Oleh: Tedi Kholiludin
Fenomena kembali ke udik (baca: mudik) atau balik ke kampung halaman saat jelang perayaan Idul Fitri, merupakan peristiwa multimakna. Pandangan umumnya mengatakan kalau ritus ini adalah momentum untuk kembali ke asal. Mengingat tentang awal mula kehidupan. Tempat dimana kita mulai mengenal lingkungan sosial, sehingga terjadilah interaksi disana. Ingatan tentang interaksi-interaksi inilah yang hendak kembali direngkuh oleh seseorang yang tengah dalam perjalanan untuk kembali ke kampung halamannya.
Jika puasa dimaknai sebagai laboratorium spiritual agar manusia kembali kepada fitrah, maka mudik adalah jembatan fisik menuju kesucian tersebut. Karena bersifat fisik, maka atribusi kultural sangat melekat pada fenomena tersebut. Siapapun yang melakukan mudik, tak pernah berhitung dengan resiko yang akan ia hadapi di jalan. Betapapun sulit dan berlikunya jalan, pasti tidak akan pernah menjadi persoalan. Seperti ada banyak lambaian tangan yang menjadikan energi mereka semakin kuat untuk menerabas rintangan.
Sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas, manusia juga tentu tak lepas dari perbedaan-perbedaan. Entah pandangan politik atau tafsir keagamaan. Dan perbedaan-perbedaan itu sejatinya adalah kewajaran belaka. Mudik memberikan kita kesempatan untuk melakukan ishlah, rekonsiliasi. Memastikan bahwa perbedaan persepsi itu sesungguhnya saling menguatkan, bukan sebaliknya.
Perayaan kembali ke kampung yang dilakukan secara serentak jelang lebaran, memang menjadikan momen ini beririsan dengan banyak elemen. Tak hanya soal agama, budaya, dan sosial yang hadir disana, tapi juga ada faktor ekonomi, dan juga tentang citra sebagai perantau yang berhasil.
Karenanya, tak heran jika fenomena mudik tidak selalu melekat dengan pernak-pernik keriahan, tapi kerap memantik keprihatinan. Selain aspek keselamatan di jalan, ketimpangan sosial juga seperti tergambar disana. Kota-kota besar tetap menjadi magnet bagi para pencari kerja. Pasca lebaran, arus urbanisasi biasanya bertambah besar. Mereka yang kembali ke kota, biasanya akan membawa serta tetangga, keluarga atau sahabatnya untuk beradu nasib.
***
Mudik memang tidak bisa semata-mata dijabarkan secara sederhana sebagai sebuah tekstur halus dari hubungan antara agama dan budaya. Seperti telah dijelaskan di atas, ia tidak semata-mata agama dan budaya, tetapi lebih dari itu. Ada pelibatan emosi juga disana. Meski demikian, saya hanya hendak menjabarkan fenomena tersebut hanya dari sisi dialektika agama dan budaya tersebut.
Budaya, seperti halnya agama adalah sejenis the hidden form of capital atau modal yang tersembunyi. (Berger, 2010). Sebagai peristiwa budaya yang didalamnya juga terdapat pesan agama, kehendak seseorang untuk kembali ke asal-usul kehidupannya, seperti digerakkan. Ada kekuatan yang mendorong mereka untuk melakukannya.
Semangat beragama menjadi modal sosial dan memberikan pengaruh terhadap pergumulan masyarakat modern. Dalam bentuknya yang paling militan hingga yang halus kita merasakan bagaimana pengaruh dari Konfusianisme dan Taoisme di Cina dan Taiwan, Kristen Kharismatik serta Pentakostalisme di Afrika Selatan dan India, Kristen Ortodoks di Rusia, Islam di Indonesia serta spirit kapitalisme di Eropa Timur. Inilah yang disebut sebagai modal tersembunyi itu.
Selain berfungsi sebagai modal tersembunyi, agama, begitu halnya kebudayaan, berperan sebagai obat yang mujarab. (Appleby, 2000). Bahwa agama dan budaya kerap menghadirkan wajah ganda yang ambivalen itu memang fakta yang tak bisa dipungkiri. Keduanya berfungsi menjadi perekat dan sumber integrasi di satu sisi, tapi juga menjadi pemisah dan sumber konfilik di sisi lain. Bagaimana masyarakat yang tidak saling mengenal satu dengan lain, berasal dari berbagai belahan dunia bisa terbangun sentimennya karena agama. Juga sebaliknya, bagaimana ikatan-ikatan persaudaraan menjadi pudar karena berbeda agama atau pemahaman keagamaan.
Pertanyaannya, kapankah sebuah praktek kebudayaan menjadi pemersatu atau obat yang mujarab itu?
Di beberapa wilayah di tanah air, salah satu strategi yang terus diupayakan untuk meredam ketegangan-ketegangan primordial adalah mencari dasar bersama diantara mereka. Itu ditemukan dalam kebudayaan. Mungkin kita akan mengatakan bahwa kebudayaan itu sangat lokal. Tapi jangan dilupakan, bahwa dalam setiap lokalitas, ada universalitas.
Tradisi agama sendiri secara internal sesungguhnya plural, cair, berkembang dan responsif terhadap interpretasi baru yang dibuat oleh para pemimpin agama. Tradisi agama juga mampu membentuk individu, gerakan sosial dan komunitas yang mempraktekan dan mempromosikan toleransi dan anti kekerasan satu dengan lainnya.
Saya ingin mendudukan mudik dalam kerangka tersebut. Ia bisa menjadi strategi kebudayaan masyarakat muslim Indonesia yang khas. Karena itu, mudik sejatinya tidak semata-mata bersifat artifisial. Kembali ke kampung halaman, menuju sangkan paraning dumadi, memiliki fungsi ganda; sebagai kekuatan tersembunyi sekaligus sebagai obat yang manjur.
Menjadi kekuatan tersembunyi, karena kita tidak pernah mendapati alasan lahiriah dengan pasti kenapa seseorang begitu dalam keinginannya untuk menyambangi tempat kelahiran. Kita juga tidak pernah bisa mengetahui secara persis mengapa seseorang, bahkan dalam batas yang paling ekstrem, mau bertaruh nyawa untuk sejenak beristirahat dari rutinitas yang penat.
Di lain sisi, kita bisa mengenali kalau mudik ini sesungguhnya adalah powerful medicine, obat yang mujarab. Obat untuk segala kerinduan, kesalahan dan kealpaan sekaligus sebagai peringatan dini, mediasi dan konsiliasi.