Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Terjadi?

Siti Rofiah
Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti ELSA Semarang

Hari ini, 25 November diperingati sebagai hari anti kekerasan terhadap perempuan. Namun pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan justru bertebaran di media. Beberapa hari yang lalu, di Demak seorang istri dipukul palu oleh suaminya hingga tewas. Di Pasuruan, seorang perempuan yang sedang hamil 7 bulan dibunuh mertuanya sendiri karena melawan ketika hendak diperkosa. Sebelumnya, pada bulan Agustus di Semarang seorang istri juga tewas ditangan suaminya, di tubuhnya ditemukan banyak sekali luka lebam. Kasus-kasus ini sesungguhnya hanya sebagian kecil dari seluruh kasus yang sebenarnya terjadi karena tidak semua kasus kekerasan terhadap perempuan terdokumentasikan.

Salah satu penyebab tidak terdokumentasikannya kasus kekerasan terhadap perempuan adalah banyaknya korban yang enggan melapor bahkan sulit meninggalkan pelaku ketika pelaku adalah pasangannya. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi psikologis dan pola pikir korban. Dalam konteks KDRT misalnya, banyak korban yang merasa bahwa mereka memang pantas mendapat kekerasan karena merekalah penyebab kemarahan si pelaku. Pada akhirnya korban justru menyalahkan diri sendiri dan menganggap KDRT sebagai tindakan yang wajar dan pantas diterima. Situasi ini diperparah dengan sikap pelaku yang manipulatif dan terus menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol korban sehingga korban merasa takut, terintimidasi dan trauma tapi sulit keluar dari hubungan tersebut (Jason Whiting, 2020).

Situasi ini juga terjadi pada perempuan korban kekerasan seksual. Menurut laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender IJRS dan INFID (2020), dari seluruh responden yang berjumlah sejumlah 2.210 orang, lebih dari setengahnya memutuskan untuk tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Oleh karena itu, data kekerasan terhadap perempuan yang tersaji di publik sesungguhnya lebih kecil dari fakta sebenarnya.

Baca Juga  Kedewasaan dan Pendewasaan Beragama

Berbagai kasus di atas menunjukkan kerentanan perempuan sebagai kelompok yang potensial menjadi sasaran tindak kekerasan. Data yang dirilis oleh Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pun menunjukkan demikian. Sepanjang tahun 2023 sejak bulan Januari hingga November ini, secara nasional tercatat sejumlah 24.282 kasus kekerasan di mana perempuan 5 kali lebih banyak (21.408 orang) dibanding jumlah korban laki-laki (5.005 orang).

Secara yuridis, jaminan perlindungan terhadap perempuan sesungguhnya sudah ada sejak lama dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Di antaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan lain sebagainya.

Dengan melihat berbagai undang-undang tersebut di satu sisi dan data kekerasan terhadap perempuan yang tinggi di sisi yang lain, dapat disimpulkan bahwa undang-undang saja ternyata tidak cukup untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian pertanyaan mengapa kekerasan terhadap perempuan terus terjadi menjadi amat penting dan tetap relevan dikemukakan agar akar kekerasan terhadap perempuan dapat dipahami dan ditemukan cara yang tepat untuk menanganinya.

Dalam masyarakat kita, pada umumnya relasi laki-laki dan perempuan bukanlah relasi yang setara. Ada pembedaan peran di antara keduanya. Ada “pekerjaan laki-laki” dan ada “pekerjaan perempuan”. Pembagian pekerjaan secara seksual ini pada perkembangannya memunculkan persepsi tentang mana pekerjaan yang lebih utama dan mana yang tidak. Bahkan, yang satu dianggap “pekerjaan” dan yang lain “bukan pekerjaan”. Umumnya, yang dianggap sebagai “pekerjaan” adalah pekerjaan yang dilakukan di sektor publik oleh laki-laki karena dapat menghasilkan secara ekonomi. Sedangkan “pekerjaan perempuan” dianggap tidak terlalu penting karena tidak menghasilkan ekonomi. Oleh masyarakat pekerjaan publik diberikan apresiasi, sebaliknya pekerjaan domestik tidak dianggap berharga.

Baca Juga  Jurus Jokowi Tandingi “Islam Murni”

Pembedaan ini menguatkan pola relasi kuasa yang timpang di mana laki-laki bisa menjadi amat dominan dalam menguasai dan mengontrol perempuan. Ketimpangan ini bukan saja menciptakan ketergantungan perempuan pada laki-laki secara sosial dan ekonomi, tetapi juga memberikan legitimasi terhadap kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan (Moore, 1994: 66). Sebagai contoh seorang suami dianggap pantas dan boleh melakukan kekerasan terhadap istrinya ketika ia tidak menurut atau dengan alasan untuk “memberi pelajaran”.

Dalam konteks yang lebih luas, ketimpangan relasi kuasa juga menciptakan pembedaan dalam berbagai aspek. Situasi ini oleh Carol Travis disebut sebagai era feminisasi kemiskinan (feminization of poverty) di mana laki-laki diberikan kesempatan yang amat besar di bidang ekonomi, politik, pendidikan dan agama sedangkan perempuan disisihkan, tidak mendapatkan hak pendidikan, dibatasi partisipasi publiknya, dibatasi hak politiknya, dan berbagai stereotip yang dilekatkan misalnya dianggap makhluk emosional, lemah dan kecerdasannya di bawah laki-laki (Nasarudin Umar, 2001: 82). Berbagai pembatasan ini semakin melemahkan dan membuat perempuan semakin sulit keluar dari lingkar kekerasan.

Di titik ini dapat dipahami mengapa hukum tidak bisa dijadikan satu-satunya instrumen untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan karena kekerasan terhadap perempuan berakar pada budaya, yakni ketimpangan relasi kuasa. Oleh karena itu, mendorong relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan merupakan cara yang amat penting dalam mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Tentu upaya ini bukan pekerjaan sehari dua hari karena mengubah nilai masyarakat adalah kerja-kerja budaya yang membutuhkan waktu yang lama. Namun, jika tidak dimulai bagaimana kekerasan terhadap perempuan dapat diakhiri?

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Memahami Jalur Eskalasi dan Deeskalasi Konflik

Oleh: Tedi Kholiludin Konflik, dalam wacana sehari-hari, kerap disamakan dengan...

Tiga Pendekatan Perdamaian

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam artikel “Three Approaches to Peace: Peacekeeping,...

Wajah-wajah Kekerasan: Kekerasan Langsung, Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung (1990) dalam Cultural Violence membagi...

Memahami Dinamika Konflik melalui Segitga Galtung: Kontradiksi, Sikap dan Perilaku

Oleh: Tedi Kholiludin Johan Galtung dikenal sebagai pemikir yang karyanya...

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah 2024

ELSA berusaha untuk konsisten berbagi informasi kepada public tentang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini