Salatiga, elsaonline.com — Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Wilayah IV Jateng-DIY adakan konsultasi wilayah pada Kamis (30/07) bertempatkan di gedung DPRD Salatiga.
Acara yang digelar dengan dua sesi itu, menghadirkan beberapa narasumber dari aktivis keberagaman, dosen, peneliti, dan aparatur negara.
Di sesi kedua, digelar diskusi dengan tema Fenomena Intoleransi dan Strategi Merawat Kebhinekaan. Narasumbernya adalah Izzak Y.M. Lattu (Akademisi UKSW), Ceprudin (Aktivis ElSA Semarang), dan Romo Antonius B. Susetyo (Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP).
Dalam diskusi tersebut, narasumber banyak mengulas mengenai toleransi dalam kerangka demokrasi. “Tantangan kita yang besar adalah perasaan mayoritas,” ujar Izzak.
Izzak menegaskan, dalam ruang demokrasi yang ada unsur toleransi, selalu mengandaikan ada orang yang ingin berkuasa. Belum bisa menempatkan dengan setara. “Kita hidup pada perasaan mayoritas yang berlebihan,” tambah Izzak.
Bagi Akademisi UKSW itu, di Indonesia yang penuh pluralitas, masyarakatnya masih sekedar percaya dengan keberagaman, tapi tidak mengakui dengan keberagaman kependudukan.
“Oleh karena di dalam kenegaraan, aparat selalu menertibkan dengan alasan politik keamanan dan kondusifisme, hal ini yang bisa secara perlahan mematikan potensi plural di Indonesia,” ujarnya.
Izzak melanjutkan, hal demikian yang menyebabkan diskrimansi terjadi, tidak bisa dihindarkan. Bukan menghilangkan masalah, hanya menutup saja demi keamanan dan ketertiban.
Pemaparan dilanjutkan oleh peneliti ELSA Semarang Ceprudin. Ceprudin memulai pembicaraan dengan mengandaikan orang-orang mayoritas hanya berpangku tangan, hidup sudah tercukupi.
“Orang kristen yang membela penolakan pendirian gereja sampai mati wajar, berbeda dengan misalnya orang yang nyaman dengan kemayoritasan mau turun tangan memperjuangkan ruang ketidaknyamanan,” ujar Ceprudin.
Ceprudin menjelaskan, sikap seperti itu akan mengubah perspektif masyarakat dan persepsi pemerintah. Karena antara demokrasi dan toleransi, tidak bisa diam berpangku tangan melihat kondisi demikian, tetapi harus diangkat ke ranah kebijakan atau tindakan negara.
“Semua pihak, harus mampu bersikap menenggang kepada siapa saja yang berbeda pendiriannya. Bahkan hingga ekspresi keagamannya,” lanjut Ceprudin.
Usai pemaparan materi, dilanjutkan diskusi interaktif antara narasumber dan peserta diskusi.(Rep. Lutfi/ ed. 51)