Oleh: Tedi Kholiludin
Dalam salah satu tembangnya yang berjudul “Dzikir”, Mbah Pringis (So Khing Hok) mengutip ayat dalam surat al-Fatihah; “Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’in.” Ayat ini tidak hanya menjadi inspirasi bagi penulisan liriknya, tetapi juga kehidupan privatnya.
Dan juga ada beberapa ayat lain yang menginspirasi dirinya.
Mbah Pringis sebenarnya agak ragu ketika hendak memasukan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam lirik lagunya. Kepada saya, dia mengatakan, “saya deg-degan saat itu. (ayat) ini dimasukkan atau tidak karena takut salah.” Ia menyadari bahwa sebagai Tionghoa, cara dia melafalkan tentu tidak sama. “Apalagi lidah saya kan lidah Cina jadi agak kaku. Mbuh, bener mbuh ora nyebute,” akunya.
Ayat kelima surat al-Fatihah itu memiliki cerita yang agak personal. Kata Mbah Pringis, karena ayat itulah ia masuk Islam pada Idul Fitri tahun 2004. Baginya, sebagai manusia, satu-satunya yang layak dimintai dan disembah hanyalah Tuhan, bukan manusia. Kedalaman psikis yang didapat dari ayat ini yang kemudian dengan segala tekad bulat yang dimilikinya, Iyyaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’in itu akhirnya dilafalkan sebagai bagian dari lirik lagu Dzikir.
Firman lainnya yang memberinya inspirasi adalah surat al-Hujurat ayat 13, Ya ayyuhannas, inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa, wa ja’alnakum syu’ubaw wa qaba-ila, lita’arafu. (Hai manusia! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu dengan perantaraan laki-laki dan perempuan, serta Kami jadikan kamu bersuku-suku dan bergolong-golongan, supaya kamu saling mengenal). Ayat ini yang kemudian ia daratkan dalam lirik “menungso diciptakno bedo bongso, supaya kenal pungkasane tresno.”
Untuk menunjukkan keagungan dan kemahaluhuran Tuhan, Mbah Pringis menyisipkan dua bacaan dalam sholat, ketika ruku’ dan sujud; subhaana rabbiyal ‘adziimi wa bihamdih dan subhaana rabbiyal a’la wa bihamdih. Lalu ada juga kutipan tentang rukun Islam seperti sholat dan puasa, juga amal jariyah.
Dalam lirik ora ono “menungso sing sempurno” ia maksudkan bahwa manusia itu jangan membenarkan diri sendiri, karena tidak ada yang sempurna. Jadi meski Islam itu mayoritas harusnya melindungi yang minoritas, jangan menekan.
***
Kepada saya, Mbah Pringis mengaku kalau ada banyak syair di lirik lagunya yang menggunakan kata “ojo” atau jangan. Disini, ia sebenarnya hendak melakukan kritik kepada kaumnya, kelompok Tionghoa.
Kata larangan ini, kata Mbah Pringis berkaitan dengan prilaku umum orang Tionghoa yang kerap minggat (ini bahasa Mbah Pringis sendiri). Saya tidak mengerti awalnya, apa yang dimaksudkan dengan minggat.
Ia kemudian melanjutkan bahwa pergerakan cepat orang Tionghoa dari satu tempat ke tempat lainnya itu dilakukan karena beberapa sebab. Pertama, mereka pergi ke tempat yang lebih nyaman karena dimusuhi “pribumi” setempat. Kedua, kalaupun orangnya tidak pergi, tetapi duitnya yang dititipkan di luar negeri.
Karena berkaitan dengan kekhasan ciri itu, maka ia mengajak mereka untuk kembali lagi. Tetapi kembalinya jangan sampai melakukan perbuatan “molimo.” Kalau tetap melakukan, percuma saja.
Salah satu cara untuk mengingatkan sesama orang Tionghoa, Mbah Pringis menulis lirik, elingo leluhur siro, poro santri soko Cina. Orang Tionghoa itu adalah kelompok yang sangat memuja leluhurnya. Jadi kalau leluhurnya yang santri itu disebutkan, harapannya agar mereka takut kepada leluhurnya.
Jadi orang Tionghoa mau melakukan apapun terhadap apa yang oleh leluhurnya diajarkan atau dikatakan. Dan Cheng Ho itu adalah leluhurnya. Karenanya, mendekat dan tinggalah di Indonesia karena Cheng Ho pernah datang kesini. Ia mengingatkan hal tersebut melalui lirik-liriknya.
***
Sembari agak berkelakar, kepada saya, Mbah Pringis mengatakan hal yang saya rasa cukup penting. Ia menulis lirik “dulur tuwo ndang ngamal’o” atau saudara tua, beramallah. Sembari mengisap sebatang rokok, ia menjelaskan maksud lirik itu. “Orang Cina itu duitnya banyak, maka cepatlah beramal.”
Khusnul Khotimah Mbah Pringis… Lahul Fatihah