[Semarang – elsaonline.com] Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang mengadakan media audiens (audiensi media) bersama koran harian Warta Jateng, Kamis (6/8). Media audiens ini bertujuan untuk mengkampanyekan isu-isu kebebasan beragama khususnya di Jawa Tengah melalui media masa. Media cetak, salah satunya Warta Jateng merupakan salah satu media cetak yang dipantau pemberitaanya. Pemantauan melalui media cetak yang dilakukan oleh eLSA sudah berjalan sejak 4 tahun yang lalu, yaitu dimulai sejak tahun 2008.
“Media audience ini bertujuan untuk mengkampanyekan isu-isu intoleransi dan kebebasan beragama di Jawa Tengah. Warta Jateng merupakan pilihan kami untuk dipantau pemberitaanya dalam hal kebebasan beragama. Pemantauan terhadap media yang dilakukan oleh eLSA dimulai sejak tahun 2008 yang lalau,” papar Tedi Kholiludin, selaku direktur eLSA.

Tedi menjelaskan bahwa di Jawa Tengah isu-isu mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan lumayan cukup kompleks. Ketegangan yang terjadi bukan hanya seputar agama resmi saja, seperti Islam-Kristen dan ke enam agama resmi lainya. Tapi di Jawa Tengah juga ada masalah aliran kepercayaan juga menjadi problem dalam bermasyarakat. Kelompok yang dinilai mengajarkan “aliran non mainstream” di Jawa Tengah lumayan bekembang cukup banyak. Salam satunya aliran Komunitas Milah Abraham (Komar) di Kabupaten Cilacap. Selain di Desa Sumowono, Kabupaten Semarang juga terdapat sebuah aliran kepercayaan yang kemudian bangunannya dibongkar warga. Aliran tersebut kerap dijuluki dengan Ngesthi Kasampurnaan (NK).
“Di Jawa Tengah isu konflik seputar agama dan kepercayaan bukan hanya terjadi antar agama yang resmi diakui oleh negara seperti halnya Islam-Kristen. Tapi konflik keberagaman juga terjadi terhadap kelompok aliran kepercayaan. Salah satunya aliran Ngesti Kasampurnaan (NK) di Sumowono, Kabupaten Semarang” tambah Tedi.
Setelah Tedi memaparkan beberapa data mengenai konflik agama di Jawa Tengah, kemudian disambung oleh Sigit Setiono sebagai wakil pemimpin redaksi Warta Jateng. Sigit terlebih dahulu memaparkan mengenai Warta Jateng. Dulu sebelum berdiri sendiri, Warta Jateng dalam terbitannya masih menginduk kepada kompas. Dibagian belakang kompas nasional biasanya disisipkan Kompas Jateng. Tapi sekarang terbitanya sudah mandiri menjadi Warta Jateng. Namun dalam menejemenya masih menginduk kepada Kompas media. Selain menerangkan masalah manejemen, Sigit juga menjelaskan bagaimana susah payahnya membangun citra Kompas. Kompas sering mendapatkan cap-cap yang tidak baik dari publik. Penilaian seperti itu tentunya berpengarung terhadap peliputan berita yang diambil. Sehingga dalam peliputan mengenai konflik agama tidak begitu mendapat porsi yang banyak.
“Warta Jateng merupakan masih dalam manajemen Kompas media group. Sejak dulu memang Kompas sering di cap bahwa itu media Yahudi dan alamat-alamat lain sebagainya. Jadi pemberitaan kita juga tidak sebebas media lain, seperti halnya Tempo. Ketidakbebasan itu karena tidak lepas dari stigma-stigma seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalam masalah konflik agama kita juga sangat berhati-hati dengan sumber yang diwawancarai. Jika kita salah dalam memberitakan mengenai kasus-kasus kegamaan maka kompas akan semakin di cap miring oleh publik. Sehingga dari itu biasanya jika kasus keagamaan itu pelakunya masih samar-samar Warta Jateng menghindar untuk memilih tidak memberitakan. Dalam hal kasus kekerasan yang dilakukan oleh ormas FPI misalkan Warta Jateng biasanya tidak memilih untuk tidak memberitakan. Karena itu lumayan rentan terhadap nama Warta Jateng. Terkecuali memang kasus-kasus besar seperti yang terjadi di Temanggung pada 2011 yang lalu,” papar Sigit panjang lebar.

Dari pihak Warta Jateng kemudian juga mempertanyakan mengenai kinerja-kinerja eLSA. Wartawan Warta Jateng tersebut mempertanyakan seputar monitoring dan advokasi yang dilakukan oleh eLSA. ” Apa saja yang dilakukan oleh eLSA setelah melakukan monitoring? Apakah hanya melakukan monitoring atau sekaligus melakukan monitoring dan advokasi untuk terjun ke lapangan?, tanya salah seorang wartawan Warta. Kemudian Tedi selaku direktur eLSA menjelaskan beberapa kasus yang sudah di advokasi di lapangan.
“eLSA selain melakukan monitoring juga melakukan advokasi terhadap korban langsung dan juga advokasi kebijakan. Salah satu contoh kasusnya adalah yang menimpa anak-anak sekolah warga Samin di Kudus. Dalam kasus ini eLSA juga mengadvokasi anak-anak Samin agar tetap bersemangat untuk sekolah. Selain mengadvokasi pihak warga Samin, eLSA juga aktif mengadvokasi kebijakan pemerintahnya. Yang dalam kasus ini eLSA berkomunikasi dengan pihak Diknas Kabupaten Kudus,” pungkas Tedi. (elsa-ol/Ceprudin)