Oleh: Iwan Madari (Fotografer Alumni Fakultas Ilmu Bahasa dan Budaya UNIMUS)
Awal 2020 wabah virus yang kemudian dikenal COVID-19 atau lebih popular dengan Corona merebak di Wuhan, RRC kemudian menjadi pandemi di seluruh dunia. Di media sosial muncul saran-saran untuk memperkuat imunitas tubuh guna mengantisipasi infeksi virus. Salah satunya adalah dengan berjemur di bawah sinar matahari.
Matahari telah menjadi obyek sentral dalam agama dan kebudayaan di seluruh dunia sejak zaman prasejarah. Pemujaan terhadap matahari telah memunculkan Dewa Matahari. Dalam tradisi teistik di seluruh dunia; Amaterasu di Jepang, Ra di Mesir, Helios di tradisi yunani, Surya dalam mitologi Hindu, Sol di tradisi Norse, dalam kosmologi Buddhis, bodhisattva Matahari dikenal sebagai Suryaprabha (“memiliki cahaya matahari”); dalam bahasa Tiongkok ia disebut Rigong Riguang Pusa (Bodhisattva Surya Cerah dari Istana Surya), Rigong Riguang Tianzi (Pangeran Surya Terang dari Istana Matahari), atau Rigong Riguang Zuntian Pusa (Pangeran Surya Pangeran Matahari Terbesar yang Sangat Dihormati), salah satu dari 20 atau 24 dewa penjaga. Konsep matahari di Arab Pra-Islam, Dewa matahari Arab adalah seorang dewi, Shams/Shamsun, kemungkinan besar terkait dengan Shapash Kanaan dan Shamash timur tengah, dia adalah dewi pelindung Himyar, dan mungkin dipuja oleh para Sabaean dan Badui awal, pada gambar Buddha dan Yesus selalu ditemukan lingkaran matahari di belakangnya.
Di beberapa suku kepulauan nusantara, matahari disebut sebagai “ayah” atau “leluhur”. Penganut agama lokal Sapto Dharmo setiap pagi bersujud ke arah timur, ke arah matahari terbit. Bendera Jepang menggunakan lingkaran merah di tengah sebagai simbol matahari terbit karena kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan Dewa Matahari. Bahkan Raja Prancis Louis XIV mempunyai gelar “Le Roi Soleil” yang artinya Raja Matahari. Selain hubungannya langsung dengan cahaya dan kehangatan, matahari juga penting dalam penentuan waktu. Ingat, kalender yang kita gunakan sekarang adalah kalender berdasarkan rotasi bumi mengitari matahari.
Pemahaman awal matahari adalah cakram di langit, yang kehadirannya di atas cakrawala menciptakan siang dan ketidakhadirannya menyebabkan malam. Di Zaman Perunggu, pemahaman ini dimodifikasi dengan mengasumsikan bahwa matahari diangkut melintasi langit dengan perahu atau kereta. Lalu diangkut kembali ke tempat matahari terbit pada malam hari setelah melewati dunia bawah.
Banyak monumen kuno dibangun dengan berlalunya tahun matahari. Misalnya, monumen megalitikum secara akurat menandai titik balik matahari musim panas atau musim dingin. Beberapa megalitikum paling menonjol adalah di Nabta Playa Mesir, lalu Mnajdra, Malta, dan di Stonehenge (Inggris), dan “Newgrange”, gunung buatan manusia prasejarah di Irlandia yang dirancang untuk mendeteksi titik balik matahari musim dingin. Serta piramida El Castillo di Chichen Itza di Meksiko dirancang untuk memberi bayangan dalam bentuk ular yang memanjat piramida di titik balik musim semi dan musim gugur.
Dalam Mitologi modern, Copernicus menggambarkan matahari secara mitologis, mengambil dari contoh Yunani-Romawi:
Di tengah-tengah semua duduk Matahari di atas takhtanya. Dalam kuil yang terindah ini, dapatkah kita menempatkan termasyhur di tempat yang lebih tepat sehingga dia dapat menerangi keseluruhannya secara bersamaan. Tepatnya ia disebut Lampu, Pikiran, Penguasa Alam Semesta: Hermes Trismegistus memberinya hak sebagai Dewa yang Terlihat. Sophocles ‘Electra menamainya Yang Maha Melihat. Demikianlah Matahari duduk seperti pada mimbar kerajaan yang memerintah anak-anaknya planet-planet yang melingkari dia. Dewa lokal utama dalam teosofi adalah Solar Logos, “kesadaran matahari”.
Matahari adalah sumber energi utama untuk bumi. Tanpa matahari, kehidupan di bumi akan menjadi goyah seperti yang pernah terjadi saat meletusnya gunung Tambora di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1815. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan “A Year Without Summer” yang terjadi pada tahun 1816. Atau juga dikenal sebagai “Poverty Year” karena perubahan cuaca yang abnormal atau perubahan iklim yang menyebabkan suhu global rata-rata menurun sebesar 0,4-0,7 ° C (0,72-1,26 ° F). Sejarawan John D. Post menyebut kondisi ini adalah “krisis subsisten besar terakhir di dunia Barat”.
Penyimpangan iklim tahun 1816 memiliki efek terbesar pada sebagian besar New England, Kanada Atlantik, dan bagian Eropa Barat. Rata-rata wilayah tersebut mengalami penurunan suhu yang disebabkan oleh debu vulkanik dari letusan gunung Tambora yang menghalangi sinar matahari masuk ke bumi, selain menyebabkan gagal panen & kelaparan, epidemik tipus juga terjadi di wilayah Irlandia 1816-1819, diperkirakan 100.000 orang Irlandia tewas dalam jangka waktu tersebut.
Manusia dibesarkan di hutan. Kita pun memiliki ketertarikan alami terhadap hutan. Daun-daunnya memanen cahaya matahari untuk fotosintesis. Pohon bersaing dengan membuat sekelilingnya tertutup bayangan. Jika kita memperhatikan dengan seksama, kita akan melihat dua pohon saling mendorong dengan gerakan tak kentara dan bergerak ke arah sinar matahari. Tanaman adalah mesin indah dan hebat, yang diberi tenaga oleh sinar matahari. Ia mengambil air dari tanah dan karbondioksida dari udara untuk mengubah bahan-bahan itu menjadi makanan bagi hidupnya sendiri dan bagi makhluk hidup lain.
Tumbuhan memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi untuk menjalankan urusannya. Sedangkan manusia, sebagai parasit tumbuhan yang mencuri karbohidrat supaya bisa menjalankan segala urusannya. Ketika memakan tumbuhan, kita memadukan karbohidrat dan oksigen yang terlarut dalam darah karena kita cenderung menghirup udara, sehingga kita bisa mengekstrak energi supaya dapat bergerak. Dalam proses tersebut kita menghembuskan karbon dioksida yang diambil lagi oleh tumbuhan untuk membuat karbohidrat. Tumbuhan dan hewan masing-masing menghirup apa yang dihembuskan oleh yang lain, semacam pernafasan bantuan dari mulut ke stoma dalam skala planet, siklus elok yang ditenagai oleh sinar bintang yang berjarak 150 juta kilometer.
Asal usul dan evolusi kehidupan yang sangat berhubungan erat dengan asal usul evolusi bintang. Pertama, atom-atom yang memungkinkan kehidupan, dihasilkan dahulu sekali dan jauh di dalam bintang-bintang raksasa merah. Kelimpahan relatif unsur-unsur kimia yang ditemukan di alam semesta sangat cocok dengan kelimpahan rata-rata atom yang dihasilkan di bawah bintang, sehingga hampir tak diragukan lagi bahwa raksasa merah adalah pemanggang dan wadah peleburan tempat zat dibentuk. Matahari yang menyinari bumi sekarang adalah bintang generasi kedua atau ketiga. Seluruh zat di dalamnya, seluruh zat yang kita lihat sekeliling, telah melalui satu atau dua siklus alkimia bintang sebelumnya.
Kedua, keberadaan jenis-jenis atom berat tertentu di bumi menunjukkan ledakan supernova di dekat kita tak lama setelah tata surya terbentuk tapi hal ini tidaklah kebetulan belaka lebih mungkin bila gelombang kejut yang dihasilkan supernova memampatkan gas dan debu antar bintang dan memicu pembentukan tata surya.
Ketiga, ketika matahari mulai bersinar, radiasi ultravioletnya mengalir ke dalam atsmofer bumi, panasnya menimbulkan kilat dan sumber-sumber energi ini mencetuskan molekul-molekul organik yang kemudian menjadi asal-usul kehidupan.
Keempat, kehidupan di bumi hampir semuanya bergantung kepada cahaya matahari, tumbuhan mengumpulkan foton dan mengubah energi surya energi kimia. Binatang memakan tumbuhan, bercocok tanam sebetulnya hanyalah memanen cahaya matahari secara metodis dan menggunakan tanaman sebagai perantara. Matahari menghangatkan kita, memberi kita makan dan memungkinkan kita melihat. Matahari menyuburkan bumi, burung-burung menyapa matahari terbit, bahkan organisme bersel tunggal juga tahu berenang menuju cahaya. Tanaman selalu tumbuh menuju ke arah cahaya matahari. Leluhur kita menyembah matahari, dan mereka bukanlah orang bodoh.
Sinar matahari juga berperan dalam pembentukan vitamin D penguat tulang pada mahluk bertulang belakang, termasuk manusia. Sinar matahari mengandung 2 macam sinar UV (ultraviolet) yaitu UVA dan UVB. Perbedaan terletak pada panjang gelombangnya. UVA memiliki gelombang yang lebih panjang sehingga akan menyebabkan penetrasi yang lebih dalam ke jaringan kulit (dermis) dan mengakibatkan kerusakan pada matrix collagen kulit, sedangkan UVB memiliki gelombang pendek-sedang. UVA sering dijumpai pada jam 07.00 pagi dan juga bisa dijumpai melalui sinar matahari yang menembus jendela kaca, baik itu kaca jendela rumah maupun kaca jendela mobil. Menurut dr. Mercola (2016) dan dr. Diane Godar (2009), UVA justru akan menimbulkan efek negatif pada kulit, seperti melanoma (kanker kulit). Hal ini terbukti dari kejadian melanoma yang lebih banyak terjadi pada pekerja indoor (pekerja kantor) dibanding pekerja outdoor.
Dalam kasus pandemi virus corona seperti sekarang, banyak pakar kesehatan yang menyarankan untuk berjemur di bawah sinar matahari, karena sinar matahari mampu mengaktifkan vitamin D. Ada penelitian juga yang menyebutkan bahwa hal itu mempengaruhi sel kunci sistem imunitas. Universitas Edinburgh menemukan bagaimana vitamin D mampu mempengaruhi sebuah mekanisme sistem imunitas tubuh. Sel dendritik merupakan sel imun yang menjadi bagian penting pada sistem imun mamalia. Fungsi utamanya adalah memproses material antigen dan mempresentasikannya pada permukaan sel untuk bisa dikenali oleh sel imun yang lain. Fungsi ini disebut Antigen-presenting cells (APC). Sel dendritik merupakan jembatan penghubung antara imunitas bawaan dan adaptif. Sel dendritik berada dalam jumlah kecil pada jaringan, berada dalam kontak dengan lingkungan eksternal, dan lapisan dalam hidung, paru-paru, lambung, dan usus dan mempunyai kemampuan mengaktifkan Sel T. Dalam tubuh yang sehat, sel T ini mempunyai peranan penting untuk membantu tubuh melawan infeksi bakteri dan virus.