Oleh: Tedi Kholiludin
Seorang kawan, Adrianus Bintang, Mei lalu mengikuti kegiatan Mindanao Peacebuilding Institute di Davao Filipina. Sejenis pelatihan tentang bagaimana mengelola perdamaian. Kepada saya, ia tidak bercerita tentang bagaiamana konten atau metode pelatihannya, tetapi justru tentang pengalaman personalnya sebagai seorang Katolik.
Ia sempat agak terkejut karena tidak pernah mendengar adzan. Padahal, di Semarang, setidaknya lima kali sehari ia mendengar panggilan sholat bagi orang Islam itu. Adzan menjadi bagian integral darinya sebagai seorang Katolik yang hidup berdampingan dengan umat Islam. Ia berujar, “…Islam dan tradisi-tradisinya sudah menjadi bagian hidupku ternyata. Adzan, mudik, lebaran.”
Bahkan, ia agak heran dengan teman sekamarnya yang pendukung perjuangan identitas Islam di Filipina, tetapi sama sekali tidak menjalankan kewajibannya sebagai muslim; sholat ataupun puasa. Karena terbiasa dengan praktik-praktik Islam di Indonesia sejak kecil dan terlibat dalam aktivitas itu, dosen muda di Universitas Katolik Soegijapranata tersebut justru menjadi agak asing dengan kehidupannya bersama muslim di Filipina.
Bintang yang bersama rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga kajian tentang keamanan dan perdamaian itu kemudian bertanya kepada saya, mungkin inilah toleransi, knowing each other.
Pengalaman Bintang ini tentu menarik dalam banyak hal. Secara sosiologis adalah hal yang sangat mungkin jika dalam sebuah interaksi, kelompok kecil memiliki peluang yang besar untuk bersua dengan kelompok yang berbeda. Teman-teman Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu dan lainnya di Pulau Jawa, lebih berpeluang untuk berinteraksi dengan saudaranya yang muslim sebagai kelompok besar.
Dalam hubungan itu, muncul banyak refleksi pengalaman. Ada yang merasa tersubordinasi, lebih memilih acuh tak acuh atau beberapa kelompok mencoba untuk memilih merayakan perbedaan itu dengan cara saling mengenal. Bintang dan teman-teman Katolik serta kawan lain dari jejaring antar iman yang pernah saya kenal, lebih memilih cara yang terakhir. Mungkin ada fakta yang diskriminatif, tetapi mereka biasanya paham, bahwa tindakan segelintir umat Islam itu tidak selalu merepresentasikan umat Islam pada umumnya.
Saya agak tertegun dengan cerita singkat Bintang ihwal pengalaman personalnya di Davao. Kepada Bintang saya katakan bahwa tantangan justru ada pada orang-orang seperti saya yang menjadi bagian dari kelompok mayoritas ini. Saya bisa saja menjadi eksklusif karena ada dalam kelompok besar, yang berpeluang kecil hadir berbarengan dengan kelompok kecil.
***
Orang-orang yang berasal dari kelompok besar seperti saya yang muslim di Jawa, biasanya punya kesempatan yang relatif kecil untuk bersua dengan anggota kelompok minor. Rata-rata mereka berasal dari kelompok yang homogen. Ketika menggelar kegiatan pelatihan bagi anak-anak muda lintas agama di Semarang, peserta dari muslim rata-rata tidak cukup punya pengalaman banyak berjumpa dengan teman-teman yang berbeda agama. Mereka hidup dari satu tradisi yang sama hingga kemudian ada momentum yang disengaja untuk bertemu dengan pemeluk agama yang lain.
Efek negatif yang ditimbulkan dari situasi ini adalah shock, kaget dan situasi terburuknya memendam prasangka terhadap mereka yang berbeda. Orang Islam Indonesia yang terbiasa tiap hari mendengar adzan misalnya, akan mengalami gempa budaya saat ia berpindah ke satu tempat dimana muslim adalah minoritas. Tidak ada adzan, fasilitas ibadah yang sangat jarang, daging babi dijual bebas di pasar dan seterusnya.
Sejak menyadari bahwa kehidupan sosial yang dihadapi adalah sebuah kenyataan yang majemuk, saya berusaha untuk menggiatkan perjumpaan dengan sahabat-sahabat dari pelbagai keyakinan keagamaan. Tak hanya berjumpa, tetapi upaya berikut yang saya lakukan adalah mengenali banyak hal dari mereka; dogma, ritus, tradisi dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang hal tersebut, pasti bermanfaat untuk banyak hal. Salah satunya, saya bisa meluruskan jika ada orang yang sok tahu tentang hal-hal tertentu dari tradisi agama tersebut.
Karenanya, dengan segala kesadaran penuh saya memilih kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Masuk pada perguruan tinggi di kota kecil Salatiga itu adalah cara saya untuk bersua dengan yang berbeda, setelah kurang lebih 20an tahun lamanya saya ada dalam lingkaran kehidupan yang homogen. Inilah cara saya untuk menyiapkan diri agar tidak mengalami gempa budaya. Agar tidak kagetan dan gumunan.
***
Kepada teman-teman sekelas di UKSW, terutama yang berasal dari wilayah dimana Kristen merupakan agama mayoritas, saya sering menyampaikan bahwa mereka beruntung berkuliah di Salatiga. Tidak hanya karena ilmu teologi di UKSW memiliki langgam yang sedikit berbeda dengan kampus lain, tetapi juga karena kultur masyarakatnya.
Jika di Sumba misalnya, suara adzan itu mungkin hanya terdengar lamat-lamat, di Salatiga mereka mendengarnya rutin lima kali sehari. Mereka juga mungkin tinggal di rumah kos yang pemiliknya adalah seorang muslim. Saat Idul Fitri, mereka pun turut merayakannya, setidaknya ada ketupat dan opor ayam yang turut dinikmati.
Singkatnya, ada tradisi baru yang didapati dan digumuli secara intens. Pengalaman kehidupan keseharian yang bisa menggenapi teori-teori yang didapati dari bangku perkuliahan.