Menginstitusionalisasi Perspektif

0
363

Oleh: Tedi Kholiludin

Hari pertama puasa tahun 2016, bertepatan dengan tanggal 6 Juni, saya ngabuburit di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kertanegara, Semarang. Nama formal acaranya saya lupa. Tapi kegiatan itu kurang lebih mengumpulkan semua pendeta HKBP yang ada di Jawa Tengah dan DIY, baik yang sedang bertugas maupun cuti karena kuliah. Tujuannya untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pendeta baik pada konteks jemaat atau yang lainnya.

Meski ada di Semarang, saya mengenal lebih banyak teman-teman pendeta HKBP yang ada di luar Semarang, terutama teman sekelas di UKSW serta jejaring di lintas iman. Pdt. Palti Panjaitan, salah satu pendeta HKBP yang kebetulan sedang menempuh studi master di Yogyakarta, merekomendasikan kepada panitia untuk mengundang saya mengisi salah satu sesi kegiatan tersebut.

Pendeta Palti adalah orang yang merasakan betapa pahitnya dipersekusi. Berulangkali ancaman diterimanya. Setiap kali mendengar cerita bagaimana ia bersama jemaatnya diusir dan dilarang beribadah, membuat saya berulangkali mengurut dada. Tapi, ia selalu berpikir optimis. “Yang penting adalah bagaimana kita kedepan hidup lebih baik, tidak ada lagi orang seperti saya yang menjadi korban,” Palti menebar optimisme.

Posisi saya mengisi sebuah sesi di pertemuan para pendeta HKBP pun sesungguhnya di luar jadwal. Jadi Palti sendiri yang berinisiatif menyusupkan saya. Menurutnya, keterlibatan HKBP secara institusional dalam upaya penguatan korban atau konsolidasi untuk kebebasan beragama, harus terus digaungkan. Agar, kerja-kerja seperti ini tidak hanya melibatkan individu, tetapi lebih baik jika gereja secara institusional punya peran aktif. Begitulah kurang lebih harapan Pendeta Palti saat membisiki saya sebelum kegiatan dilaksanakan.

Saya mengantarkan materi tentang peta potensi konflik di Jawa Tengah. Melalui tema ini, Pendeta Palti bermaksud untuk mengajak seluruh audiens untuk bersama-sama sadar bahwa dalam situasi tertentu, gereja juga bisa berada pada zona tidak nyaman. Intoleransi selalu mengintai setiap saat. Mungkin tampak biasa, tetapi siapa sangka kalau sesungguhnya ada bara di dalamnya. Waspada bukan berarti berburuk sangka.

Baca Juga  Natal dan Pesan Kemanusiaan Universal

***

Gereja-gereja Kristen di Jawa, dalam hubungannya dengan jemaatnya, memang memiliki kecenderungan umum yang khas. Gereja, biasanya hanya ramai saat ibadah dilangsungkan. Setelah itu, jemaat kembali ke rumahnya masing-masing yang jaraknya tidak selalu dekat dengan gereja. Tentu ada banyak hal, selain karena jumlah jemaatnya yang kecil, perbedaan denominasi menjadikan sebab mengapa orang yang di depan rumahnya ada gereja sekalipun, akan bergereja ke tempat yang lebih jauh dimana dia jadi jemaat disana.

Ini tentu menjadi tantangan sendiri. Gereja seperti menjadi bangunan yang tak terwakili dalam aktivitas keseharian. Keinginan Pendeta Palti untuk menaikkan peran personal menjadi aktivitas institusional bisa dimengerti. Konsolidasi dengan lingkungan sangat penting, bahkan ketika lingkungan itu adalah jemaat gereja itu sendiri. Harus ada wakil gereja yang bisa hadir untuk turut meramaikan percakapan publik. Apalagi jika kebetulan pastori atau rumah pendeta tidak berada di lingkungan gereja tersebut.

Di luar soal posisi tersebut, memang tidak bisa dipungkiri kalau bergerak mengatasnamakan institusi besar itu tidak mudah. Mungkin kelompok-kelompok besar itu tidak sulit untuk bertemu pada isu-isu besar yang menjadi tanggungjawab bersama seperti intoleransi, radikalisme, terorisme dan lain-lain. Namun, saat masuk pada konteks yang lebih spesifik, organisasi sosial yang besar butuh waktu untuk menimbang manfaat dan madlorotnya.

Keadaan tersebut yang sering mendorong individu-individu yang menjadi bagian dari organ besar itu memilih untuk bergerak sesuai dengan idealismenya. Meski awalnya adalah kerja-kerja individu, tetapi mereka kemudian menjadi barisan yang solid karena sama-sama berjuang dengan idealisme. Langkah mereka lebih cepat, walaupun tentu saja tetap bukan arus utama.

***

Satu waktu saya mengobrol kecil dengan Mbak Alissa Wahid sewaktu beliau mengisi sebuah acara di Semarang. Kami sama-sama memiliki optimisme tetapi juga tersembul sedikit kekhawatiran. Jika pada saat ini di Jawa Tengah, kita bisa melihat aparat keamanan cukup sigap menghadapi penetrasi dan gelombang kelompok intoleran, namun apakah itu sudah menjadi perspektif bersama, atau baru sebatas di level pimpinannya saja. Sehingga, saat pucuk pimpinan berpindah tempat, institusi itu belum tentu akan bergerak pada arah yang sama.

Baca Juga  Pemimpin Indonesia Wajib Kuasai HAM

Maka dari itu, institusionalisasi perspektif tentang penghargaan atas keragaman dan hak asasi manusia harus dilakukan. Artinya, nilai yang dimiliki bukanlah hanya perspektif personal, tetapi sudah menubuh dalam institusi tersebut. Meski nanti ada pergantian kepemimpinan, tetapi ia digerakkan oleh sistem bukan cara pandang masing-masing individu yang ada di atas.

Sejatinya, ini tak hanya tantangan yang ada di pemerintahan saja, tetapi juga organisasi masyarakat, gereja dan lainnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini