Oleh: Tedi Kholiludin
Jika ada dua variabel atau lebih, rumus umum yang akan kita kenali padanya adalah persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Kita mengenali anak kembar melalui persamaan atau kemiripan sekaligus juga perbedaannya. Manusia dan binatang itu berpunggungan, tapi jika ditilik lebih dalam, ada juga kesamaannya. Apel dan jeruk sama-sama buah, tetapi keduanya punya kekhasan (perbedaan) dalam soal rasa.
Setiap individu atau masyarakat hadir dengan ciri dan karakter tertentu. Kekhasan itu ada kalanya muncul secara alamiah seperti warna kulit atau jenis rambut, atau dibentuk (kadang-kadang diberikan label) secara sosial. Betapapun ada perbedaan atau pembedaan, namun tetap tak ada yang bisa menyangkal bahwa didalamnya mengandung pelbagai kesamaan atau setidaknya kemiripan. Meski tentu saja ada beda antara kesamaan (sameness), kemiripan (similarity) atau identik.
Pada relasi sosial tertentu, menunjukkan keunikan itu adalah sesuatu yang penting. Bagaimana menunjukkan kekhasan sebuah kelompok masyarakat sebagai potensi budaya, misalnya. Kekhasan serta ciri yang melekat menjadi identitas yang bisa menjadi tanda pengenal. Ketika anda membandingkan dengan yang lain, maka anda sedang berbicara tentang “anda” dan “bukan anda.” Namun, ada hal yang tak bisa dibandingkan, yakni keunikan tadi. Nah, disinilah kita menjumpai perbedaan.
Di level relasi yang lain, kita mungkin melakukan tindakan sebaliknya; mencari persamaan-persamaan. Seorang kawan bercerita, kalau persaan meng-Indonesia-nya menjadi lebih terasa kala ia berada di luar negeri. Di tempat yang baru, seseorang berupaya mencari orang atau teman yang memiliki kesamaan-kesamaan. Cerita kawan tadi, yang pertama ia cari tentu saja komunitas Indonesia. Setelah bersua dengan komunitas tadi, secara alamiah ia kemudian melanjutkan pencarian; mencari sesama pula, provinsi, kota dan seterusnya.
Kapan menunjukkan kekhasan dan disaat seperti apa mencari persamaan, akan sangat tergantung pada situasi yang sedang dihadapi. Ada momen dimana kita memang dituntut untuk mengapungkan pembeda, juga muncul waktu yang mengharuskan kita mencari persamaan.
***
Ketika konflik atau perbedaan persepsi yang mengarah pada retaknya kohesi sosial, maka mencari titik temu adalah sebijak-bijaknya pilihan. Persamaan itu bisa dinarasikan dalam pelbagai bentuk cerita bersama; kisah sebagai warga negara yang sama, bangsa yang sama, sama-sama manusia dan lainnya.
Kristen dan Isalm memosisikan secara berbeda figur Yesus Kristus atau Nabi Isa al-Masih. Perbedaan ini merupakan konsekuensi dari status teologis Yesus yang berbeda karena diawali oleh pertanyaan, meminjam istilah John Titaley, “Who Jesus is?” (Siapa Yesus itu?)
Jawaban atas pertanyaan ini, biasanya berporos pada status Yesus sebagai ilahi atau manusia, ilah yang manusiawi atau manusia yang ilahi. Di banyak tempat, dua kelompok ini berkonflik karena memperebutkan “status” yang paling benar ini, selain ada juga soal lain tentunya; politik, ekonomi, Pendidikan dan lain sebagainya. Tak jarang, perbedaan ini sengaja dipelihara untuk terus melanggengkan permusuhan.
Inilah situasi dimana kita harus menemukan persamaan-persamaan. Apa yang dibutuhkan? Kita bisa mulai dengan pertanyaan “What Jesus is?” Apa Yesus itu? Apa yang dilakukan dan menjadi konsen Yesus dalam kehidupannya. Dialah yang mengangkat harkat derajat kemanusiaan; melayani orang sakit, membebaskan yang terpinggirkan, menyapa orang Samaria. Yesus menerima manusia yang berasal dari berbagai latar belakang sosial, bahkan orang-orang yang dianggap (oleh orang lain) sebagai pendosa sekalipun.
Menjunjung derajat dan martabat kemanusiaan adalah pokok yang dilakukan Yesus. Baik Islam dan Kristen mengalami perjumpaan pada figur Yesus yang berkarakter demikian. Keduanya bisa menyerap saripati ajaran Isa al-Masih, Yesus Kristeus lalu meneladani lakunya tersebut.