[elsaonline.com -Depok] Sekretariat Nasional Gusdurian dan Yayasan Bani Abdurrahman Wahid (YBAW) menyelenggarakan “Workshop Peningkatan Kapasitas Pemimpin Muda dalam Pengelolaan Keberagaman.” Acara tersebut diikuti oleh para aktivis serta penggerak yang tergabung dalam komunitas Gusdurian berjumlah 150 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Kegiatan itu sendiri digelar di Wisma Makara Universitas Indonesia Depok, 28-30 Juni 2022.
Salah satu tema yang didiskusikan dalam acara tersebut adalah kehidupan heterogen dalam lingkungan antarumat beragama. Contohnya pendirian rumah ibadah yang saling berdekatan.
Pendirian rumah ibadah secara berdampingan yang tidak jauh jaraknya dari rumah ibadah satu dengan ibadah lainnya, dewasa ini makin menjamur dalam kalangan kehidupan keberagamaan di Indonesia. Misalnya yang ada di Provinsi Gorontalo, tepatnya di desa Banurojo Kecamatan Randangan Kabupaten Pahuwanto.
Menurut Nur Shodiq, peserta asal Gorontalo, Banuroja merupakan salah satu percontohan desa inklusif yang ada di Indonesia ini, di dalamnya antar umat beragama hidup berdampingan, saling menghormati, saling menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga persaudaraan kenegaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian.
“Di sana (dalam satu desa-red) berdiri dua bangunan gereja yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari pondok pesantren, tidak jauh dari situ juga terdapat Pura yang digunakan umat Hindu untuk beribadah,” ungkap Nur Shodiq dalam presentasi hasil diskusi kelompok.
Diskusi yang dilakukan kelompok 3 ini mengangkat tema agar inklusivitas tetap berjalan, dalam waktu yang lama dan menjadi role mode berkelanjutan. Seiring berjalannya waktu dan regenerasi kepemimpinan, tantangan yang dihadapi pasti berubah, guna mengantisipasi supaya inklusivitas ini tetap terjaga, kelompok 3 diberikan tugas untuk berdiskusi bagaimana agar inklusivisme tidak berbelok arah menjadi ekslusif, dan apa penyebab yang mengubah kondisi tersebut jika berbelok, dengan syarat netral dan alamiah, tidak memperbicangkan solusi dan intervensi.
Data yang dipaparkan dalam kelompok 3 ini, masihnya inklusivitas di desa Banurojo karena moderasi beragama di sana masih berjalan dengan baik, ukhuwah wathoniyah (persaudaraan hal bernegara), ukhuwah basyariyah (persaudaraan dalam hal kemanusian) masih berjalan. Kearifan lokal masih dijalankan dan dipelihara hingga saat ini. Harapannya dengan paparan data tersebut, desa Banurejo tetap bisa berjalan inklusif, tetap kondusif untuk waktu yang lama dan sebagai role mode berkelanjutan.
Tidak dipungkiri, seiring berjalannya waktu, pasti ada percikan yang dapat dapat menggugurkan nilai inklusifisme yang telah dibangun, menurut kelompok ini, ada beberapa faktor yang dapat melunturkan nilai tersebut antara lain; politik identitas, kurangnya sosialisasi, harmonitas semakin menurun, narasi damai yang diabaikan, dan sensitifitas pemahaman terhadap agama. Tantangannya antara lain; pendirian rumah ibadah yang berbasis izin, lokalitas berbasis agama, demoralisasi akhlak, faktor ketokohan agama yang tidak open mind.
Semuanya yang bersifat prediktif itu, masih menurut kelompok 3, dengan adanya penguatan 3 R yang berlandaskan nilai-nilai Inklusifitas dapat mencegahnya. Pertama resilience base, misalnya mengadakan sosialisasi dari para tokoh agama. Selanjutnya respects base, bisa dengan cara bersilaturahmi lintas agama. Kemudian right base, contohnya dalam penyusunan kebijakan yang responsif. Disamping 3 R tadi, ada tanggapan dari salah satu peserta, menurutnya, faktor ekonomi juga berperan penting dalam kehidupan yang berdampingan dan dapat digunakan sebagai sarana komunikatif.
Anfasul Marom, selaku fasilitator dalam diskusi yang dibagi menjadi beberapa kelompok ini mengapresiasi kepada semua kelompok yang telah mempresentasikan hasil diskusinya secara bergantian di hadapan para peserta lainnya.
“Semuanya bagus, namun perlu adanya sembilan nilai moderasi beragama yang dikedepankan, sembilan nilai tersebut adalah; martabat manusia, untuk kemaslahatan umat, adil, berimbang, komitmen kebangsaan, anti kekerasan, taat institusi, dan memelihara tradisi lokal,” pungkas pria yang akrab disapa Aan ini, sekaligus direktur Institute of South East Asean Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [RA]