Oleh: Tedi Kholiludin

Kala John Shelby Spong melempar 12 tesis reformasi kekristenan, berbagai reaksi muncul ke permukaan. Pujian dan makian, sambutan dan kutukan silih berganti dialamatkan pada mantan Uskup Episkopal dari Newark, Amerika Serikat ini. Wajar karena 12 tesis yang ia ambil dari buku “Why Christianity Must Change or Die” itu begitu dekonstruktif, menghantam bangunan mapan dari teologi Kekristenan.
Bisa dibayangkan bagaimana reaksi umat Kristen saat Spong berujar bahwa “Paham kayu salib sebagai pengorbanan bagi dosa-dosa dunia adalah ide barbar yang didasarkan pada suatu konsep primitif tentang Tuhan yang harus ditolak.” Itu adalah tesisnya yang keenam dari dua belas yang dilambungkan ke jagat pemikiran kekristenan.
Ujaran yang memekakkan telinga itu, juga bisa dicek dari karya-karya Spong yang judulnya saja memang sudah memancing “amarah” kalangan fundamentalis. Coba saja simak, Rescuing the Bible from Fundamentalism, Liberating the Gospels, The Sins of Scriptures, dan lain-lain. Dengan karya-karya yang provokatif itu, Spong mungkin hendak mendobrak tembok mapan dogma kekristenan. Cuma, yang banyak muncul ternyata kecaman, kecuali dari beberapa orang yang mau terbuka dengan ide-idenya.
Setali tiga uang dengan Spong, Nasr Hamid Abu Zayd, Abdolkarim Soroush dan Khaled M. Abou El-Fadl mengalami nasib yang kurang lebih sama. Mereka dipinggirkan, dicaci, bahkan diusir dari tanah kelahirannya. Motivasinya sama. Karena mereka mengambil jalan lain untuk memaknai kalimat Tuhan.
Simak misalnya paparan Soroush dalam Reason, Freedom and Democracy in Islam saat ia menghajar kekakuan berpikir para clergy. Soroush mengatakan bahwa ide pemerintahan para Mullah adalah sesuatu yang anakronistik. Ia menyindir para Mullah dengan mengatakan “The clergy become judges and occupy seats of power; representatives of the supreme jusrisconsult (wali faqih) gain supremacy over the laity and are singularly sanctified without suffering the slings and arrows of media scrutiny that afflict everyone else”.
Saya yakin fenomena peminggiran terhadap mereka yang berbeda dengan pemahaman mayoritas, selalu ada dalam setiap tradisi agama apapun. Ketakutan atau delusi terhadap perbedaan, selalu membuncah. Lembaga-lembaga pemelihara ortodoksi, cukup pintar membaca situasi ini.
Saat terdengar suara aneh, fatwa, surat penggembalaan dan jurus sejenis dikeluarkan. Saya tidak tahu persis kenapa hal itu mesti dilakukan. Takut kehilangan umat? Bisa jadi.
Yang jelas, para penyeru “jalan berbeda” itu tidak pernah hidup nyaman. Mereka dikafirkan, disingkirkan dan dibuang. Kalau sudah sampai pada situasi ini, maka masa depan agama semakin suram. Fatwa demi fatwa dikeluarkan dengan dalih untuk menjaga kemurnian agama. Padahal kata Spong “The purpose of every written creed historically was not to clarify the truth of God. It was, rather, to rule out some contending point of view.”
Fatwa, kredo, atau apapun namanya dibuat bukan untuk mengobarkan rasa keadilan. Tapi semuanya itu tak lain hanyalah usaha kelompok mainstream untuk menendang pemikiran-pemikiran yang mendobrak kebekuan tradisi berpikir keagamaan.