Lestarikan Tradisi, Berbalas Diskriminasi

Dewi Kanti
Dewi Kanti

[Bogor –elsaonline.com] “Kami hanya ingin melestarikan tradisi, tapi kemudian malah menjadi korban diskriminasi.” Kalimat itu disampaikan oleh Dewi Kanti, seorang penghayat Sunda Wiwitan dari Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Ia mengungkapkan refleksinya itu sebagai seorang penghayat yang menurutnya hanya ingin melestarikan tradisi leluhurnya.

“Budaya spiritual yang diwariskan oleh leluhur kami itu antara lain mengasihi sesama makhluk hidup baik yang terlihat maupun tidak terlihat,” terang Dewi dalam pertemuan Solidaritas Korban Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Bogor, Selasa (25/3).

Sebagai pelanjut tradisi Sunda, Dewi berujar bahwa Sunda itu tak hanya etnis, tapi juga filosofi yang berarti cahaya, cahaya kedamaian. “Saya hanyalah bagian dari generasi penerus yang ingin terus menggali apa itu Sunda Wiwitan.”

Secara universal, kata Dewi, karakteristik manusia adalah cinta kasih, tata krama, undak usuk. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Hanya manusia yang memiliki kontrol diri. Makanya manusia selalu berupaya menjaga hukum kodrati.

Yang khas dari penganut agama leluhur laiknya Sunda Wiwitan adalah kesadarannya yang penuh terhadap alam dan lingkungan. “Pohon itu juga menyimpan air untuk sumber kehidupan. Tetapi sering ada tanggapan bahwa kami memuja batu atau gunung” keluh Dewi. Mereka meyakini bahwa ada kekuatan yang lebih dari manusia, yakni Hyang.

Stigma yang kerap ditimpakan kepada penghayat adalah pemercaya klenik bahkan ateis, alias tak bertuhan “Spiritualitas leluhur yang dianggap ateis bahkan klenik itu menyebabkan proses dalam kehidupan bermasyarakat berdampak. Apalagi setelah adanya politisasi agama yang berselingkuh dengan penguasa negara,” tukas Dewi.

Penghayat Kepercayaan tidak bermaksud menyalahkan agama-agama yang hadir ke nusantara. Apalagi faktanya ada kenyataan dimana para leluhur di tanah ini membuka ruang seluas-luasnya bagi kehadiran agama apapun. “Tapi jangan lupa dalam periode sejarah tertentu kami menghadapi pembunuhan karakter,” papar Putri Pangeran Jatikusumah tersebut.

Baca Juga  Menengok Sejarah Dialog Agama di Dunia

Diskriminasi terhadap penganut penghayat tidak hanya berlangsung kali ini saja. Hal tersebut sudah ada bahkan sejak zaman Belanda. Tentang pencatatan perkawinan misalnya. Saat itu ada era pencatatan dimana muslim dan non muslim dibedakan. Akhirnya, penghayat mengalami dilema. Tidak diterima di dua pihak. Singkatnya, perkawinan adat dianggap liar. “Kriminalisasi terjadi disitu. Pasangan adat dikriminalkan. Apalagi ketika masa-masa Darul Islam(DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) yang berlanjut sampai tahun 1960an,” ujar Dewi.

Di Cigugur, ia harus survive, ketika kondisi tidak memungkinkan untuk bertahan saat itu. “Maka kami bernaung sementara di “Cemara Putih” (menjadi Katolik dan Kristen, red) untuk menyelamatkan fisik. Kami bernegosiasi dengan pemuka agama setempat untuk adanya akulturasi,” Dewi memberi keterangan. Tetapi, lanjutnya, upaya negosiasi itu gagal. Tidak ada akulturasi. Tidak ada peluang untuk mendialogkan agama dan budaya. Dewi kemudian mengatakan “sehingga kami kembali lagi pada agama leluhur pada tahun 1980an. Konsekuensinya, tentu adanya ancaman terjadinya diskriminasi lagi.” Betul saja. Penganut Sunda Wiwitan mengalami tekanan, terutama yang datang dari negara hingga era reformasi.

Melalui Budaya

Meski mengalami banyak tekanan, tapi Dewi dan penghayat Sunda Wiwitan lainnya tak pernah melakukan perlawanan fisik. “Leluhur kami mengajarkan bahwa jika ingin disayangi Yang Maha Kuasa, maka harus menghargai sesama,” kata Dewi menuturkan prinsip tentang penghargaan sesama manusia. Sebuah bangsa yang berarakter setidaknya memiliki adat, bahasa, aksara dan budaya. “Itu saja yang kami upayakan untuk dilestarikan.”

Penganut Sunda Wiwitan tetap melakukan perlawanan, tapi tanpa kekerasan. Perlawanan itu dilakukan secara kultural. Meskipun ditekan, mereka tetap berupaya menghidupkan tradisi yang hampir punah. Lewat media budaya, penganut Sunda Wiwitan terus menerus mengajarkan secara berkelanjutan kepada generasi muda, bahwa nilai itu bisa dikemas lewat budaya. Salah satu instrumen untuk melakukan hal tersebut adalah melalui kegiatan Seren Taun yang rutin tiap tahun diselenggarakan di Cigugur, Kuningan. [elsa-ol/T-Kh-@tedikholiludin]

Baca Juga  Dari Temu Nasional Jaringan Gusdurian 2022
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini