Oleh: Tedi Kholiludin
Selepas adzan Subuh, dengan menaiki perahu kecil, saya menyusuri Sungai Martapura dari tempat penginapan, lalu sampailah di Pasar Apung Lok Baintan (26/10/2023). Disana, sudah menunggu para penjual yang menjajakan dagangannya; sayur-sayuran, menu sarapan pagi, kopi, teh dan lainnya.
Karena tak ada kebutuhan khusus, selain hanya ingin menikmati suasana yang berbeda, saya merespon dengan senyuman tawaran-tawaran tersebut. Hingga kemudian seorang teman menyodorkan segelas teh hangat yang dibelinya dari salah satu pedagang. Kawan saya yang pagi itu mengenakan baju kuning, takluk karena salah seorang ibu pedagang merayunya dengan pantun; “Good Morning Selamat Pagi, Baju Kuning Ganteng Sekali.” Karenanya ia luluh dan memesan dua gelas teh hangat, yang salah satunya disodorkan kepada saya, untuk menemani dinginnya pagi di selatan Kalimantan.
Sebagai orang darat, saya tentu menemukan banyak hal baru dari siklus kehidupan yang diitari oleh masyarakat sungai. Rasanya, penting untuk sementara waktu tak perlu menggunakan perspektif darat tatkala membaca rotasi kehidupan masyarakat sungai atau laut. Misalnya, jarak dari tempat saya menginap ke pasar apung Lok Baintan, katakanlah 10 atau 12 kilometer. Jika mengendarai sepeda motor, saya bisa sampai ke tujuan dalam 30 menit, motor dititipkan di dermaga, lalu saya menggunakan perahu dari dermaga menuju pasar itu. Ini yang saya sebut sebagai perspektif darat dan digunakan untuk “menaklukan” kosmologi laut.
Saya mencoba menikmati kehidupan sungai dengan pola yang selama ini memang dilakukan oleh orang-orang yang habitatanya di air. Salah satunya, melakoni perjalanan dengan perahu yang waktu tempuhnya lebih lama. Jika menggunakan optik darat, sekali lagi, mungkin saya akan merasa bahwa perjalanan itu tidak efektif, karena ada waktu yang terbuang. Mengandaikan cara pandang ini yang digunakan, maka hilanglah kesempatan untuk masuk dalam relung pikir dan tata nilai yang dipegangi oleh orang sungai itu.
Dalam percobaan itu, tentu perlu banyak penyesuaian. Dari yang awalnya terbiasa kering, harus berdamai dengan basah. Kalau biasanya aktivitas bisa dikerjakan dalam dua tiga jam, lalu mesti menyesuaikan diri untuk menghadapi situasi dengan durasi yang lebih lama. Itulah penyesuaian atau adaptasi yang dilakukan oleh mereka yang masuk dalam kehidupan teranyar.
Inilah sejatinya kekayaan cara pandang itu. Setiap orang memiliki rotasi hidupnya sendiri yang dilalui dengan berbekal tata nilai yang sesuai dengan hukum kesemestaan dalam lintasan itu. Jika hendak melewati perairan, maka alat transportasi yang digunakan adalah perahu, bukan sepeda motor. Ini contoh bagaimana mematuhi hukum alam.
Penghargaan atas kepelbagaian perspektif itu pokoknya. Orang darat cukup menunjukkan respek atas kehidupan yang dilakoni masyarakat laut, tanpa harus berganti baju menjadi orang laut, meski itu juga bisa saja dilakukan. Mengakui dan menghormati perbedaan perspektif, sekaligus meluaskannya, akan membawa kita pada cakrawala hidup yang membentang.