Oleh: Danang Kristiawan
“Bahwa salahlah jika orang Jawa mengikuti seorang utusan Injil Eropa. Mereka harus merupakan orang Kristen Jawa dan mereka harus mencari ‘seorang Kristus bagi mereka sendiri“
(Kyai Ibrahim Tunggul Wulung)
Pendahuluan
Berbicara mengenai kekristenan di Jawa, khususnya di sekitar pantura, tidak dapat dipisahkan dari seseorang bernama Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (± 1800-1885). Namun ada kesan nama Tunggul Wulung tidak begitu familiar di kalangan gereja-gereja masa kini. Di GITJ, Tunggul Wulung kalah populer dibandingkan dengan Pieter A. Janz, misionaris Mennonite dari badan misi DZV Belanda. Catatan sejarah mengenai asal mula GITJ sebagian besar merujuk pada Janz sebagai tokoh utamanya. Bukti dari hal itu dapat dilihat dari Pokok-Pokok Ajaran yang selama ini digadang-gadang sebagai kristalisasi rumusan teologi GITJ ternyata sama sekali tidak memberikan perhatian sedikitpun terhadap Tunggul Wulung. Tidak hanya pribadinya yang terlupakan, pemikiran dan gerakannya pun ditinggalkan. Masih banyak di kalangan pengajar GITJ yang menganggap ajaran Tunggul Wulung sebagai bentuk kekeliruan secara teologis, dangkal karena hanya dua bulan belajar agama Kristen, dan dianggap sinkretisasi kepercayaan Jawa. Sebuah ironi memang, di mana seorang tokoh besar, Rasul Jawa yang mencoba menghayati kekristenan secara otentik sesuai pergumulan komunitasnya, namun akhirnya terlupakan, terkhianati oleh keturunannya sendiri!

Pertanyaannya yang muncul adalah kenapa Tunggul Wulung tersisihkan di dalam sejarah GITJ? Tentu ada banyak hal yang bisa disampaikan di sini, tetapi saya melihat ketersisihan Tunggul yang Jawa, pribumi, dan awam, disebabkan karena kolonialisme yang telah meresap dalam alam kesadaran kita! Studi postkolonial telah menunjukkan bahwa kolonialisme dan imperialisme Barat di negara-negara dunia ketiga (Asia, Afrika) tidak hanya berada dalam tataran fisik saja berupa penguasaan sumber-sumber alam, tetapi juga dalam tataran pengetahuan. Kolonialisme merupakan kekuatan dominan yang berpengaruh di banyak bidang kehidupan, baik itu bahasa, ideologi, cara berpikir, teologi, maupun kebudayaan. Kolonialisme bersifat hegemonik, di mana kultur kolonial (Barat) diresapkan sedemikian rupa di dalam wilayah koloninya hingga berpengaruh terhadap identitas kulturalnya. Bahkan ketika kolonialisme berakhir, dampak laten hegemoni kolonial masih tertanam begitu kuat. Contoh yang sederhana, kenapa ketika kita berbicara tentang perempuan cantik selalu menunjuk pada sosok yang putih, tinggi, rambut lurus, langsing. Kenapa yang hitam, rambut keriting, berotot dianggap tidak cantik? (karena itu banyak pemutih kulit laku di Indonesia). Bukankah sosok seperti itu adalah gambaran ideal orang Eropa?
Akibat dari hegemoni tersebut adalah terjadinya pembiasan dalam penilaian kita. Segala hal yang bercorak Barat cenderung dinilai lebih baik, lebih benar, dari pada Asia yang dianggap tidak rasional, banyak mitos, dan kurang beradab. Artinya dasar pengetahuan yang dijadikan sebagai kriteria penilaian adalah kriteria Barat. Pengaruhnya terhadap teologi dan ajaran gereja pun sangat jelas. Teologi yang sistematis dan rasional (corak barat) dinilai lebih benar dari pada yang mistis (corak asia). Rumusan-rumusan tegas dianggap lebih tinggi dari pada cerita-cerita. Metode-metode historis dianggap lebih benar dari pada metafora dan alegoris yang sering kali dipakai orang Asia. Memang kita tidak berarti menolak semua yang Barat yang telah meresap dalam identitas kita. Bagaimanapun juga identitas kita adalah identitas yang hybrid (campuran). Tidak mungkin kita bersikap antikolonial, karena itu telah menjadi bagian dari diri kita. Yang diperlukan adalah sikap kritis terhadap bias yang disebabkan oleh hegemoni pengetahuan yang selama ini telah meresap menjadi diskursus yang memproduksikan makna pada kita ketika kita melihat realitas. Dari titik berangkat ini saya mengajak untuk menelusuri kehidupan dan ajaran Tunggul Wulung.
Mengenai kiai tunggul wulung (ibrahim tunggul wulung) bisa disimak info lebih lengkapnya di youtube: “injil diberitakan di jawa oleh para kiai”. narasumber: bambang noorsena