Oleh: Tedi Kholiludin
KH. Ahmad Siddiq punya penjelasan teologis yang mengena ihwal Pancasila. Menurut Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 1984-1991, Pancasila melambangkan substansi al-Qur’an tentang Iman (aamanuu) dan Amal Soleh (aamilusshalihati). Dalam al-Qur’an, kata aamanu dan aamilusshalihati terulang sebanyak 71 kali.
Sila pertama, kata Kyai Ahmad Shiddiq, merupakan cermin dari iman sementara sila 2 hingga 5 menjadi tanda dari kerja-kerja kemanusiaan atau amal saleh. Jika yang pertama adalah fondasi etik-spiritualnya, 2 hingga 5 adalah praksisnya.
Dalam sejarah NU, KH. Ahmad Shiddiq adalah dinamisator yang menuntaskan dilema hubungan antara Islam dan Pancasila. Bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kyai Ahmad Shiddiq menuntaskan kerumitan dalam soal relasi ini. Meski pemerintah berulangkali menegaskan bahwa agama adalah satu hal dan Pancasila adalah hal lain, tetapi pernyataan tersebut tidak serta merta diamini oleh ormas Islam.
Bagi Kyai Ahmad Shiddiq tidak ada alasan bagi umat Islam untuk tidak menerima Pancasila. Pertama, melalui para pemimpinnya, umat Islam turut aktif merumuskan dan mencapai kesepakatan menetapkan Undang-undang. Kedua, nilai luhur Pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 menjadi dasar negara dapat disepakati dan dibenarkan menurut pandangan Islam. Agama dan Pancasila bisa berjalan seiring, saling menunjang dan mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya, lanjut Kyai Ahmad Shiddiq, bersama-sama diamalkan, tidak harus dipilih salah satu sekaligus membuang dan menanggalkan lainnya.
Setidaknya ada tiga modal dasar untuk melihat proporsionalitas agama dan Pancasila. Keduanya, kata Kyai Ahmad Shiddiq sama-sama berwatak akomodatif. Lalu substansi atau mahiyahnya juga sejalan dan bangsa Indonesia sendiri merupakan bangsa yang beragama. Dengan begitu, Pancasila dan agama sejatinya bisa berjalan berbarengan tanpa menafikan satu dengan lainnya.
***
Dalam musyawarah ulama tahun 2006 di Surabaya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) merumuskan fikrah nahdliyyah atau kerangka berpikir yang menjadi pijakan NU dalam menjalankan roda organisasinya berdasarkan landasan berpikir atau khittah nahdliyyah. Keputusan tentang Fikrah Nahdliyah termaktub dalam Keputusan Musyawarah Nasional Ulama Nomor: 02/Munas/VII/2006 tentang Bahtsul Masail Maudlu’iyyah. Setidaknya dua hal yang dirumuskan dalam musyawarah sebagai bagian dari kerangka berpikir tersebut. Pertama, Manhaj Fikrah Nahdliyah (Metode berpikir ke-NU-an). Kedua, Khashaish (ciri-ciri) Fikrah Nahdliyah.
Dalam konteks relasinya dengan dinamika kebangsaan dan kenegaraan, tahun 1983 menjadi salah satu mata rantai kesejarahan NU yang penting untuk disimak. Meski akar geneologi dari formula fikrah nahdliyah ini berakar tunggang pada konstruksi teologis dari pendirian NU itu sendiri, tetapi musyawarah alim ulama di Sukorejo, Situbondo Jawa Timur dengan sangat baik merumuskan sebuah deklarasi tentang hubungan Pancasila dan Islam. Manifestasi dari ciri-ciri fikrah nahdliyah terlihat jelas dalam deklarasi yang salah satunya menegaskan tentang “penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya”.
Baik khittah nahdliyah maupun fikrah nahdliyah tidak hanya menjadi dasar beragama bagi warga nahdliyyin tetapi juga menjadi pijakan dalam relasinya dengan masyarakat lain di negara Indonesia yang majemuk. Pun, dalam tema yang berkaitan dengan kesetiaan atau loyalitas kepada negara. Rumusan tentang khittah nahdliyah dan fikrah nahdliyah akan memiliki signifikansinya jika diposisikan dalam kerangka besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekaligus sebagai partisipasi kelompok masyarakat untuk membangun sebuah pola relasi yang simbiotik; secara vertikal dengan pemerintah, maupun diantara kelompok masyarakat itu sendiri.
***
Sebagai payung bersama yang bersifat politis-struktural, Pancasila sudah barang tentu membutuhkan dukungan sosiologis-kultural. Jika yang pertama agennya adalah pemerintah, maka dukungan kultural datang dari masyarakat sipil, yang bisa kemudian diterjemahkan sebagai kelompok keagamaan, masyarakat suku atau identitas primordial lainnya. Peneguhan secara kultural diharapkan bisa menjadikan Pancasila tidak hanya sebagai proyeksi politik semata, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang telah dilegitimasi oleh tradisi masing-masing. Dengan kata lain, Pancasila memerlukan “justification from below” untuk menghindari ketegangan antara identitas primordial dan identitas nasional.
Ide tentang justifikasi kultural terhadap Pancasila (sebagai agama sipil) ini yang saya sebut sebagai civil religiosity, keberagamaan sipil atau religiositas sipil. Dalam beberapa kasus, penerimaan Pancasila sebagai sebuah kontrak bersama oleh kelompok masyarakat, memang memerlukan justifikasi-justifikasi yang datang dari tradisi mereka.
Salah satu format keberagamaan sipil adalah fikrah nahdliyyah seperti yang berkembang di kalangan NU, penerimaan sekaligus penanaman nilai-nilai Pancasila dan semangat kebangsaan lainnya yang berasal “dari bawah.” Dasar penerimaan dan penanaman berakar dari tradisi keagamaan yang sangat khas. Ijtihad politik ini kemudian menghasilkan sebuah rasa kepemilikan terhadap Pancasila sangat mengakar. Kerangka inilah yang saya sebut sebagai civil religiosity tersebut.
Dan jika berbicara tentang fikrah nahdliyyah serta bagaimana formulasi penerimaan tentang Pancasila, maka pikiran-pikiran KH. Ahmad Shiddiq adalah tulang punggungnya. Beliaulah yang memberikan justifikasi teologis tentang Pancasila yang memungkinkan lima dasar itu bisa diterima sebagai titik temu, kalimatun sawa bangsa-bangsa Indonesia.