Militansi di Level Mikro dan Tausiah Politik yang tak Berdampak

Oleh: Tedi Kholiludin

Ada dua catatan yang menarik untuk dicermati dalam dinamika kehidupan keagamaan 2024 (sebagian juga terjadi pada tahun 2023) di Jawa Tengah. Pertama, meningkatnya militansi di level mikro. Kedua, upaya percobaan politisasi identitas (berbasis keyakinan keagamaan) yang tidak berhasil dilakukan dalam konteks pemilihan kepala daerah langsung. Tentu saja apa yang terjadi di Jawa Tengah tidak hanya dua tipologi kasus tersebut, melainkan peristiwa-peristiwa yang memiliki nuansa intoleransi, juga masih terjadi.

Militansi di level mikro (micro-level militancy) bisa digambarkan sebagai sikap, tindakan, atau perilaku militan yang terjadi di tingkat individu atau kelompok kecil dalam masyarakat. Frasa ini menyoroti bagaimana militansi, yang kerap diasosiasikan dalam kelompok yang besar, sejatinya, dapat muncul dan berkembang dalam lingkup yang lebih kecil dan lokal. Mereka yang melakukan tindakan ini bisa individu atau atau kelompok kecil yang sebagian besar diantaranya mungkin tidak terorganisir secara struktur.

Penggambaran tentang apa yang saya sebut sebagai militansi di level mikro ini bisa dicirikan oleh tiga aspek. Pertama, militansi tersebut terekspresikan melalui tindakan atau retorika yang berdampak pada relasi antarindividu atau antarkelompok. Kedua, militansi ini dipicu oleh keyakinan, agama atau identitas sosial tertentu. Ketiga, militansi ini, sesuai dengan karakter utamanya, berbasis pada isu lokal atau yang terjadi sebatas di tempat tersebut, bukan karena respons atas apa yang terjadi jauh dari komunitasnya.

Manifestasi dari militansi ini, bisa berwujud dalam berbagai bentuk. Dari sisi retorika, baik secara langsung maupun media sosial, kelompok militan ini muncul dengan bahasa menyudutkan atau penghakiman. Intinya, mengasingkan atau menstigma kelompok di luarnya. Dari aspek tindakan, tindakan militansi ini juga bisa terwujud dalam proses isolasi atau eksklusi secara sosial terhadap mereka yang berbeda. Tindakan kekerasan mungkin saja dilakukan, untuk menunjukan level militansinya. Mereka yang menjadi militan, untuk memobilisasi sumberdaya, biasa melakukan proses radikalisasi di kelompok kecil melalui berbagai media, baik pertemuan informal, obrolan di warung kopi dan seterusnya.

Baca Juga  Mengulurkan Tangan Kepada yang Rentan: Renungan Natal

Sudah pasti ada dampak yang ditimbulkan karena militansi ini. Salah satunya adalah retaknya kohesi sosial. Militansi di level mikro dapat memecah belah komunitas atau keluarga. Ini tentu sangat merugikan karena mereka adalah kelompok yang setiap hari saling berinteraksi. Ketika terjadi retakan, lalu terjadi mediasi, maka proses rehabilitasinya membutuhkan waktu yang panjang. Kalau upaya damai belum juga terjadi, maka ada potensi konfliknya akan semakin meluas. Pada gilirannya, militansi mikro bisa menyebabkan militansi di level makro jika tidak ditangani. Jika radikalisasi awalnya sebatas pada kelompok kecil, karena tidak diantisipasi, ia bisa berubah menjadi radikalisasi kolektif.

Micro-level militancy, dengan demikian, bisa kita pahami sebagai manifestasi militansi dalam konteks yang sangat lokal, sering kali berbasis pada dinamika interpersonal atau isu lokal tertentu. Fenomena ini penting untuk dipahami, juga diantisipasi, karena sering menjadi akar dari konflik yang lebih besar dan dapat berkembang menjadi ancaman serius jika tidak dikelola dengan baik. Dalam beberapa kasus, tindakan tersebut melibatkan “pimpinan politik” paling bawah yakni Ketua Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) serta Lurah atau Kepala Desa, sementara dalam kasus yang lain warga bertindak secara sporadis tanpa dikomando.

Pada kasus yang berkaitan dengan penolakan rumah ibadah, keterlibatan Ketua RT cukup kentara terlihat, meski yang dilakukannya juga kerap mengatasnamakan warga. Peraturan pemerintah di level lokal semakin memperkuatnya. Peraturan Walikota Semarang Nomor 46 tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Rumah Ibadat di Kota Semarang mengukuhkan posisi RT/RW serta Lurah untuk memberikan tanda mengetahui bagi pemberi dukungan serta pengguna calon rumah ibadah (Pasal 4, Poin 3b).

Dalam kasus berbeda, seperti intimidasi terhadap umat Hindu di Bancak, Kabupaten Semarang, tak terlihat mobilisasi secara struktural. Masyarakat yang mengeksklusi penganut agama Hindu yang baru saja melakukan konversi melakukannya, baik di dunia maya melalui postingan di media sosial maupun secara langsung. Tindakan ini menunjukkan negara dan lengah dalam memitigasi situasi yang terjadi di level akar rumput.

Baca Juga  Kartini dan Problem Perempuan Desa

Selain micro-level militancy, peristiwa yang juga menjadi perhatian di tahun 2024 adalah ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan “tausiah” atau seruan politik jelang berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di Jawa Tengah pada November 2024. Poin yang menjadi sorotan dari hasil Focus Group Discussion yang dilaksanakan pada 23 November 2024 adalah kewajiban untuk memilih pemimpin yang seakidah.

Tausiah ini tentu saja tidak lahir di ruang hampa. Jika menyisir dinamika Pilkada langsung di Jawa Tengah, sudah pasti, tausiah ini menyasar pada sosok Agustina Wilujeng Pramestuti, yang ketika itu maju sebagai calon walikota Semarang. Agustina adalah seorang Katolik, jemaat dari Gereja Katolik St Maria Fatima, Banyumanik, Kota Semarang. Ia maju menjadi calon Walikota Semarang berpasangan dengan Iswar Aminuddin. Dikatakan hanya menyasar Agustina, karena dalam perhelatan pemilihan Bupati, Walikota dan Gubernur di Jawa Tengah, hanya Agustina saja yang beragama selain Islam. Artinya, tausiah ini, meski tidak menyertakan konteks, jelas menyasar Agustina Wilujeng. Dalam prosesnya, upaya ini ternyata tidak cukup berhasil meyakinkan calon pemilih. Agustina Wilujeng justru malah menjadi pemenang pemilihan walikota dengan mendulang 61% suara.

Dibaca dalam konteks dimana lembaga agama memiliki hak untuk bebas menentukan preferensi politik, termasuk berbasis keyakinan keagamaan, maka MUI tentu saja memiliki hak untuk melakukan itu. Tetapi ketika ia didudukkan dalam konteks yang lebih luas, dalam relasi antar agama atau hubungan antar warga yang berbeda identitas, maka seruan tersebut bisa berpotensi menyebabkan renggangnya relasi itu. Padahal di lain sisi, MUI memiliki wakilnya di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang isinya adalah individu dari pelbagai kelompok agama.

Baca Juga  Sebuah Refleksi Masyarakat Pasca Pandemi

Dengan konteks yang sangat spesifik (kepada siapa tausiah dialamatkan), maka sulit untuk menerima kenyataan bahwa tausiah itu adalah seruan moral. Sebaliknya, tausiah itu tak lebih dari seruan untuk tidak memilih seseorang, karena tak berlatar belakang identitas sama, sehingga pilihlah seorang yang lain karena agamanya sama. Apalagi pemilihan Walikota Semarang hanya diikuti oleh dua pasangan calon, sehingga menjadi sangat benderang tujuannya.

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Dompet di atas Meja: Status Kesehatan dan Konfidensialitas dalam Ruang Sosial Kita

Oleh: Tedi Kholiludin Saya terbiasa meletakkan dompet di rumah pada...

Gelap itu Nyata, Bangkit itu Janji: Antara Iman dan Harapan

Oleh: Tedi Kholiludin Saat dalam perjalanan mudik untuk berlebaran bersama...

Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Buku Dinamika Inklusivitas Pemimpin Informal Lokal bagi Kebebasan Beragama...

Refleksivitas dan Masyarakat Pascatradisional

Oleh: Tedi Kholiludin Dalam pengantar bukunya, “Beyond Left and Right:...

De Las Casas dan Perlawanan atas Kolonialisme: Cikal Bakal Teologi Pembebasan

Oleh: Tedi Kholiludin Bartolomé de las Casas (1485–1566) adalah seorang...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini