Anak ketiga dari delapan bersaudara ini memaparkan, sejak berdiri pada 1926, jati diri NU hingga kini tidak pernah berubah. Nafi mengungkapkan, NU tetap mengawal Indonesia dalam bingkai keislaman inklusif dan kebangsaan. “Tentu saja NU tidak pernah memikirkan negara Islam Indonesia, namun terus mendorong pengalaman nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa. Makanya, NU selalu mengakui keragaman hidup berbangsa,” ujar pengasuh pondok pesantren Al-Muayyad Windan, Kartasura, Sukoharjo, ini.
Selain itu, lanjut dia, pasca NU kembali ke khittah, jati diri NU sering dipinggirkan. Hal ini, menurutnya, lantaran jamaah NU masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. “Makanya, hendaklah kita memikirkan kemaslahatan umat, bukan sekadar kemaslahatan pengurus-pengurus NU,” terang pria kelahiran 4 April 1964.
Meskipun demikian, pihaknya mengakui bahwa Islam mengakui kebhinekaan dan telah memberikan dasar-dasar wawasan kebangsaan yang patut dikembangkan generasi muda. Nafi’ menjelaskan, pengakuan dan penghormatan atas kebhinekaan tersebut sepatutnya diwujudkan melalui karya nyata. “Misalnya membentengi warga NU dari pertarungan ideology,” bebernya.
Adapun untuk kriteria seorang pemimpin, pihaknya merujuk kepada kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyah. Yakni, kata dia, seorang pemimpin harus memiliki keadilan, keilmuan, kesehatan dan wawasan luas yang memungkinkan dapat mewujudkan kemaslahatan bersama. “Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Maka, berlaku adillah,” pungkasnya. [elsa-ol/Munif-@MunifBams]