iringan doa-doa atau kalimat tahlil melainkan dengan nyanyian dan tarian. Lebih jauh, kematian bukanlah hal yang mengerikan bagi mereka. Mayat bukanlah sosok yang menakutkan seperti vampir tetapi sebagaimana orang bernyawa lainnya. Karena itu tidaklah mengherankan kalau masyarakat Toraja sudah terbiasa tidur dengan mayat.
Dalam tradisi masyarakat Toraja, seseorang yang meninggal tidak langsung dikuburkan sebagaimana umumnya di Jawa atau dalam tradisi masyarakat Islam pada umumnya. Akan tetapi “diawetkan” terlebih dahulu dengan formalin atau ramuan-ramuan tradisional lain sambil menunggu kehadiran anggota keluarga dan sanak-saudara yang kebetulan tinggal di tempat-tempat jauh atau bahkan di luar negeri. Karena itu jangan heran jika ada mayat yang disimpan di dalam rumah sampai bertahun-tahun—sesuatu yang bisa mendatangkan bencana dan malapetaka jika terjadi di Jawa. Setelah semua anggota keluarga berkumpul, mayat kemudian dimakamkan. Bukan dikuburkan. Tidak ada “penguburan” atau “pengebumian” di Toraja. Mayat dimakamkan dengan cara diletakkan di gunung bebatuan atau diselipkan di celah-celah batu di gunung. Tumpukan mayat itu kemudian kelak menjadi onggokan tengkorak-tengkorak yang bisa disaksikan oleh siapa saja yang berniat menyaksikannya. Tradisi unik ini telah menarik minat banyak turis untuk datang atau antropolog untuk studi.
Lebih jauh, karena anggapan atau “tafsir” kematian sebagai “kehidupan baru,” maka masyarakat Toraja akan sekuat tenaga menyediakan “bekal” buat almarhum guna mengarungi kehidupan baru di “dunia lain” itu. Bekal itu bukan berupa doa atau mantra melainkan kerbau! Kerbau memiliki makna tersendiri buat masyarakat Toraja. Ia tidak hanya simbol kekayaan atau kekuatan ekonomi, tetapi juga status sosial. Bagi masyarakat Toraja, kerbau tidak hanya dipakai untuk mengolah lahan atau menggarap sawah tetapi juga alat transportasi dan sumber keuangan. Dengan kata lain kerbau adalah simbol kehidupan itu sendiri.
Karena kerbau dianggap atau dipercayai sebagai sebagai “sumber kehidupan,” maka dapat dimaklumi kenapa masyarakat Toraja berlomba-lomba menyediakan kerbau sebanyak-sebanyaknya ketika ada anggota keluarga yang wafat. Semakin banyak kerbau yang disediakan, maka akan semakin mudah bagi almarhum dalam mengarungi bahtera kehidupan baru di dunia lain. Kerbau-kerbau yang dikumpulkan itu kemudian disembelih secara massal dengan diiringi nyanyian dan tarian. Daging-dagingnya kemudian disantap warga atau bahkan dibagi-bagikan ke warga di desa-desa lain. Seorang teman dari Toraja bahkan pernah berkisah ada keluarga yang pernah menyediakan sekitar 30 kerbau untuk “dipersembahkan” kepada almarhum.
*****
Lain ladang lain belalang. Lain Toraja lain pula di Jawa. Jika di Toraja masyarakat sudah biasa tidur dengan mayat, di Jawa mayat adalah sesuatu yang menakutkan. Jangankan tidur dengan mayat, jasad yang sudah dikuburkan dan berada jauh dari perkampungan saja, masyarakat masih ketakutan dengan orang yang meninggal. Di kampungku, setelah mayat dikebumikan, para keluarga dan tetangga biasanya tidur bersama-sama di rumah duka. Tujuannya bukan semata-mata untuk menghibur keluarga yang ditinggal pergi salah satu anggota keluarganya melainkan juga untuk mengurangi rasa takut. Ada anggapan orang yang baru saja meninggal, arwahnya masih “gentayangan” selama 40 hari dan masih sering “menjenguk” rumahnya. Di rumah-rumah di pedesaan Jawa, keluarga yang ditinggal pergi pasti akan menaruh bunga, minuman, dan aneka makanan yang biasa dimakan almarhum atau almarhumah sewaktu hidup di bekas kamar orang yang wafat. Menurut kepercayaan orang Jawa, setiap malam—selama 40 hari—arwah orang yang meninggal akan pulang ke rumah. Pada saat itulah mereka akan “makan” dan “minum” seperti semasa hidup di dunia.
Pula, jika masyarakat Toraja tidak mengenal kuburan, bagi masyarakat Jawa, kuburan adalah tempat yang angker. Kesan itu juga saya dapatkan di kuburan di kampungku di Kabupaten Batang. Meski setiap Jum’at Kliwon atau hari-hari tertentu seperti menjelang bulan puasa atau menjelang lebaran, para peziarah datang ke kuburan untuk membersihkan makam, tetap saja kuburan kelihatan tidak terawat dan seram.
Kesan ini berbeda dengan Amerika atau Korea. Di negara-negara ini kuburan menjadi tempat wisata yang mengasyikkan. Belum lama ini, di sela-sela acara Congress of Asian Theologians, saya bersama sejumlah peserta kongres berkesempatan mengunjungi sebuah kompleks pemakaman di Seoul, Republik Korea, yang bernama Yanghwajin Foreign Missionary Cemetery. Tempat ini adalah kuburan para misionaris dan keluarganya yang bertugas di Korea.
Sebetulnya ada sejumlah tempat turisme menarik di Seoul yang ditawarkan panitia kongres untuk dikunjungi. Tetapi saya memilih kuburan ini sebagai pengingat kakak saya yang baru saja meninggal. Tidak seperti kebanyakan kuburan di Jawa, kuburan ini begitu bersih, rapi, nyaman, rindang, dan indah. Deretan makam tertata rapi dan rumput-rumput menghijau dan terawat menyelimuti kompleks kuburan. Sejumlah pohon rindang dibiarkan mengayomi area pemakaman sehingga menambah kesejukan dan kedamaian. Sesekali saya membaca Al-Fatihah untuk saya “hadiahkan” kepada almarhum kakak.
Diam-diam, sambil melihat-melihat area pemakaman yang indah dan adem-ayem ini, saya bergumam: “Seandainya kehidupan di alam kubur sangat indah dan nyaman seperti di kuburan Yanghwajin ini, kakak dan ayahku tentu akan betah disana. Semoga mereka berdua istirahat dengan damai di alam baka.” Kembali saya membacakan Al-Fatihah, seperti diajarkan oleh mendiang ayah, untuk mereka berdua.
Ketika saya sedang tertegun, tiba-tiba temanku dari Burma berbisik: “Inilah rumah kita yang abadi, tempat peristirahatan terakhir manusia.” Saya menganggukkan kepala tanda setuju. Apakah di “rumah baru” ini nanti ada sebuah kehidupan? Dengan kata lain, adakah kehidupan setelah kehidupan di dunia ini? Hampir semua tradisi agama menyatakan ada kehidupan di alam baka. Menurut ajaran-ajaran agama, semua manusia akan diproses dan diadili sesuai dengan amal dan perbuatan masing-masing ketika hidup di dunia. Saya kadang berandai-andai: “Seandainya tidak ada ‘pengadilan akherat’ betapa enaknya para penjahat kemanusiaan dan koruptor tengik, dan betapa sialnya orang-orang saleh dan pejuang kemanusiaan.” Seandainya Tuhan itu ada, maka Ia akan berbuat seadil-adilnya kelak di alam baka.
Karena adanya kepercayaan adanya kehidupan paska kematian, maka warga Muslim di kampung saya tidak hentinya-hentinya membacakan tahlil dan mengadakan berbagai jenis selametan atau “communal feasts” menurut antropolog dengan mengundang warga RT/RW setempat. Mereka percaya tahlilan dan selametan itu akan membantu meringankan proses pengadilan di akhirat nanti. Bagi saya, tradisi keagamaan seperti ziarah kubur atau nyekar, tahlilan atau selametan mampu membuat hubungan kita yang masih tinggal di dunia ini dengan mereka yang sudah meninggal akan tetap terbangun dan tidak akan putus. Alangkah gersangnya sebuah agama tanpa ritus-ritus seperti ini. Betapa hampanya sebuah agama tanpa diisi dengan ritual-ritual keagamaan ini.
Bagi warga di kampungku, tahlilan adalah “medium penghubung” antara “yang hidup” dan “yang mati” atau “yang hidup di dunia lain.” Apakah acara selametan, doa-doa, dan tahlilan yang mereka lakukan bisa sampai atau dirasakan atau tidak oleh orang yang meninggal hanya Tuhan yang tahu. Tetapi setidaknya, bagi warga kampung, ritual-ritual keagamaan seperti ini bisa mengobati duka, menentramkan hati, dan menenangkan pikiran keluarga yang sedang berkabung. Lebih dari itu, bagi warga kampung, dengan menyelenggarakan selametan dan ritual-ritual kematian, orang yang mati itu akan tetap hadir atau selalu “hidup” di hati orang-orang terutama keluarga yang masih hidup dunia. Ini adalah sumber energi tiada tara.
Selamat jalan kakakku. Rest in peace. Saya akan selalu mendoakan, membacakan tahlil, dan menyelenggarakan selametan untuk keselamatan kamu di alam baka. Saya juga akan menjaga dan merawat anak-anakmu agar kelak mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang yang berguna dan bermartabat seperti ayah mereka. Semoga engkau damai di sisi-Nya.