Oleh: Iman Fadhilah
Sekretaris Lembaga Studi Sosial dan Agama
Pengurus Lakpesdam NU Jawa Tengah
Munculnya puritanisme dan otoritarianisme agama di Timur tengah berawal dari kekalahan memalukan yang di alami kaum muslim Arab di tahun 1967 (Jabiri, 2000: xii) . Banyak kalangan mengatakan bahwa kekalahan perang Arab tahun 1967 adalah bukti kegagalan nasionalisme Pan-Arab, dan bahwa jalan keluar yang paling masuk akal hanyalah kembali kepada autentisitas Islam. Selain itu, ada yang sejak dini dipengaruhi oleh pandangan Jalal Kisyk yang menyatakan bahwa kekalahan militer Arab 1967 berarti sama dengan kekalahan spiritual atau intelektual (Jabiri, 2000: xiii).
Ancaman yang paling berbahaya bukanlah berkuasanya kekuatan militer asing di Arab, tetapi invasi kultural yang mendesak umat Islam untuk tidak percaya kepada koherensi atau validitas warisan Islam. Perjuangan sesungguhnya tidaklah berkait dengan soal teritorial atau militer, melainkan berkaitan dengan soal kebudayaan dan peradaban. Marxisme, komunisme, sekularisme, kapitalisme, atau liberalisme adalah gugus-gugus kebudayaan asing yang dirancang untuk meruntuhkan dan melenyapkan otonomi dan nilai-nilai intelektual Islam.
Orientasi intelektual semacam ini sama sekali tidak bisa mengevaluasi kesalahan masa lalu. Orientasi ini lebih tertarik untuk menegaskan independensi dari yang lain daripada mengeksplorasi realitas independen itu sendiri. Ada banyak asumsi cukup menarik yang menyatakan ide tentang peradaban Islam, tetapi sumber dari asumsi itu jarang dieksplorasi. Berpegang teguh pada asumsi ini merupakan tindakan perlawanan terhadap serangan gencar invasi-invasi kultural yang datang dari Timur dan Barat. Orang-orang yang menyerang kebudayaan umat Islam berusaha meyakinkan bahwa warisan mereka inferior dan cacat, sehingga tidak mampu memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi (Hodgson, 2002: 146).
Periode yang secara intelektual relatif tidak realistis ini berlangsung cukup singkat sampai 1967. Kaum muslim Arab segera memasuki sebuah abad baru ketika liberalisme relatif yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dianggap sebagai bid’ah. Paradigma-paradigma kelompok yang meyakini otonomi kebudayaan berbalik menghantam keduanya. Abad yang semula menghormati nilai-nilai seperti kesetaraan gender, keadilan sosial atau demokrasi, telah dianggap sebagai bukti “ketidakjujuran” dan adopsi gaya-gaya penjajah.
Hal itu berkembang pesat pasca kemenangan perang Israel melawan Uni soviet di tahun 1973. Perang 1973 itu mendatangkan rezeki nomplok bagi negara-negara kaya penghasil minyak di teluk Arabia dan bagi kaum elit Mesir yang korup (Jabiri, 2000: 13).
Peristiwa-peristiwa sesudah perang 1973 diikuti dengan keberhasilan yang menyilaukan di satu sisi dan meruntuhkan moral di sisi lain. Harga minyak terus melonjak tajam di tahun 1973, namun perang saudara juga mulai terjadi di negara-negara Arab, seperti di Lebanon pada tahun 1975. Presiden Mesir Anwar Sadat mulai menerapkan kebijakan pintu terbuka (open door) pada tahun1975, dan akhirnya menandatangani perjanjian “Camp David” pada tahun 1978. Afganistan di serbu pada 1979, pada tahun yang sama Revolusi Iran juga dikobarkan. Irak menyerang Iran di tahun 1980 dan kelompok pendukung Islam di bunuh secara massal di Syuriah tahun 1982, Israel menyerang Lebanon juga di tahun yang sama, dan eksperimen singkat demokrasi di Mesir berakhir di tangan Sadat, tokoh yang diangkat sebagai perintis demokrasi, sesaat sebelum ia terbunuh pada tahun 1981.
Seluruh peristiwa itu terjadi dan dibiarkan begitu saja. Saat–saat yang menyenangkan dan menyulitkan sering terjadi. Ideologi puritan Wahabisme – ada yang curiga bahwa ideologi ini di danai oleh uang Saudi- mulai menyebar ke dunia muslim. Periode yang sama (akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an) juga memperlihatkan berkembangbiaknya apa yang dikenal dengan al-tatharuf al-dini (ekstremisme agama), terutama dibelahan dunia yang berbahasa Arab ( Jabiri, 2003: 222)
Kolonialisme memainkan peran penting dalam menggusur lembaga-lembaga tradisional yang memiliki otoritas dan legitimasi di lingkungan masyarakat muslim. Tetapi, serangkaian peristiwa di atas secara sistematis telah menghancurkan lembaga apapun yang pernah muncul dalam periode pasca kolonial. Jika dicermati tampaknya setiap lembaga atau pemikiran yang pernah diyakini telah ambruk.
Dalam kekosongan intelektual ini, puritanisme dan ekstremisme agama menemukan banyak ruang untuk berkembang. Terutama di penghujung tahun 1970-an dan 1980-an puritanisme mencerminkan permusuhan sengit terhadap segala bentuk pengetahuan sosial akademik atau intelektualisme kritis. Permusuhan ini tidak hanya ditujukan pada teori sosial dan teori politik Barat atau Timur, tetapi juga kepada tradisi intelektual Islam klasik seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan seluruh tradisi perdebatan hukum dan penalaran deduktif maupun teologi sufisme dianggap sebagai penyimpangan.
Bagi mereka pemahaman Islam yang benar dan sah adalah Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sebuah label yang sungguh tidak jelas yang mengacu kepada orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi dan perilaku muslim sejati yang benar. Pemikiran puritan organisasi-organisasi seperti Jamaat Anshor al-Sunnah, al-Jamaat al-Islamiyah dan Jamiyyat al-Islah. Kolonialisme melambangkan penindasan dan permusuhan dari luar, tapi puritanisme pascakolonial menghadirkan tantangan yang jauh lebih sulit dimengerti dan lebih rumit dalam rangka menegakkan legitimasi warisan intelektual Islam.
Madzhab pemikiran Wahabi yang didukung oleh kekayaan barunya, dengan mudah ditampung dalam aliran-aliran yang anti intelektual dan ahistoris (puritan) yang berkembang dipenghujung 1970-an dan 1980-an. Bahkan, sejak tahun 1990-an telah menjadi sistem pemikiran yang dominan di dunia Islam.
Di antara aspek paling traumatis dalam penyebaran puritanisme ini adalah sikap dan perlakuan terhadap perempuan. Seolah-olah kaum muslim laki-laki menganggap bahwa perasaan tak berdaya dan kekalahan mereka disebabkan oleh kaum perempuan, bahkan ada yang dengan terang-terangan memperlihatkan usahanya untuk mendepak kaum perempuan dari semua bidang kehidupan publik. Gerakan-gerakan puritan menjadikan martabat perempuan sebagai simbol kehormatan laki-laki. Laki-laki akan terberdayakan atau merasa berdaya jika mereka mampu menjaga kehormatan mereka. Selain itu kekalahan sosial dan kultural umat Islam ditimpahkan kepada kaum perempuan, sehingga peran perempuan yang tampak menonjol dalam masyarakat akan dianggap sebagai refleksi paradigma-paradigama kebudayaan Barat.
Bahkan dalam bentuknya yang lebih vulgar aliran puritan menyalahkan perempuan sebagai penyebab ketidakpedulian Tuhan terhadap umat Islam dan dilema-dilema yang dihadapi umat Islam di abad modern.
Bagian dari semangat ini adalah pengisolasian pada segala bentuk sikap yang membatasi gerak kaum perempuan dengan pemahaman Islam yang benar. Terlebih lagi, upaya apapun untuk membaca atau menafsirkan kembali sumber-sumber Islam dengan cara memberikan kebebasan yang lebih besar pada perempuan akan dianggap tidak sah dan ditolak sebagai produk pemujaan Barat. Sementara di sisi lain, sikap apapun yang membatasi atau melarang perempuan, meskipun tanpa didukung oleh teks maupun keputusan hukum, akan dianggap Islami.
Diskursus puritanisme adalah diskursus pengistimewaan dan pengasingan. Puritanisme ditegakkan di atas pernyataan sepihak tentang keistimewaan diri sendiri ketika menilai sejarah dan kultur yang hidup di lingkungan umat Islam Arab. Bersenjatakan konstruksi tentang Islam yang benar, puritanisme berada pada posisi istimewa ketika menilai tentang autentisitas dan validitas warisan sejarah dan kultur yang dialami umat Islam lainnya. Bahkan lebih dari itu, sesuatu yang lain(yang tidak sesuai Islam yang benar seperti versi mereka) harus di sucikan dan diubah, dan lainnya (yang sesuai mereka) harus diyakinkan. Bila perlu dengan kekuatan fisik, agar sadar betapa banyak penyimpangan yang telah dilakukan.
Propaganda kaum puritan dan Wahabi meninggalkan sebuah perasaan terasing dan rasa bersalah yang terus muncul. Buku-buku bacaan yang membentuk proses pendewasaan, musik yang mengiringi perkembangan kehidupan seseorang dan pakaian yang dikenakan oleh keluarga dan teman-teman seseorang, melambangkan sebagian kelemahan keberislaman seseorang. Kaum puritan mengajarkan bahwa jika seseorang terbiasa mendengarkan lagu penyanyi Mesir, Ummi Kulsum, maka seluruh landasan pendidikan orang itu dianggap tidak Islami. Jika seseorang dididik dengan bahan bacaan buku-buku teologi dan hukum Islam, maka ia harus berusaha keras memurnikan tradisi hukum tersebut, yang sebagian besar telah mengalami penyelewengan. Demikian juga bertepuk tangan dalam acara-acara publik, berdiri untuk menghormati guru atau orang yang lebih tua, berjabat tangan dengan perempuan, minum cairan sambil berdiri sementara ada tempat duduk, bergaul dengan anggota keluarga sementara tidak ada pembatas antara laki-laki dan perempuan, membaca novel, memiliki pisau cukur, bermain catur, semua ini dianggap sebagai inovasi yang menyimpang atau bid’ah. Jika seseorang melakukan sholat di rumah maka sholatnya dianggap tidak sempurna dan tidak baik, karena seluruh sholat lima waktu harus dilakukan di masjid berjamaah. Bahkan kerudung yang dipakai oleh ibu-ibu dan nenek-nenek, dan warna pakaian yang mereka pakai, semua itu adalah penyimpangan dari Islam yang benar. Bahkan belajar kepada para ahli sufi atau para ahli fiqh yang dianggap sebagai menuruti takhayul atau mengalah pada godaan kebiasaan berdebat dan skolatisme, keduanya dianggap sebagai penyimpangan dari Islam yang hakiki dan tunggal.
Intinya sangat sulit untuk menjadi agamis bila tidak mau menjustifikasi dan mempertahankan setiap praktik yang telah diterima secara kultural. Seseorang yang agamis dipaksa untuk merasa teralienasi dari kultur, tradisi dan kearifan yang telah diwarisi secara turun menurun. Satu-satunya autentisitas terdapat dalam buku-buku yang melaporkan pengalaman pribadi nabi dan para sahabatnya. Tetapi agar autentisitas ini tetap murni dan terjaga, segala bentuk analisis historis kritis dan analisis kontekstual harus ditolak. Konteks hanya akan mengganggu kemurnian dan ketaktersentuhan visi tentang Islam yang hakiki. Konteks memaksa visi tersebut bersentuhan dengan carut marut sejarah yang sudah tercemar sehingga dapat menodai cita-cita kemurnian visi Islam yang hakiki. Pada akhirnya puritanisme mengistimewakan dirinya sendiri dengan pengetahuan tentang Islam yang hakiki dan mencampakkan pihak yang lain, termasuk tradisi hukum sebagai sesuatu yang tidak sah. Dengan pengertian ini bisa dikatakan bahwa persinggungan pengalaman dengan puritanisme yang terus tumbuh subur hingga saat ini pada dasarnya sama dengan pengalaman kolonial, yaitu pengalaman alienasi yang mendalam terhadap arti identitas yang sudah mengakar dengan kuat.