Oleh: Tedi Kholiludin
Saya mendapatkan kesempatan untuk berguru tentang siasat mengkompromikan antara idealitas dengan realitas, kebutuhan visioner dan tuntutan hidup sehari-hari. Memang tidak mudah, tapi itu adalah hal yang penting untuk membuat dinamisasi. Terlampau ideal tanpa memerhatikan keperluan praktis atau terlalu pragmatis sampai menghilangkan semangat jangka panjang adalah dua sikap yang sebisa mungkin dihindari.
‘
***
Senin (13/6) kemarin, saya bersilaturahmi dengan keluarga Pdt. Tjahjadi Nugroho dan dua puteranya Mas Arianto Nugroho dan Mbak Ellen Nugroho. Saya, Meiga dan Najma bersama Mas Setyawan Budi datang menyengaja sebelum pulang mudik berlebaran. Mereka merupakan perintis kelompok Kristen Unitarian di Semarang, dan bahkan mungkin Indonesia. Kepada publik, keluarga ini lebih sering mengenalkan dirinya sebagai penganut Kristen Tauhid. Sejak 2008-2009, saya sudah mengenali Pdt Tjahjadi, tetapi belum seintens 5 tahun terakhir.
Sebagai seorang yang sudah makan garam di dunia gerakan, tentu ada banyak yang kisah pilu yang dilalui Pdt. Tjahjadi. Kisah-kisah itulah yang banyak beliau hantarkan sebagai penghangat perjumpaan kami.
Laiknya aktivis lainnya, mantan Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia (API) ini juga hidup dengan segala idealismenya. Dan, seperti kita tahu, para aktivis yang terlampau ideal ini agak menomorsekiankan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pola ini bisa saja bertahan, tapi pada satu titik harus ada negosiasi atasnya. Artinya, kebutuhan praktis yang bersifat reguler juga harus dipikirkan.
Jika kehidupan ini adalah ladang, maka tanamilah ia dengan bayam dan pohon jati. Demikian Pdt. Tjahjadi memberikan ilustrasi atas kompromi-kompromi tersebut. Pohon jati adalah perumpamaan untuk sebuah investasi jangka panjang yang belum bisa dituai dengan cepat. Ia butuh proses. Dan inilah dunia para aktivis. Kadang, atau bahkan seringkali, buah yang dipetik atas usaha yang dilakukan barulah terjadi puluhan tahun kemudian. Padahal, di sisi lain, kehidupan harus terus berjalan. Disinilah perlunya pohon bayam. Ia ditanam untuk menjadi energi keseharian sembari menunggu pohon jati berusia tua dan punya harga tinggi di pasar.
***
Tak hanya soal pelajaran untuk mendialogkan antara dunia ide dan kenyataan keseharian, Pdt Tjahjadi juga bercerita banyak tentang bagaimana ia mendidik sekaligus menanamkan karakter pada anak-anaknya. Pesannya, jangan memaksakan idealitas kita pada mereka. “Saya pernah menyuruh salah satu anak saya belajar piano. Ternyata itu bukan minatnya. Setelah agak panjang memendam keinginannya, ia kemudian meminta izin kepada saya untuk tidak lagi berpiano, tetapi melukis. Eh ternyata disitulah bakat yang sesungguhnya,” ujarnya berkisah.
Ia tak pernah menagih untuk mendapatkan ranking tinggi atau indeks prestasi yang istimewa. Tapi setidaknya, 4 anak-anaknya diarahkan untuk menguasai tiga kecakapan. Pertama, soal seni; bermain piano, guitar, melukis dan lainnya. Baginya, seni membuat hidup menjadi dinamis, indah dan tidak kaku atau saklek.
Kedua, adalah bahasa sebagai alat komunikasi. Orang seringkali mengistilahkan bahasa sebagai jendela dunia dan tak ada keraguan apapun. Memang demikian adanya. Apalagi di dunia yang semakin terhubung satu dengan lainnya. bahasa menjadi medium yang sangat penting dalam sebuah relasi.
Ketiga, apa yang oleh Pdt. Tjahjadi kenal sebagai keterampilan hidup. Saya sempat bertanya apa yang dimaksud dengan keterampilan hidup tersebut. “Ya banyak contohnya. Memasak, menjahit dan sebagainya,” ia menjelaskan.
***
Saya teringat Socrates dan bagaimana ia menggambarkan tentang Athena. Baginya, Athena adalah tempat baginya untuk bersua dengan para begawan dan belajar darinya. Ia tidak bermaksud mengajarkan apa yang ia pahami. Kepada warga Athena, justru ia banyak melontarkan pertanyaan, untuk kemudian merumuskan sebuah kesimpulan yan logis.
Orang yang baik, bagi filusuf yang hidup pada 469-399 SM, adalah mereka yang mampu mengenali diri yang akan membawanya pada kebahagiaan sejati. Dari situlah kebijaksanaan sejati bisa dipetik.
Kehidupan adalah seni menyusun rencana, mengonsolidasi kehendak, dan mengalasinya dengan cita ideal. Didalamnya ada proses kompromi dan negosiasi, karena tak semua yang ideal itu sesuai dengan modal awal yang kita miliki. Berkaca dan mengenali potensi diri adalah kunci untuk melewati setiap episode kehidupan. Dan, selalu membumi. Belajar banyak kepada mereka yang cukup lumayan jauh melewati proses.
Kehidupan, sebelum dilewati, bagaimanapun juga memang harus dipikirkan. Karena, kata Socrates, kehidupan yang tak dipikirkan adalah kehidupan yang tak pantas untuk dijalani.