Bahaya Syiar Kebencian Bagi Kerukunan

Oleh: Ceprudin

Salah satu problem dalam penyebaran paham keagamaan adalah”syiar kebencian”. Dalam konsep hukum positif (UU No.12/2005) atau dalam konsep HAM (ICCPR) syiar kebencian dikenal dengan istilah hate speechHate speech ini kerap menjadi pemicu ketegangan antara kelompok agama dan kepercayaan. Bahkan karena adanya ”dakwah kebencian” ini salah satu kelompok tega menyerang hingga membunuh  kelompok lain yang keyakinanya berbeda. Tidak sedikit kasus yang terjadi di Indonesia yang diakibatkan karena rasa kebencian yang ditimbulkan karena perbedaan paham keagamaan.

Yang terbaru, Minggu (26/8) adalah kasus penyerangan kampung Syiah di Sampang, Madura Jawa Timur, hingga merenggut korban nyawa. Padahal sebelumnya juga sudah terjadi kejadian serupa. Kasus ini berujung dengan pimpinan pesantren Tajul Muluk divonis 2 tahun penjara. Konflik-konflik agama atau internal umat beragama nampaknya selalu saja muncul di Indonesia. Ketegangan tersebut selalu memanas, bahkan menjurus terhadap aksi kekerasan yang tidak manusiawi. Di Jawa Tengah, konflik yang kerap terjadi di beberapa daerah antara ormas NU dan MTA. Beberapa waktu lalu, ribuan warga dari berbagai desa di Blora berdatangan untuk menggalang kekuatan menolak pengajian akbar Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) yang akan digelar di Desa Kamolan.

Warga yang tersulut emosi dan kebencian langsung merobohkan panggung pengajian dan merusak sejumlah mobil jamaah MTA. Lemparan batu sempat juga digencarkan oleh warga terhadap jamaah MTA. Sejak awal warga dikabarkan memang menolak rencana MTA yang akan menggelar pengajian akbar. Hal penolakan warga karena ajaran MTA tidak sepaham dengan ajaranya yang mengharamkan tahlil dan ziarah kubur.

Bukan hanya di Blora, penolakan yang berujung pada tindakan kekerasan terhadap ajaran MTA juga terjadi di Kabupaten Kudus. Ketegangan yang terjadi di Kudus antara jamaah MTA dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada sabtu, (28/1/) sekelompok masa gabungan dari berbagai organisasi NU, menggelar aksi unjuk rasa  menuntut  pembubaran pengajian MTA. Insiden penolakan terhadap syiar ajaran MTA motifnya hampir sama dengan yang terjadi di Blora.

Baca Juga  Sri: Saya Iri dengan Keberadaan Musholla

Konflik internal Islam antara MTA dan NU dan penolakan ajaranya bukan hanya terjadi di Kabupaten Kudus dan Blora saja. Di Kabupaten Purworejo, pada 2011 lalu juga sempat terjadi bersitegang antara jamaah MTA dan NU terutama di Desa Pengen Jurutengah. Pemicunya tidak jauh beda dengan yang terjadi di Kudus dan Blora, dimana pihak MTA dianggap berdakwah dengan menggunakan cara yang kurang arif. Salah satunya contohnya misalkan perkataan-perkataan yang menjelekan amaliyah lain, selain MTA.

(foto:adinku.com)

Namun di Purworejo konflik agama semacam ini disikapi dengan arif oleh Pemkab. setempat. Dimana seluruh jajaran pemerintahan dari mulai Bupati, DPRD, Kespangpolimnas, Kapolres dan Dandim Purworejo bersepakat menyelesaikan dengan cara berdialog antara MTA dan NU. Hal demikian nampaknya selaras dengan apa yang terkandung dalam konsep HAM, negara dalam masalah agama hanya mempunyai tugas memfasilitasi dialog untuk melindungi (to protect) menciptakan kerukunan antar maupun internal umat beragama.

Berkaitan dengan kebebasan berekspresi beragama dan berkeyakinan yang kemudian dimanivestasikan dalam bentuk syiar ajaran sudah jelas diatur dalam UU. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 yang kemudin oleh Indonesia diratifikasi menjadi UU No. 12 tahun 2005 Pasal 18 (1) Menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan  untuk menetapkan  agama atau kepercayaan atas pilihannya  sendiri, dan kebebasan, baik  secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap individu dijamin kebebasanya untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan apa yang dianggap benar oleh individu masing-masing. Termasuk untuk mengamalkan (beribadah) dan menjalankan syiarnya kepada orang lain. Namun dalam kebebasan yang diatur dalam ayat di atas selanjutnya dibatasi kebebasanya oleh pasal selanjutnya dalam UU yang sama. Pembatasan ini diatur karena dikhawatirkan kebebasan individu yang satu dengan yang lain akan bersinggungan. Seperti halnya yang terjadi antara keyakinan jamaah MTA dan NU.

Baca Juga  Pilar-pilar Kebudayaan Arab Pra Islam

Dalam pasal 20 (1) dijelaskan bahwa segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hokum. Selanjutnya pada  ayat (2) dijelaskan pula bahwa segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk  melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Bentuk-bentuk hasutan yang menimbulkan kebencian dan permusuhan itu dalam bahasa HAM dikenal dengan hate speech.

Untuk menciptakan suasana keagamaan yang kondusif maka salah satu keyakinan dilarang untuk mengolok-olok atau menjelekan (hate speech ) agama lain. Konsepsi hate speech ini mencakup referensi khusus untuk istilah hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan secara langsung dan eksplisit. Kata permusuhan (hostility) menyiratkan tindakan yang diwujudkan bukan hanya suatu keadaan pikiran/metal, tetapi menyiratkan suatu keadaan pikiran/metal yang ditindaklanjuti dalam bentuk ekspresi nyata.

Tidak sedikit orang memahami bahwa syiar-syiar agama yang dilakukan oleh pemuka agama yang menjelekan atau menyalahkan amaliyah keyakinan lain sebagai bentuk dari kebebasan berekspresi. Dari itu konsep HAM mengatur mengenai hasutan kebencian ini dengan sangat rinci. Syiar agama yang menjurus kepada kebencian yang menimbulkan permusuhan inilah yang kemudian dikategorikan sebagai hate speech.

Peran Negara dalam menanggapi syiar-syiar agama tersebut dalam konsep HAM (UU No 11/2005) harus membuat aturan khusus untuk melindungi kebebasan syiar dari kaum monoritas yang rentan dengan tindak kekerasan dari kelompok lain, mayoritas, (affirmative action). Secara umum peran Negara dalam konsep HAM untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan mencakup tiga fungsi, pertama, menghorati (to respect) kedua melindungi (to protect) dan juga memenuhi (to ful till).

Artinya Negara dalam menyikapi konflik antara MTA dan NU agar tidak terjadi dilain waktu dan juga di lain tempat harus memenuhi ketiga unsur di atas. Negara tidak boleh membubarkan atau menolak suatu ajaran apa pun yang ada di masyarakat. Sebaliknya pemerintah hanya bertugas wajib menghormati ajaran (to respect). Apa yang dilakukan oleh pemkab Purworejo dalam konsep HAM ini sudah benar karena tidak memenuhi permintaan dari pihak NU yang meminta kepada Pemkab agara menolak kehadiran dan membubarkan MTA di Purworejo.

Baca Juga  Di Negara Miskin, Keyakinan Berkaitan dengan Moralitas

Apa yang terjadi di Sampang, Kudus dan Blora inilah yang kiranya pemerintah wajib tanggap agar kejadian yang sama tidak terulangi lagi. Pemerintah wajib melindungi (to protect) dan memenuhi (to ful fill) keamanan dan kenyamanan bagi warga MTA dan NU dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaranya masing-masing. Untuk mewujudkan itu, paling tidak jajaran pemerintah Blora dan Kudus belajar dari apa yang diupayakan oleh pemerintah Purworejo. Dialog-dialog antar aliran keagamaan harus banyak digencarkan lagi agar perbedaan tidak menjadi boomerang bagi keamanan dan stabilitas nasional.

Pemerintah daerah yang paling dekat dengan konflik-konflik yang terjadi di masyrakat harus bisa menciptakan iklim yang kondusif dalam perdamaian antara umat beragama dan berkeyakinan. Terlebih bulan ini merupakan bulan yang penuh dengan kegembiraan karena kembali kepada kesucian (perayaan besar Idul Fitri). Tidak baik jika dihiasi dengan kegiatan dalam bentuk anarkis dan pembunuhan.

(Tulisan ini dimuat di Harian Jateng Pos, 29 Agustus 2012)

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

2 KOMENTAR

  1. sudah bukan jamannya pepatah Jawa “asu gedhe menang kerahe“……( kelompok besar NU ada baiknya insrtopeksi diri )…..betul contoh kasus Purworejo…..sekarang MTA berkembang pesat di Purworejo, masyarakat aman, tentram, rukun…..silahkan tabayun ke sana….

  2. Iya mas, kami sudah melakukan investigasi kesana. Apa yang dilakukan oleh pemkab Purworejo itu sudah sesuai dengan kaidan penegakan HAM yang melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa saling menjelekan dan menyalahkan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini