Oleh: Ceprudin
Sudah jatuh tertimpa tangga. Selogan inilah yang mungkin bisa sedikit menggambarkan betapa berlipat-lipatnya penderitaan yang sedang dialami kelompok Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur. Warga yang mengatasnamakan “anti-Syiah” dan kerap dialamtkan kepada orang Sunni tak puas hanya dengan vonis 2 tahun kepada ustadz Syiah (Tajul Muluk). Vonis ustadz Tajul Muluk merupakan buntut dari kasus penyerangan pada 2011 lalau. Pada tahun 2011, kelompok Syiah diserang oleh warga. Karena ajaranya dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Nasib menjadi kelompok minoritas di negeri ini memang terbilang malang. Dalam kasus konflik Tajul Muluk, bukan pelaku penyerangan yang diganjar seberat-beratnya dengan hukuman maksimal, tapi ini korban penyerangan yang dihukum dan dinyatakan bersalah (Ustadz Tajul Muluk-red). Logika para penegak hukum kita memang terbalik-balik. Atau memang orang-orang yang bekerja di bagian penegakan hukum itu pikiranya berbalik dengan nurani kebenaran rakyat. Bukankah negara yang bersistem demokrasi itu suara (hati) rakyat adalah suara kebenaran?
Penderitaan kelompok Syiah di Sampang tidak berhenti cukup sampai disitu. Minggu, (26/8) kelompok Syiah disana (Sampang-red) kembali diserang oleh warga. Ini bahkan lebih sadis ketimbang penyerangan yang pertama, selain membabi buta dengan membakar rumah-rumah, masa juga tega menghilangkan nyawa (membunuh) penganut ajaran Syiah. Masa yang melakukan penyerangan seakan kesetanan, memandang orang Syiah bukan seperti manusia lagi.
Mereka lupa jika konstitusi menegaskan bahwa hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan hak beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28 (1) UUD RI 1945). Semua manusia itu sama di depan hukum. Selain itu, mereka juga melalaikan ajaran Islam yang mengajarkan untuk saling menghomati dan mengajak untuk berkenalan (berdialog) antar suku-suku dan bangsa-bangsa yang berbeda paham dan keyakinan.

Perilaku radikal seperti itu tidak lagi menggunakan akan sehat. Pikiran mereka tertutup dengan nafsu angkara murka kepada sesama. Sungguh ironi, dalam kadaan membutuhkan perlindungan seperti itu, kelompok minoritas agama seakana tidak ada pemenuhan keamanan sama sekali dari pemeritah. Polisi memang diterjunkan ke lokasi, tapi hanya “menyaksikan” pembanataian tanpa bisa berbuat banyak nan bermanfaat. Polisi, dengan alasan kalah jumlah masa dengan penyerang, kemudian membiarkan tindakan melanggar hukum itu terjadi.
Hal demikian bisa diaktegorika sebuah pelanggaran karena pembiaran. Membiarkan kejahatan manusia terjadi dengan alasan kalah jumlah masa dari penyerang semacam itu, hampir terjadi di berbagai kasus penyerangan atas dasar perbedaan paham kegamaan. Kasus rusuh di Pengadilan Negeri (PN) Temanggung yang merembet ke bangunan tempat ibadah dan penyerangan kelompok Ahmadiyah di Cikeusik merupakan contoh nyata pembiaran oleh aparat.
Seakan, ada dan tiadanya polisi pada saat kelompok minoritas diserang tidak ada perbedaan. Ada dan tidaknya aparat tetap saja terjadi pembanataian terhadap kelompok minoritas.
Pemerintah —yang dalam hal ini aparat keamanan dan birokrasi sebagai penentu kebijakan—tidak sanggup atau memang tidak ada itikad baik untuk melindungi kaum minoritas di Indonesai? Sejak kasus-kasus kekerasan antar umat beragama mencuat di permukaan, pemerintah seakan setengah hati dalam penyelesaianya. Akhir putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang terhadap 12 pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik, hanya memidana pelaku 3 hingga 6 bulan.
Vonis ini merupakan gelagat yang menunjukkan kembali kegagalan aparat penegak hukum dalam menjalankan kewajiban negara menegakkan hak asasi manusia (HAM). Putusan pengadilan ini mencederai rasa adil, tidak hanya bagi korban tetapi juga bangsa Indonesia, serta berkonsekuensi pada diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama.
Penghilangan nyawa dengan cara yang kejam ini harus disikapi oleh negara dengan serius. Akankah pelaku pembunuhan terhadap penganut aliran Syiah di Sampang sama seperti kasus Ahmadiyah di Cikeusik? Wallohu alam. Hanya Tuhan yang tahu, dan hakim sebagai penegak hukum dalam penanganan tragedi itu. Semoga saja, bukan warga Syiah yang kembali dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
Jika pun dirunut secara teologis, Ajaran Syiah bukan ajaran atau aliran sesat. Syiah merupakan salah satu sekte Islam yang sudah ada sejak 14 abad yang silam (Tedi Kholiludin; 2011). Adanya ajaran Syiah bukan hal yang baru dalam internal agama Islam.
Penulis kira, argumen teologis yang disampaikan oleh pemuka agama atau pejabat pemerintah yang menyesatkan Syiah di Sampang, Madura, itu tidak tepat. Jika pemahaman keagamaan salah satu aliran yang berbeda dengan ajaran kita, lalau “dihukumi” dengan keyakinan paham ajaran kita, maka ajaran orang lain pasti salah. Bukan hanya salah, bahkan bisa saling menyesatkan.
Keyakinan keagmaan orang lain, tidak bisa dipaksakan untuk seragam dengan keyakinan paham ajaran keagamaan kita. Kita bersama harus mau memahami itu. Memahami keyakinan orang lain. Tanpa menjelekan dan menghasut orang lain untuk menyerang dan membinasakan orang diluar ajaran kita. Meskipun ajaran lain itu sesat, tidak selayaknya mereka dibinasakan. Apakah jika ada orang yang tersesat dalam perjalanan kemudian kita harus membenarkan dengan cara kekerasan?
Solusinya tidak begitu. Jika memang benar ada orang yang sedang tersesat maka harus dibenarkan. Diberikan pengertian pemahaman keagamaan secara ilmiah dan argumentatif. Maka akan tercipta dialog yang sehat tanpa ada pertumpahan darah. Itu pun tentu saja tanpa paksaan.
Lagi pula, masalah sesat dan tidak sesat itu kerap menjadi kebenaran mayoritas. Pemahaman keagamaan yang berbeda dari kaum mayoritas kerap di cap menyimpang. Jika sudah sudah ada cap menyimpang dari ajaran, maka pemahaman pihak mayoritas wajib melakukan pembenaran. Memang malang menjadi orang minoritas di Indonesia. Bukan hanya masalah hak-haknya sebagai warga Negara yang dirampas, tapi bagian yang sangat privat yaitu keyakinan juga dibatasi.
(Tulisan ini dimuat di Harian Jateng Pos, 4 September 2012)
penyelesaian atas nama “Mayoritas” dan “Minoritas” tidak akan menyelesaikan suatu permasalahan, karena “Maayoritas”lah yang akan menang. coba diselesaikan atas nama Warga negara Indonesia.