Oleh: Tedi Kholiludin
Kasus persekusi terhadap umat Syiah di Surakarta Sabtu (9/8/2020) memantik pertanyaan penting tentang eksistensi dan dinamika kelompok ini di Jawa Tengah. Di setiap kabupaten/kota, setidaknya yang saya ketahui, ada umat Syiah dalam jumlah serta afiliasi keorganisasian yang bervariasi. Pertanyaannya, mengapa ada kekerasan di Surakarta tapi kejadian serupa tidak ada di Jepara? Umat Syiah di Kota Semarang juga sudah selangkah lagi menjadi korban persekusi, tapi tidak berujung pada penganiayaan. Apa yang membedakannya dengan situasi di Surakarta?
Sejak terlibat percakapan serta penelaahan terhadap umat Syiah di Jawa Tengah, situasi yang dijumpai di lapangan memang tidak seragam. Faktornya bermacam ragam. Baik itu yang berporos dari internal mereka maupun faktor dari luar; negara, masyarakat lain dan seterusnya.
Dua kota yang seringkali disebut sebagai poros perkembangan Syiah di Jawa Tengah adalah Pekalongan dan Jepara.
Ustadz Abdul Ghadir Bafaqih adalah nama penting dalam perkembangan Syiah di Jepara. Saat Revolusi Iran (1977-1979) berlangsung, di Jepara belum muncul Syiah. Baru setelah itu, Ustadz Abdul Ghadir mendapatkan banyak buku kiriman dari Kuwait terbitan Darut Tauhid.
Dengan bekal buku-buku tersebut, kemudian Abdul Ghadir banyak mengkaji dan bicara tentang Syiah hingga wafatnya pada 17 Agustus 1993. Jepara adalah wilayah dengan populasi Syiah yang cukup besar. Setidaknya hingga tahun 2006, ada sekitar 500 kepala keluarga penganut Syiah di Jepara.
Dengan populasi yang cukup besar tersebut, komunitas Syiah di Jepara hingga kini tidak pernah mengalami tindakan persekusi, diskriminasi apalagi kekerasan fisik. Kemampuan untuk masuk dalam struktur masyarakat yang lebih besar adalah salah satu alasan mengapa harmoni itu tetap terjaga. Faktor sejarah tentu tak bisa dinafikan. Mereka yang pernah mengkaji ilmu kepada Bafaqih, selain dari kalangan Syiah sendiri, juga ada yang berlatar Sunni.
Di Pekalongan, peran Ustadz Ahmad Baraghbah tak bisa dinafikan. Ustadz Baraghbah pernah belajar di Qum Iran selama 5 tahun lebih, selepas belajar di Universitas Gajah Mada Yogyakarta jurusan Bahasa Arab. Ia kemudian mendirikan Pondok Pesantren Al-Hadi pada tanggal 4 Juli 1989 dan berkiblat ke Iran yang berfaham Syiah. Baraghbah merasa prihatin dengan kondisi umat Islam yang ia ibaratkan pohon yang rimbun dan berbuah serta memiliki akar yang kuat tetapi tidak pernah merasakan rindangnya pohon dan lezatnya buah (Balitbang, 2008: 19-20).
Latar belakang lain adalah untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam terhadap persepsi yang salah atau keliru terhadap faham Syiah sekaligus mengembangkan faham Syiah. Di luar dua alasan itu, kehadiran pesantren Al-Hadi juga didorong oleh kepedulian Baraghbah secara pribadi terhadap kaderisasi bagi kalangan internal Syiah.
Beda dengan Jepara, umat Syiah disana pernah mengalami memori kekerasan; tahun 1992 dan 2000. Tahun 1992, mereka yang menamakan diri perwakilan umt Islam mengeluarkan resolusi untuk menolak kehadiran Pesantren Al-Hadi di Pekalongan. Ketika tahun 2000 umat Syiah membangun pesantren di Wonotunggal, Batang (timur Pekalongan), masa membakarnya. Itu menjadi pengalaman terburuk tetapi juga sekaligus yang terakhir. Setelah itu, tak ada lagi. Bahkan, Pesantren Al Hadi berdiri megah di Comal, Kabupaten Pemalang (barat Pekalongan) sejak tahun 2010-2011.
Kota Semarang adalah kasus yang sedikit unik dalam konteks dinamika umat Syiah. Sorotan media mulai mengarah ke kota ini sejak tahun 2002-2003 karena Peringatan Asyuro digelar dengan pelibatan massa yang banyak dari seluruh kota di Jawa Tengah (rata-rata 3000-5000 peserta). Mereka menghelat perayaan ini secara berpindah-pindah. Pada 6 Desember 2011 mereka melaksanakannya di Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).
Kondisi ”non-taqiyyah” ini ternyata memantik kelompok takfiri. Upaya untuk menggagalkan kegiatan Asyuro dimulai sejak tahun 2015. Setahun berikutnya, dengan konsolidasi yang lebih masif, mereka berhasil memaksa pelaksana kegiatan, Yayasan Nurut Tsaqolain untuk melaksanakan Asyuro di masjid milik salah satu yayasan Syiah tersebut. Upaya tersebut kembali diulangi pada 2017 sekaligus menjadi penolakan yang terakhir. Menariknya, meski tuntutan yang diajukan adalah pembubaran kegiatan Asyuro, tetapi kegiatan tersebut tetap bisa dilakukan dengan pengamanan yang cukup ketat.
Peristiwa di Surakarta memanggungkan langgam yang sungguh lain, sekaligus mengerikan; penganiayaan secara fisik. Tindakan destruktif yang dilakukan (dalam bentuk perusakan bangunan), sejauh ini, terjadi di Batang pada tahun 2000. Sisanya, tindakan untuk mencegah perkembangan Syiah ditunjukkan dalam penolakan kegiatan atau membangun opini mengenai kesesatan mereka di pelbagai media.
Pergerakan kalangan Anti Syiah di Surakarta sebenarnya sangat mudah terdeteksi. Seperti yang telah saya urai di tulisan sebelumnya di laman ini, kalangan ini telah dengan terbuka menyatakan keberatan terhadap apapun yang berbau Syiah pada tahun 2014, 2017 dan 2018. Bahkan mungkin jauh sebelumnya. Penolakan terhadap peringatan Asyuro di Surakarta dilakukan pada 2018, memaksa umat Syiah tidak melaksanakannya pada 2019.
Yang terjadi di Surakarta baru-baru ini adalah anomali, situasi dimana pola tindakannya, berbeda dengan apa yang pernah terjadi di Semarang misalnya. Keberhasilan membangun opini tentang ”kesesatan” Syiah dilanjutkan dengan kemampuan memobilisasi masa yang menjadi jembatan penghubung organ-organ didalamnya. Ditambah dengan memanfaatkan celah pengamanan yang sedikit menganga, kekerasan fisik menjadi tak terhindarkan. Di level permukaan, itulah yang terjadi.
Kekuatan masyarakat sipil yang pro keragaman mendapatkan ujian besar pada kasus-kasus seperti ini. Sembari menuntut negara hadir untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak warga negaranya, jemalin antara mereka yang memiliki komitmen terhadap kebinekaan menjadi penting.
[…] Sumber: https://elsaonline.com/beda-wajah-nasib-syiah-catatan-singkat-dari-empat-wilayah-jawa-tengah/ […]
[…] Sumber: https://elsaonline.com/beda-wajah-nasib-syiah-catatan-singkat-dari-empat-wilayah-jawa-tengah/ […]