Oleh: Tedi Kholiludin
Meski ada keharusan untuk berinteraksi dengan sangat minimal dengan sesamanya, tetapi manusia tetap perlu hidup. Dengan apa yang tersisa di dalam lemari es, ia memaksimalkan bahan-bahan itu. Didalamnya, taruhlah, tersedia 250 gram kacang hijau. Kita bisa memilih untuk memasaknya sebagai bubur atau sup.
Kita barangkali tak kesulitan untuk menyulap kacang hijau mentah menjadi sup atau bubur kacang hijau dengan rasa yang disesuaikan selera. Tapi, untuk merebus kacang, kita perlu panci. Butuh kompor untuk memanaskannya. Panci hanya bisa dibuat oleh ahlinya. Begitu pun kompor.
Jangan lupakan juga asal muasal kacang hijaunya. Ia tak datang begitu saja sebagai biji yang terkelupas dari cangkangnya. Tumbuh-tumbuhan yang diduga berasal dari India dan dikenalkan orang-orang Cina ini harus ditanam, diairi hingga bisa dipanen. Begitupun dengan gula, garam, santan, daun pandan dan bumbu lain yang memungkinkan kacang hijau mentah bisa dimasak dan disajikan sebagai makanan.
Yang bisa memasak, belum tentu mampu menanam. Butuh para petani yang dengan telaten merawatnya. Tanpa dirawat dengan baik, mustahil ia akan menjadi tumbuhan yang (dalam amatan Thomas Raffles di buku The History of Java) mampu menggantikan kacang polong untuk diet.
Untuk menyajikan semangkuk bubur kacang hijau atau sup kacang hijau sebagai teman santap siang, kita butuh banyak orang yang terlibat. Pembuat panci, pengrajin kompor, petani dan sebagainya. Butuh mereka yang menjual barang-barang tersebut juga.
Pada setiap upaya pemertahanan diri, kita juga tak bisa melakukannya seorang diri.
Dalam diri hewan buas atau liar, ada kekuatan yang berlipat lebih besar daripada manusia. Pada setiap binatang ada insting memusuhi. Karenanya, mereka dibekali kekuatan dalam tubuhnya untuk melindungi diri. Baik itu berupa tubuh yang besar, maupun kaki-kaki yang lincah untuk berlari dari kejaran musuh.
Manusia memiliki akal untuk mempertahankan dirinya. Ia bisa membuat senjata, tombak atau ranjau untuk menghadapi binatang buas tersebut. Alat-alat itu harus dibuatnya karena ia tak mungkin membekali diri tanpa senjata apapun. Setidaknya, tembakan senapan bisa menakut-nakuti singa yang mengejarnya. Untuk menyediakan senjata-senjata itu, manusia butuh para ahli pembuat senjata.
***
Gambaran metaforis diatas terilhami oleh analogi yang dibuat Ibn Khaldun dalam “Muqoddimah”nya. Ia menggambarkan tentang bagaimana relasi antar manusia dalam bagian awal magnum opusnya tersebut. Sifatnya yang sosial adalah ciri yang melekat pada setiap manusia. Dengan mengutip ungkapan para filusuf, manusia itu secara natural adalah madani atau bersifat sipil (al-Insaniy madaniyyun bi al-thob’i). Dalam edisi Bahasa Inggrisnya ditulis, man is political by nature. Political disini baiknya dipahami dalam pemahaman dasarnya, polis atau negara kota (madani). Jadi, manusia itu, harus memiliki hubungan sosial, sebagai refleksi dari sifat dasarnya tersebut.
Betapapun melimpahnya harta seorang taipan, ia butuh karyawan yang melakukan kerja teknis di lapangan. Topangan kekuatan dari seorang raja adalah rakyatnya yang tunduk dan patuh selain pasukan perang yang kokoh. Cendikiawan, tak bisa cerdik tiba-tiba dengan mengisolasi diri di dalam gua. Ia butuh imajinasi yang disarikan dari kisah-kisah orang lain.
Kebutuhan akan yang lain semakin terasa ketika kesulitan melanda atau pada situasi yang oleh Ibn Khaldun sebut sebagai langkah mempertahankan diri. Kita perlu tenaga medis kala sakit. Butuh bank yang meminjamkan modal usaha dan seterusnya. Salah satu syarat kemerdekaan sebuah negara adalah pengakuan dari negara lain.
Cina mengimpor masker dari Indonesia ketika wabah mendera Negeri Tirai Bambu itu. Belum lelah usai berjibaku menanggulangi pandemic, tenaga medis mereka dikirim ke Italia membantu pemerintah setempat yang mulai sempoyongan. Kuba tak mau ketinggalan. Negeri Fidel Castro itu mengirim dokter dan tenaga medis ke Negeri Pizza.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menelpon Xi Jinping Presiden Cina pada Jumat (27/3/20). Trump mendengar bagaimana Xi menyampaikan pengalaman Cina dalam menanggulangi wabah Covid-19 yang sejauh ini, dinilai cukup sukses. Negeri Paman Sam yang digdaya sekalipun, butuh yang lain.
***
Pandemi ini mengingatkan manusia untuk kembali kepada jatidirinya sebagai makhluk sosial. Mereka perlu bersolidaritas di level global. Jika biasanya solidaritas disimbolkan dengan bergandengan tangan, tetapi sekarang, berdiam diri di rumah dan memberi dukungan kepada frontliners sudah menandakan semangat solidaritas.
Kepercayaan diri memang dibutuhkan. Tapi, percaya diri tidak berarti menafikan sinergi. Isolasi juga bukan jawaban. Dunia butuh sinergi warganya dalam menghadapi penderitaan bersama ini.