Virus, Ilmuwan dan Kegenitan Agamawan

Oleh: Cahyono_Penulis lepas, Lurah Pondok Pesantren Attaharuriyah Ngaliyan-Semarang

Tahun 2020 awal, bencana global macam virus Covid-19 menjadi pukulan keras bagi masyarakat di mancanegara, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Beragam pendekatan ilmiah telah dilakukan sebagai upaya identifikasi jenis virus baru dengan vaksin yang masih meraba-raba. Dampak wabah yang kian meningkat, bahkan menelan banyak korban segala usia. Kasus ini mengingatkan kita pada wabah paling terkenal di dunia yang dinamai Maut Hitam, meletup pada dekade 1330 silam, di suatu tempat di Asia timur atau tengah, ketika bakteri penumpang kutu Yersinia pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu, (Yuval Noah Harari, 2018:7).

Dari sana dengan menumpang armada tikus dan kutu, wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa dan Afrika Utara, hanya dalam kurun kurang dua tahun mencapai pesisir-pesisir Samudra Atlantik. Antara 75 sampai 200 juta orang mati, dan populasi susut dari 3,7 juta jiwa sebelum wabah, menjadi 2,2 juta jiwa setelah wabah. Tak kalah hebatnya dari peristiwa wabah ini, virus Corona kini menjadi momok mengerikan bagi masyarakat di dunia. Perkembangan terakhir menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 30 Maret 2020, di Indonesia kasus positif ada di angka 1.414 pasien menyebar ke 31 provinsi. Sementara pasien yang meninggal sejumlah 122 jiwa.

Virus yang kini menjalar ke sebagian besar wilayah di Indonesia, dengan angka kasus yang kian meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa Corona bukan sembarang virus, tetapi lebih dari itu. Gejala wabah pandemi ini adalah peristiwa kemanusiaan. Di sini, pendekatan komunal yang harus dikedepankan. Instruksi pemerintah dan kesadaran bersama setiap elemen masyarakat menjadi jembatan untuk meminimalisir proses penyebaran virus ke wilayah yang lebih luas. Kini yang lebih penting untuk tidak saling menegasikan. Agamawan, ilmuwan, akademisi, pemerintah, dan elemen lainnya mestinya turut memperkuat kesadaran akan bahaya virus Corona ini.

Di tengah arus teknologi yang amat kencang, segala macam informasi berseliweran menjadi konsumsi masyarakat. Wajar jika gejala wabah corona ini menjadikan kepanikan yang menguat di sebagian masyarakat perkotaan. Ditambah penanganan dan respon pemerintah terkesan lamban. Kelambanan pemerintah dalam menyikapi bencana global ini, terlihat ketika terpaparnya kasus pasien positif virus corona pertama ditemukan pada 2 Maret 2020. Presiden Joko Widodo dan para menterinya masih saja santai. Mereka tak segera menyikapi gugus tugas. Walhasil terjadilah gagap rantai komando. Setiap daerah seperti bergerak sendiri-sendiri. Tak ada penanganan yang cepat. Pernyataan pejabat publik sebagai pemangku otoritas kerap blunder. Terbukti dari beberapa pernyataan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang menganggap gejala ini dengan lelucon. Berulang kali Terawan Agus Putranto menyebut virus Corona adalah virus yang tidak harus ditakuti. Bahkan dokter yang menyandang jenderal bintang tiga TNI itu menyampaikan Corona seperti sakit flu pada umumnya. “Menkes kofiden, yang dihadapi itu corona, bukan sesuatu yang menakutkan. Justru yang menakutkan itu beritanya,” kata Menkes Terawan di Istana Kepresidenan, Senin (2/3).

Baca Juga  ‘Anjing’ Menggonggong, Kafilah Menggonggong

Respon serupa yang terkesan meremehkan dengan nada lelucon juga datang dari sebagian agamawan. Kegenitan agamawan, mohon maaf tanpa mengurangi rasa hormat dan takzim saya kepada Habib Luthfi Bin Yahya pun demikian, yang melengkapi bebalnya pejabat pemerintah, dengan entengnya mengatakan dihadapan jamaahnya bahwa; “selagi percaya pada Tuhan kenapa harus takut Corona? Memangnya Corona itu Tuhan?”

Pada konteks tertentu meninggikan tauhid diperlukan, tetapi pada situasi wabah pandemi ini saya pikir kurang tepat. Ada aspek sosial yang terancam lebih besar. Takut virus bukan berarti tidak takut Tuhan. Takut Corona bukan berarti di situ meniadakan kekuasaan Tuhan. Di dunia ini, tak ada yang lebih penting dari kemanusiaan. Ini menyangkut nyawa manusia. Siapapun bertanggungjawab atas peristiwa ini. Termasuk agamawan.

Menanggapi gelaja global ini, pernyataan blunder disampaikan oleh juru bicara penanganan virus Corona (Covid-19) Achmad Yurianto dalam siaran persnya di kantor BNPB, Jumat (27/3) lalu. Ia mengatakan bahwa; “Kerjasama yang penting untuk mematuhi anjuran pemerintah dalam menjaga jarak pada kontak sosial, yakni ketika yang sakit melindungi yang sehat agar tidak tertular oleh penyakitnya. Yang sehat melindungi yang sakit agar tidak keluar dari rumah dan melakukan kegiatan yang tidak perlu di luar rumah. Kemudian yang kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar, dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerjasama yang penting.”

Bahkan dalam penjelasannya soal penyataan tersebut yang dianggap merendahkan masyarakat ekonomi bawah, Yurianto bermaksud mempermalukan dan menekan orang kaya yang tidak peduli pada masyarakat miskin. Ia meminta orang kaya peduli pada yang miskin. Padahal, ini bukan soal kaya miskin. Ini bencana global, permerintah yang paling bertanggungjawab untuk menekan penyebaran virus ini.

Menilik situasa tersebut, di sini bukan tak mungkin akan terjadi gejolak kepanikan luar biasa yang cukup mengkhawatirkan bagi masyarakat awam di pedesaan. Argumentasi nihil data kerap dikonsumsi masyarakat, bahkan intelektual “malas” bukan tak mungkin mengamini. Sebagai negara demokratis, argumentasi yang berdasarkan prinsip dan data adalah tanda kesehatan intelektual, dan itu sifatnya vital bagi sebuah demokrasi. Selama perang dingin, dan ketika taruhannya adalah kehancuran global misalnya, semua orang ingin didengar. Termasuk agamawan genit didalamnya, cara merespon wabah pandemi ini, tak sedikit agamawan menanggapinya dengan lelucon. Di satu sisi para ilmuwan kerja keras melakukan pendekatan sains untuk menemukan vaksin Virus Covid-19 tersebut, di sisi lain kegenitan agamawan memaksa menggunakan pendekatan agama secara serampangan tanpa mempertimbangkan aspek sosialnya.

Menyitir tulisannya Wakil Ketua LTN PWNU DIY Edi AH Iyubenu di kolom tela’ah islami.co (23/3/2020), mengatakan bahwa “Virus Corona ini secara ilmu sains dinyatakan bisa menular dengan sangat luar biasa, sampai kepada perilaku sosial keseharian kita yang sangat sederhana, seperti bersalaman dan berbincang dengan orang lain. Jika kita mengabaikan rekomendasi ilmu otoritatif ini, dengan kilah tauhid bahwa Tuhan lah penentu segala kejadian, lalu kita ternyata menjadi penyebab bagi terpaparnya orang lain, tanpa syak dapat dikatakan bahwa keabaian tersebut merupakan madharat kepada liyan, dan itu adalah kesalahan, dosa, cum maksiat. Perilaku tersebut jelas ada tanggung jawabnya kelak di pengadilan-Nya.”(https://islami.co/rawannya-kesombongan-rohani-dalam-ungkapan-takutlah-pada-allah-swt-jangan-takut-virus-corona/).

Baca Juga  Agama dan Ruang Keterasingan: Pengalaman Diri Menjadi Perempuan

Kerja keras yang dilakukan Ilmuwan dalam upayanya menemukan vaksin virus telah di lakukan di London. Seperti dilansir kompas.com Jumat (13/3) Ilmuan dari Pusat Inovasi Queen Mary BioEnterprises, London, Inggris ini tengah mencari 24 relawan untuk uji coba vaksin anti-coronavirus. Dosen senior di bidang mikrobiologi Universitas Sussex, Edward Wright, mengatakan, ada beberapa jenis virus corona. Sebanyak 7 diantaranya dapat menginfeksi manusia, termasuk OC43 dan 229E yang menyebabkan penyakit pernapasan ringan dan gejala flu biasa. Selain itu, ada juga SARS, MERS, dan virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2. Pada senin (9/3), The Sun, memberitakan, seorang ahli virology di Queen Mary University of London, Profesor John Oxford, mengatakan, dalam proses uji coba ini, relawan akan merasakan gejala batuk dan pilek.

Di Indonesia, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengklaim telah melakukan pembahasan dengan PT Bio Farma untuk membuat vaksin corona ini. Peneliti LBM Eijkman David Handojo Muljono mengatakan pihaknya tengah memastikan ketersediaan isolate (mengobservasi) virus corona sebelum vaksin. “Telah dilakukan pembahasan awal dengan PT Bio Farma untuk mengembangkan vaksin terhadap 2019-nCov,” ujar David di Kantor LBM Eijkman, Jakarta, Rabu (12/2).

Kebijakan Terkesan Ragu-Ragu

Sejauh perkembangan upaya penangan yang dilakukan pemerintah pusat, kebijakan social dintencing masih dianggap signifikan. Meski di luar itu, sudah ada beberapa pemerintah daerah yang memilih melakukan trobosan dengan kebijakan sendiri di luar instruksi pusat, yakni memberlakukan lokal lockdown. Pemerintah daerah kota Tegal yang disampaikan langsung oleh Walikotanya, bahwa lokal lockdown di kota Tegal akan dilakukan sejak akhir bulan Maret dengan menutup titik-titik jalur wilayah tertentu di kota Tegal. Kebijakan yang ragu-ragu berdampak bagi masyarakat di daerah, dengan respon ragu-ragu pula. Bahkan informasi serampangan menjadi konsumsi primer bagi mereka, bahwa virus Corona hanya mengada-ngada. Dasar bebal.

Akses informasi yang terbatas, ditambah kebijakan penuh keraguan. Pemerintah masih saja bebal menanggapi pandemi ini. Melihat jumlah angka kematian di Indonesia masih tertinggi di Asia Tenggara, diperlukan kebijakan cerdas dari pemerintah yang menyasar hingga masyarakat pedesaan. Tentu dengan mempertimbangkan instrumen yang tepat dan mudah dipahami masyarakat awam. Social distecing, Covid-19, lockdown, Work From Home (WFH), misalnya. Bagi saya, istilah ini yang barangkali mengurangi tingkat kepercayaan dan kesadaran masyarakat awam atas wabah Corona ini.

Baca Juga  Edisi IX: Al-Ghazali Tak Mengkafirkan Filsuf

Baru-baru ini wilayah Pati ditetapkan sebagai zona merah. Hal ini disebabkan beraktivitasnya seorang anggota Komisi IX DPR RI, Imam Suroso yang positif corona. Suroso meninggal Jumat (27/3) lalu setelah melakukan kunjungan ke Desa Winong, Pasar Puri dan sejumlah wilayah lainnya selama reses di Pati. Berdasarkan informasi dari beberapa media nasional, Rabu, (18/3) Suroso mendarat di Semarang dan langsung pulang ke Pati. Ia sudah mengeluhkan tubuhnya yang mulai sakit. Selang satu hari, Jumat (20/3) Suroso justru melanjutkan agenda resesnya dengan membagikan masker dan hand sanitizer. Padahal RS Mitra Bangsa sebelumnya telah menetapkan Suroso sebagai orang dalam pemantauan (ODP) karena baru datang dari Jakarta. Setelah diperiksa, Suroso dan keluarga diminta mengisolasi diri selama 14 hari. Suroso dinyatakan ODP dan diminta mengisolasi diri selama 14 hari. Bukannya diisolasi atau mengisolasi diri, ini malah melakukan kegiatan kunjungan ke tempat kerumunan. Sungguh kebebalan yang hakiki.

Melihat meluasnya ancaman wabah Corona (Covid-19) ini, harapannya kebijakan cerdas pemerintah tak hanya menyasar pada penanganan saja. Tetapi bagaimana menindak pasien bebal yang sudah dinyatakan positif ODP atau PDP virus Corona tersebut, tetapi masih saja berkeliaran. Pemerintah secara institusi atau pejabat publik sebagai pemangku kebijakan harus lebih kooperatif. Dalam situasi darurat yang berkepanjangan, korban jiwa kian meningkat. Pemerintah tak ada waktu berleha-leha. Masyarakat membutuhkan amunisi medis, juga pemahaman yang memadai atas bahayanya virus Corona ini. Jika pemerintah masih ragu mengambil kebijakan dengan pertimbangan dampaknya terhadap perekonomian, barangkali pernyataan Presiden Ghana, Nana Addo Dankwa Akufo-Addo saat umumkan untuk dilakukan lockdown Minggu (29/3) ini relevan sebagai rujukan. Nana Addo Dankwa Akufo-Addo mengatakan bahwa; “Kami tahu bagaimana menghidupkan kembali perekonomian, yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang meninggal.” Artinya, persolan keselamatan nyawa manusia lebih utama dari kemapanan ekonomi. Bagi Nana, ekonomi bisa dihidupkan lagi, sedangkan nyawa tidak.

Pemerintah bertanggungjawab dengan risiko terhentinya laju ekonomi atas langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk membendung gelombang penyebaran virus Corona ini. Merespon virus Corona ini, tentu membutuhkan kesehatan intelektual serta kesadaran kemanusiaan yang memadai. Untuk para agamawan genit, manusia bebal yang kerap kali merespon dengan pendekatan teologi, dalam melihat wabah pandemi ini kiranya prinsip-prinsip kemanusiaan itu jangan sampai dikesampingkan. Mungkin kita semua awam soal virus Corona ini. Tetapi pada situasi kini, saya pikir menanggapinya dengan cedas untuk tidak bersikap gegabah itu kiranya jalan yang sangat memungkin kita lakukan. Selebihnya kita serahkan kepada pihak otoritas atau petugas medis, dan tentunya untuk tetap dengan melibatkan Tuhan di setiap prosesnya.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

Tiga Tema Alkitab sebagai Basis Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam "Justice and Only Justice: A Palestinian...

Kekristenan Palestina dan Teologi Pembebasan: Berguru Pada Naim Stifan Ateek

Oleh: Tedi Kholiludin Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini