Oleh: Tedi Kholiludin
Kajian Ihya Ulumiddin yang diampu oleh Ulil Abshar-Abdalla pada Ramadlan tahun 2017 telah memunculkan sebuah cara baru dalam syiar ajaran Islam. Meski pada awalnya Mas Ulil hanya mengkaji kitab tersebut sebatas bulan Ramadlan, tetapi respon publik yang luar biasa, membuatnya meneruskan Ngaji Ihya satu minggu sekali. Bahkan, beberapa bulan terakhir, ia menambah kajiannya dengan close reading kitab fiqih komparatif, Bidayatul Mujtahid.
Siaran langsung Ngaji Ihya melalui sosial media merupakan langkah jitu dalam pemanfaatan teknologi, khususnya kalangan muslim tradisional. Membaca kitab dan memaknainya kata per kata, selama ini hanya bisa kita temukan di pondok pesantren. Teknologi yang kemudian membuat Ulil melahirkan virtual pesantren, dengan lebih dari 20.000 tayangan setiap kali pengajian digelar. Ngaji Ihya merupakan produk dari anyaman indah antara agama, keilmuan dan modernitas (baca: teknologi).
Ramadlan tahun 2018, selain kita tetap bisa menyimak Ngaji Ihya, ada momentum yang kemudian memanggungkan sebuah grup gambus bernama Sabyan. Mereka berhasil menarik perhatian publik. Video klipnya disukai puluhan juta bahkan ratusan juta pemirsa. Sabyan sebenarnya hanya mengcover tembang-tembang sholawat yang sudah beredar. Namun, mereka hadir di saat yang tepat, yakni ramadlan. Selain karena kualitas mereka sendiri yang memang sangat-sangat baik.
Sabyan bukan sebuah grup yang lahir dari ajang pencarian bakat. Awalnya, anak-anak muda asal Jakarta itu tampil dari satu panggung pernikahan ke panggung lainnya. Hingga kemudian teknologi juga yang membantu mereka “menjual diri.” Sejarah musik-musik religi nampaknya tak pernah mati, di tengah gempuran pelbagai jenis aliran baru. Sejak era Nasida Ria di tahun 1980-1990an, Hadad Alwi dan Sulis pada 2000-an hingga Sabyan. Lantunan sholawat di atas panggung, dikombinasikan dengan kosmologi milenial, baik dalam hal busana pemainnya hingga alat musik yang digunakannya. Sabyan menautkan dengan baik antara agama, seni dan modernitas.
***
Ngaji Ihya dan Sabyan, merupakan dua medium yang sejatinya mewakili sebuah komunitas yang agak spesifik. Kalau ditarik lebih jauh, keduanya berurat akar pada kebudayaan santri, pesantren atau dalam istilah yang agak netral, masyarakat muslim yang menghargai tradisi serta pengagum sholawat dan pecinta Nabi. Rasa-rasanya, agak sulit menemukan tradisi ini pada kelompok-kelompok muslim puritan.
Sabyan adalah amunisi untuk menyasar anak-anak muda yang sedikit berbeda karakter dengan penggemar sholawat yang biasa hadir di majelis sholawatnya Habib Syekh misalnya. Kelompok ini bergerak dinamis dan memungkinkan diterima oleh kalangan muslim menengah perkotaan. Selain karena mereka sendiri berasal dari wilayah urban, performa mereka dengan sangat jelas menunjukan bahwa sholawat dihadirkan dengan nuansa kebatinan masyarakat modern. Dan, sekali lagi, alat musiknya juga tak hanya rebana, tetapi ada guitar, organ, biola dan lainnya.
Cara Sabyan menyajikan sholawat, bisa jadi merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat muslim menengah akan dahaga spiritual yang dialaminya. Masyarakat mekanik itu butuh asupan rohani, namun sesuai dengan alam pikirnya. Sabyan masuk dalam situasi dan dengan cara yang sesuai.
Jika Sabyan mewakili kuadran seni, Ngaji Ihya merepresentasikan model baru dalam kajian kitab-kitab klasik. Cerdasnya, Ulil memilih kitab Ihya yang sesungguhnya biasa dibaca oleh santri kelas advance di pesantren. Tak hanya membacanya, Ulil juga membumbuinya dengan pengetahuan yang berasal dari pelbagai disiplin. Walhasil, penyimak Ngaji Ihya tak hanya santri atau muslim tradisional, tetapi seluruh elemen.
***
Kalaulah ada yang membedakan antara Ngaji Ihya dan Sabyan, mungkin terletak pada negosiasi dengan pasar. Mas Ulil nyaris tak punya beban dengan audiens, karena memang murni soal ilmu dan agama. Tantangan Mas Ulil dan Ngaji Ihya-nya adalah kemampuan untuk mengupdate perspektif sehingga Ihya bisa menjadi lebih kaya dengan sudut pandang yang heterogen.
Sabyan agak sedikit berbeda. Mereka harus terus menjaga audiensnya. Kualitas dan inovasi kreatif dibutuhkan. Pasar mereka sangat dinamis. Mereka (pendengar karya-karya Sabyan) bisa dengan sangat cepat merapat, tetapi juga bisa menjauh. Audiens Sabyan belum teruji sebagai kelompok sosial yang terkunci, meski ada masa dengan basis ideologis; para pelantun shalawat.
Di luar tantangan yang bakal dihadapi, Ngaji Ihya dan Sabyan, hemat saya memberikan warna baru dalam formula dakwah Islam yang segar, dinamis, sekaligus peka dengan perubahan-perubahan. Semangat ini, sama sekali tidak menggerogoti fondasi utama keberislaman, tetapi juga dengan sangat cekatan menangkap jiwa zaman.