oleh: Muhamad Sidik Pramono
Rabu pagi, 29 Juni 2022 adalah kedatangan kali ketiga saya di Yayasan Lentera. Tak seperti kedatangan pertama dan kedua, kedatangan saya kali ini dapat menemui hampir semua adik-adik dengan HIV yang tinggal di Lentera. Ini karena, kedatangan saya dengan Direktur YPK eLSA Semarang, Tedi Kholiluddin, Manager Program eLSA, Wahyu Indriawan dan rombongan dari Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Maluku tidak bertepatan pengambilan obat serta adik-adik sedang libur sekolah.
Ketika kami datang, sekitar pukul 10.00 WIB anak-anak di Yayasan Lentera sedang menikmati kegiatannya masing-masing. Ada yang bermain dengan sepeda yang berasal dari donatur, bermain di ayunan, bermain kejar-kejaran, menonton televisi dan juga sedang bermain di pelataran taman makam pahlawan Kusuma Bhakti Kota Surakarta. Ya, memang anak-anak tersebut tinggal dan bermain di wilayah Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti sejak 5 tahun terakhir. Anak-anak dengan usia mulai dari 4 bulan sampai jenjang SMA menghabiskan hari-harinya di depan pembaringan para militer. Senang, sedih, tertawa ataupun menangis bercampur aduk di tempat ini.
Tujuan utama kedatangan kami ke sana adalah mengantarkan rombongan KPA Provinsi Maluku yang mengadakan studi banding dan bertemu dengan Ketua Yayasan Lentera, Yunus Prasetyo untuk berbincang seputar Yayasan Lentera. Yunus yang saat itu datang beberapa saat setelah kedatangan kami langsung disambut anak-anak dengan memanggil dirinya dengan sebutan ayah. Anak-anak selalu memberikan pelukan ketika Ketua Yayasan Lentera itu datang. Saya jadi teringat saat kedatangan saya di penghujung bulan Ramadhan 1442 H lalu, ketika itu anak-anak langsung memeluk dan memanggi “Ayah” pada saat Yunus datang. Yunus memang menjadi salah satu ayah bagi anak-anak di Lentera.
Obrolan yang tadinya terjeda tatkala Yunus datang, akhirnya kembali kami lanjutkan. Para rombongan dari KAP Provinsi Maluku begitu antusias menyimak penjelasan yang disampaikan oleh Yunus terkait asal mula berdirinya Lentera hingga bagaimana mengelola Lentera sampai saat ini.
Obrolan mengalir. Ada satu pertanyaan tentang dari mana resources atau sumber daya di Yayasan ini berasal? Yunus memberikan jawaban bahwa dirinya dan kawan-kawan pengurus menjalankan Yayasan Lentera dari bantuan orang-orang dermawan sekaligus iuran dari Yayasan Mitraalam. Setidaknya dalam 1 bulan, Yayasan Lentera memiliki pengeluaran sebesar 60 juta.
“Itu semua berkat dari Tuhan. Pertolongan Tuhan nyata,” tutunya kepada rombongan KPA sembari tersenyum. Hampir semua kebutuhan Yayasan Lentera dipenuhi dari bantuan atau swadaya dari para donatur. Saat ini pemerintah hanya memberikan bantuan berupa obat gratis untuk anak-anak.
Di tengah-tengah obrolan itu, tiba-tiba datang rombongan lain yang datang membawa beberapa karton susu kotak. “Kira-kira beginilah Tangan Tuhan menolong kami. Melalui para dermawan yang membawa rezeki untuk anak-anak kami,” tutunya. Sebelum perbincangan kami itu dimulai, bakan sudah ada beberapa rombongan lain yang memberikan buah melon kepada yayasan.
Dari penuturan yang Yunus sampaikan sepanjang obrolan, dapat dipahami bahwa peran dan sumbangsih para dermawan tidak dapat diabaikan dalam menghidupi maupun menjalankan Yayasan Lentera ini di samping iuran dari para pengurus yayasan.
Para dermawan yang datang tidak terbatas hanya membawa bahan pangan saja, tetapi juga kebutuhan lain seperti berbagai alat-alat rumah tangga, mainan anak-anak, sepeda onthel yang layak pakai hingga pakaian. Bahkan, kata Yunus, para dermawan itu datang bukan atas dasar ajakan apalagi paksaan. Semuanya benar-benar murni atas kehendak nurani kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama.
Para dermawan datang ke Yayasan Lentera merupakan sebuah bentuk filantropi yang dilakukan untuk membantu sesama. Mereka datang berbagi bermacam-macam hal atas dasar kemanusiaan. Mereka yang datang tidak hanya memberikan berbagai kebutuhan materiil, tetapi yang lebih penting dari itu ialah dukungan moril. Tak jarang para dermawan itu juga mengajak anak-anak yang ada di yayasan untuk belajar membaca, menggambar, melukis, memasak dan lain sebagainya.
Memang tak ada hubungan darah sama sekali antar satu dengan yang lain. Satu-satunya yang menyatukan mereka adalah rasa kemanusiaan. Hal-hal tersebut merupakan bentuk nyata dari filantropi yang berangkat dari semangat kemanusiaaan dengan cara mengulurkan tangan utamanya kepada kaum yang lemah sekaligus termarginalkan.