Pasar Tradisional dan Masjid Emas sebagai Penanda Kawasan Muslim Quiapo, Manila Filipina

Oleh: Tedi Kholiludin

Quiapo adalah sebuah distrik yang berada merupakan bagian dari Kota Manila. Pembagian administrasi kenegaraannya dimulai dengan pemerintahan pusat, lalu ada tiga pulau utama (Luzon, Bisaya/Visaya dan Mindanao), 17 region, 81 provinsi serta 146 kota. Metro Manila merupakan region dari National Capital Region (NCR) yang berpusat di Manila. Kota Manila, dengan begitu memiliki dua fungsi sebagai pusat regional sekaligus ibu kota negara.

Kawasan Metro Manila sendiri terdiri dari 17 kota. Selain Kota Manila sendiri, ada juga Kota Las Pinas, Makati, Pasay, Quezon, San Juan, Mandaluyong, Taguig dan lain sebagainya. Tak hanya sebagai pusat politik kawasan Metro Manila juga menjadi sentra perekonomian dari negara yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1946.

Kota Manila sendiri memiliki 16 distrik, yang salah satunya adalah Quiapo. Banyak sumber menyebut kalau kota ini dikenal sebagai Kota Lamannya Manila (Old Downtown of Manila). Secara geografis, “kota lama” ini persis berada di tengah Kota Manila. Quiapo berbatasan dengan Sungai Pasig di selatan. Konon, nama Quiapo diambil dari banyaknya kubis air (Pistia stratiotes) di dekat Sungai Pasig. Kubis ini yang disebut “kiyapo” dalam bahasa Tagalog (dieja Quiapo dalam bahasa Spanyol Filipina).

Mudah mengenali Quiapo sebagai kota lama. Bangunan kuno, taman serta jalan yang memiliki nilai sejarah, akan dengan mudah ditemukan. Sayangnya, banyak dari bangunan yang menurut sebagian teman memiliki nilai sejarah itu, tidak cukup terawat dengan baik. Para pegiat dan perlindungan bangunan bersejarah mendorong pemerintah setempat untuk merevitalisasi situs atau bangunan di Quiapo.

Masyarakat muslim di Kota Manila atau bahkan mungkin di Metro Manila sebagian besar ada di Quiapo. Salah satu sumber menyebut ada 800.000 umat Islam tinggal di Manila. Belum ada data yang berhasil ditemukan mengenai berapa persisnya jumlah umat Islam di Quiapo. Tetapi yang bisa dilihat secara kasat mata, di distrik tersebut, umat Islam terkonsentrasi di dua Barangay; 383 dan 384.

Baca Juga  Jagung Bakar Pinggir Jalan dan Kekuatan Kenangan

Bacaan (untuk orang Indonesia) yang bisa membantu mengenali situasi muslim di Quiapo adalah tulisan Kuntowijoyo “Between Mosque and Market: the Muslim Community in Quiapo, Metro Manila.” Meski artikel tersebut terhitung tulisan lama (dipublikasikan tahun 1994), tetapi sebagai ia bisa digunakan sebagai pengantar untuk memahami situasi sosial masyarakat muslim di sana.

Menurut Kuntowijoyo, Quiapo penting dijadikan sebagai window display dalam melihat potret Muslim Filipina di Metro Manila yang tentu saja sedikit berbeda situasinya dengan mereka yang ada di Selatan. Meski begitu, Quiapo tak benar-benar terputus dari selatan, karena ia merupakan enclave atau kantung dimana mereka yang berasal dari selatan menetap dan mencari kehidupan baru.

Betapapun mereka memiliki perbedaan dari sisi linguistik atau etnis (Maguindanao, Marano, Iranun, Bajau dan lainnya), tetapi eksistensi di Quipao disatukan oleh kesamaan identitas sebagai muslim dan pendatang. Institusi masjid turut membantu proses internal bonding tersebut. Kapasitas sebagai minoritas, mengharuskan mereka melakukan kontak secara intensif dengan umat Katolik sebagai kelompok mayoritas.

Kehidupan sebagai pedagang menjadi ornamen yang secara kasat mata terlihat kuat di kawasan Muslim Quiapo. Masalahnya, dalam amatan Kuntowijoyo, ada kapasitas yang tak mumpuni dari kelompok ini ketika berbicara daya saing ekonomi karena ketidakmampuan mereka untuk mengakumulasi modal. Perang berkepanjangan sudah pasti memengaruhi keterbelakangan dan menguras tabungan kaum Muslim Filipina. Padahal, pada masa lalu, provinsi-provinsi di wilayah selatan berkembang secara ekonomi berkat aktivitas perdagangan.

Degup kehidupan ekonomi melalui para pedagang di pasar tradisional memang terasa kuat ketika memasuki kawasan muslim di Quiapo. Betapapun mungkin masih banyak cara yang harus ditempuh agar mampu meningkatkan daya saing, tetapi secara teologis tidak ada larangan untuk untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi. Kata Kuntowijoyo, beda halnya dengan kelompok priyayi di Jawa yang dalam batas-batas tertentu menentang aktivitas perdagangan, muslim di Quiapo, baik sultan maupun datus, tidak menghindari bisnis. Inilah yang menjadi modal bagi komunitas muslim di Quiapo, bahwa “birokrasi sosial” tidak menjadi hambatan berwirausaha. Elit birokrasi serta elit bisnis tidak memiliki perbedaan tajam. Pada masa lalu, kapten kapal menjalankan perannya sebagai prajurit dan di saat yang sama juga menjadi seorang pebisnis.

Baca Juga  Ganjar “Malu” Atas Percobaan Perusakan Gereja di Purworejo
spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Beristirahat Sejenak di Kapernaum: Renungan Yohanes 2:12

Oleh: Tedi Kholiludin “Sesudah itu Yesus pergi ke Kapernaum, bersama-sama...

Dua Peneliti ELSA Presentasikan Hasil Risetnya di Pertemuan Jaringan Penelitian HIV Indonesia

Jaringan Penelitian HIV Indonesia (JPHIV-Ina) menggelar pertemuan jaringan...

Liquid Identity: Saat Identitas menjadi Sebuah Entitas Muas

Oleh: Muhamad Sidik Pramono (Mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas...

Diskriminasi JAI Manislor: Dari Masalah Kebebasan Beragama hingga Administrasi Kependudukan

Oleh: Tedi Kholiludin Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah kelompok yang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini