Oleh: Tedi Kholiludin
“Ada dua orang yang sangat dekat dengan imajinasi saya ketika berbicara Purworejo, Kyai Sadrach dan Driyarkara. Sadrach meninggal disini, sementara Driyarkara lahir dari sini,” begitu kalimat pembuka saat saya mengisi sebuah diskusi di Susteran Paroki Gereja Katolik Purworejo (29/5). “Karenanya,” saya melanjutkan, “kalau ada waktu, saya mungkin akan menyempatkan untuk menapaktilasi salah satu dari jejak mereka berdua.”
Saat menyampaikan hal tersebut, saya masih belum terlalu serius sebenarnya. Saya tidak tahu jarak dari tempat kegiatan ke Kedunggubah, tempat dimana Driyarkara dilahirkan, itu seberapa jauh dan harus ditempuh dalam waktu berapa menit. Belum lagi jika mau ke tempat terakhir Sadrach. Padahal, menurut jadwal, kegiatan akan selesai pada 13.00.
Rupanya, panitia menanggapi serius pernyataan saya. Selepas kegiatan, dua orang suster menghampiri saya dan mereka mengatakan akan ada seorang yang mengantar ke Kedunggubah. “Tapi jalannya berkelok dan menanjak,” katanya sembari menggerakan tangan tanda tingginya jalan yang akan ditempuh.
Kedunggubah berada di wilayah Kecamatan Kaligesing, Purworejo. Desa ini ada di timur dan berjarak kurang lebih 10 km dari pusat kota. Sejak masuk wilayah Kedunggubah, jalan memang agak menyempit. Jika dua mobil hendak bersimpangan, salah satunya mesti berhenti, memastikan bahwa dua kendaraan itu tidak bertumbukan.
Tidak ada tujuan khusus sebenarnya. Tapi sebagai orang yang hidup dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), menapaki jejak orang yang memiliki keilmuan itu merupakan bagian dari mengaji juga. Beberapa tulisan Romo Nicolaus Driyarkara sudah saya baca. Kunci pemikirannya tentang Pancasila, juga sudah saya pahami, meski mungkin belum terlampau detail. Saya pernah menziarahi makamnya di Girisonta, Ungaran. Namun, mendatangi tempat kelahirannya, amat sangat sayang untuk dilewatkan. “Apalagi di Bulan Ramadlan,” batin saya.
Bersama Romo Eduardus Didik dari Paroki Bongsari Semarang dan Setiawan Budi, saya diantar seorang warga Kedunggubah untuk sampai persis di tempat Djentu (nama kecil Driyarkara) lahir pada 13 Juni 1913.
***
Sudah tidak ada lagi rumah disana. Hanya ada ladang yang posisinya persis di tepian sebuah jalan desa. Salah seorang penduduk menunjukkan tempat dimana dulu Diryarkara dilahirkan. Ada tugu pendek sebagai penandanya. “Konon, disinilah ari-arinya dikubur. Tapi mungkin tidak persis disini, cuma tak terlampau jauh dari sekitaran tanah ini,” katanya sembari menunjukkan tugu pendek berukuran sekitar 40cm.
Saya teringat ketika tahun 2015 pernah datang ke tempat Samin Surosentiko tumbuh sebagai anak-anak di Blora. Tempatnya sama persis. Tinggal ladang atau tegalan yang digunakan sebagai tempat menernak kerbau. Bagi yang agak abai terhadap cerita yang melatari tempat-tempat tersebut, mungkin hanya ladang atau kebun yang hinggap di memorinya. Padahal ada banyak cerita dibaliknya. Siapa yang menyangka bahwa dari yang sekarang terlihat sebagai ladang itulah lahir seorang filusuf besar di negeri ini. Datang langsung menyentuh jejak Driyarkara secara fisik memberikan tambahan energi buat saya. Ada banyak hikmat dari perjalanan tersebut.
Selesai melihat “rumah” Driyarkara, warga setempat menunjukkan patung Driyarkara diabadikan. Letaknya ternyata di sebuah stasi yang tak jauh dari sana. Kami pun diantarkan menuju stasi yang berada di bawah Paroki Santa Perawan Maria Purworejo tersebut.
Letak patung Driyarkara berada di pintu sampin stasi. Dibawahnya tertulis biografi atau riwayat hidupnya. Dari situ warga gereja diharapkan dapat menghayati jejak pemikir besar yang memiliki tafsir khas tentang Pancasila tersebut.
Ada sekitar 27 kepala keluarga yang menjadi umat di stasi tersebut. Jika dikalkulasi kurang lebih ada 80an orang. Sebagian besar warga Kedunggubah, hanya 3 kepala keluarga saja berasal dari luar desa. “Toleransi kami disini bagus mas. Tidak pernah ada ribut-ribut karena beda agama,” salah satu jemaat berkisah.
“Makanya, saat ada pihak keamanan (kepolisian, red) datang turut menjaga malam Natal, saya sering menyampaikan pada beliau. Kalau ada polisi menjaga gereja disini rasanya aneh, lha wong kami ini baik-baik saja dari dulu,” sambungnya.
***
Perjalanan pulang ke Semarang pun menjadi lebih hidup. Saya dan Romo Didik bercakap di sepanjang jalan tiada henti. “Saya saja yang alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara baru kali ini napak tilas. Mungkin kalau Mas Tedi tidak melontarkan itu di diskusi tadi, kita tidak akan sampai kesini ya,” Romo Didik bergurau.