[Brebes –elsaonline.com] Perdebatan tentang hukuman mati bagi koruptor tidak hanya diikuti oleh praktisi hukum dan tokoh lintas agama yang dalam istilah pemerintah disebut sebagai “agama resmi”, tapi juga menjadi perbincangan menarik di kalangan agama lokal yang lahir di Pare Kediri Jawa Timur, yaitu Sapta Darma.
Menurut Ketua Yayasan Sapta Darma (Yasrad) Kabupaten Brebes, Carlim (44), hukuman mati bagi koruptor merupakan langkah yang sangat tepat. Pasalnya, koruptor telah merusak negara. “Saya sangat setuju kalau koruptor dihukum mati. Korupsi itu merusak negara. Kalau pejabat tidak ada yang korupsi, masyarakat Indonesia sejahtera,” jelasnya kepada elsaonline.com, Jumat (17/4) siang.
Dalam pengamatan warga Sapta Darma yang sebelumnya beragama Islam itu, hukuman yang ditimpakan kepada koruptor selama ini belum bisa membuat pelaku jera, atau orang lain tidak ikut berbuat. Bahkan menurutnya, hukuman bagi koruptor yang berlaku saat ini tidak seimbang dengan perbuatannya.
“Harusnya koruptor itu langsung saja dihukum mati. Itu merusak negara. Saya heran, koruptor yang benar-benar merusak negara tidak dihukum, warga Sapta Darma yang taat hukum malah seakan-akan dihukum,” keluhnya.
Bagi bapak 6 anak itu, warga Sapta Darma selama ini seakan-akan hidup dalam bayang-bayang terali besi. Hal ini lantaran masyarakat yang memeluk agama Islam kerap mendiskriminasinya dan negara absen. Sementara apabila warga Sapta Darma melawan, maka persoalannya kerapkali justru dilimpahkan kepada warga Sapta Darma sebagai pihak yang bermasalah.
“Orang Sapta Darma tidak korupsi, tapi hidupnya kok dipersulit. Mau memakamkan jenazah tidak boleh di tempatkan di tempat pemakaman umum, dan pemerintah diam saja. Hingga sekarang kasus penolakan pemakaman jenazah Ibu Jaodah (warga Sapta Darma yang meninggal dunia bebera bulan yang lalu, red) belum ada respon dari pemerintah. Koruptor yang merusak negara, tidak dihukum. Ini lucu,” katanya. [elsa-ol/KA-@khoirulanwar_88/001]