Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Dari 130 juta calon pemilih pada Pemilu 1999 –kata Ketua KPU, Rudini- 53,6 persennya adalah wanita. Namun meski prosentase perempuan demikian besar (lebih besar bila dibanding laki-laki), hak-hak politik mereka baik secara individu maupun sosial belum sepenuhnya terakomodasi dengan baik dalam struktur kekuasaan. Kekuasaan cenderung represif dan dalam memberlakukan kebijakan pembangunan masih bias gender. Bahkan lebih tragis lagi kaum perempuan sering kali dijadikan ‘tumbal’ dari budaya patriarki yang diskriminan. Kenapa demikian? Apakah lantaran sedikitnya kaum wanita yang duduk di pusat-pusat lembaga pengambilan keputusan? Atau, memang kultur perempuan itu sendiri yang ‘lebih suka’ memposisikan diri sebagai ‘konco wingking’, ataukah akibat para penguasa yang tidak memiliki visi gender? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini.
Realitas menunjukkan meskipun jumlah pemilih perempuan demikian besar, tapi sangat sedikit yang duduk di lembaga pengambilan keputusan. Menurut Mely G Tan, prosentase perempuan di DPR 6,7 persen (1971), 11,8 persen (1987), sedang pada tahun 1997 sekitar 12,2 persen. Tentu, ini merupakan fakta yang sangat ironis, jika perempuan lebih besar daripada laki-laki. Tapi, justru laki-lakilah yang mendominasi di MPR/DPR maupun DPRD (kenyataan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di sejumlah besar Negara, yakni mencapai 32 persen). Kenyataan ini bukan saja mengabaikan atau menelantarkan potensi wanita yang secara kuantitas lebih banyak daripada pria, melainkan juga merefleksikan bias gender dalam kehidupan masyarakat modern.
Sedikitnya jumlah wanita yang duduk dalam lembaga pembuat keputusan memang sedikit banyak akan berpengaruh terhadap arah dan proses pembangunan. Akibatnya, kita saksikan bias gender dalam pembangunan demikian mencolok. Banyak kasus membuktikan, di balik keberhasilan aktivitas pembangunan mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi, harus diakui di sisi-sisi tertentu ternyata acap kali menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan sejumlah besar wanita. Kerap terjadi di berbagai komunitas, perempuan justru mengalami subordinasi dan marginalisasi karena harus melakukan peran rangkap tiga (tripple role).
Brostein (1982), dalam salah satu penelitiannya, menunjukkan, bagaimana seorang wanita dari keluarga miskin sering hidup menderita karena ‘perjuangan rangkap tiga’ (tripple struggle) yang menindihnya. Yakni, a) sebagai warga Negara yang terbelakang, b) sebagai petani yang tinggal di daerah miskin dan terakhir c) sebagai wanita yang hidup di tengah dominasi ‘masyarakat pria’.
Perjuangan kea rah demokratisasi gender memang sudah banyak dilakukan, terutama sejak dekade 1990-an. Pelopornya kalangan NGO/LSM dan akademisi dari Perguruan Tinggi yang mendirikan pusat-pusat studi wanita yang berkonsentrasi terhadap pemberdayaan kaum perempuan. Dari sini, kemudian berkembang suatu kesadaran kolektif tentang kesetaraan gender. Ini bisa jadi merupakan buah keberhasilan cukup signifikan dari feminis yang dengan gigih berjuang menerobos perangkap maskulinitas budaya (the masculinization of culture).
Perangkap maskulinisasi budaya itu telah memberikan keleluasaan kepada kaum laki-laki untuk memegang kendali sector publik di satu pihak dan mengebiri status dan peran kaum wanita di pihak lain. Itulah sebabnya, Naomi Wolf (1997) berkeyakinan bahwa saat ini perempuan berada di era baru yang disebut ‘gegar gender’ (gender quake) dan runtuhnya kekaisaran maskulin. Akan tetapi karena di Indonesia persoalan anthropo-sosiologis demikian kompleks, persoalan gender masih membutuhkan proses berliku-liku dalam peretasannya.
Karena itu, gerakan feminis di Indonesia, banyak menghadapi kendala dalam menerobos perangkap ideology patriarki yang telah dijaringkan sebegitu kukuh pada hampir semua institusi social yang terdapat dalam masyarakat seperti media, agama, Negara dan lain-lain. Semuanya berawal dari proses konstruksi yang kemudian berkembang menjadi suatu aturan simbolis tentang status dan peran kaum laki-laki dan perempuan.
Melalui proses sosialisasi dan generasi ke generasi, aturan aturan simbolis itu diawetkan dan diseminarsikan ke dalam ruang-ruang sosial yang ada dalam masyarakat itu. Ruang sosial yang berbentuk Negara, misalnya, telah terjadi apa yang oleh Meila Stivens (1998) disebut ‘pengender-an negara’. Di dalamnya, Negara dengan instrumen ideological state apparatus yang dimilikinya itu menopang kukuhnya tatanan patriarki. Karena itu, tidaklah mengherankan jika mekanisme rekrutmen elite beserta kebijakan yang dilahirkannya tidak banyak menguntungkan kaum perempuan.
Oleh sebab itu, di era reformasi saat ini, semua pihak (terutama yang berada di garda struktural) perlu menyadari bahwa untuk membangun bangsa yang lebih equal, adil, egaliter dan demokratis, mustahil akan terwujud bila mengesampingkan peran kaum perempuan. Dengan memberi peran proporsional kepada kaum perempuan inilah keseimbangan kosmos –yang merupakan prasyarat kemajuan dan keharmonisan bangsa- akan terwujud. [Justisia edisi 15 tahun VI 1999]