Makna “Lontong Opor” Bagi Romo

Romo Aloys Budi Purnomo
Romo Aloys Budi Purnomo
[Semarang –elsaonline.com] Tak kenal maka ta’aruf (kenalan). Penggalan kata itulah kiranya yang bisa mewakili pentingnya untuk saling mengenal. Mengenal lebih dekat baik antar agama, etnis dan kelompok keyakinan keagamaan. Dengan saling mengenal maka tak akan ada prasangka buruk terhadap sesama. Terlebih, saling menjelekan yang kemudian berujung pada kekerasan.

“Saya awalnya hanya mengenal Romo Budi (Romo Aloysius Budi Purnomo). Dari Romo Budi, kemudian saya banyak mengenal teman-teman Katolik lainnya, mas Awi (Lukas Awi Tristanto) dan teman-teman Inspirasi,” kata Tedi Kholiludin, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Pada kesempatan halal bi halal eLSA, Kamis (7/8).

Tedi menyatakan itu untuk menggambarkan betapa pentingnya menjalin silaturrahmi. Menjalin silaturrahmi, konon bisa menambah umur dan bertambah berkah. “Awalnya hanya mengenal sedikit, kemudian mengenal lebih banyak lagi. Termasuk tentang ritual-ritual keagamaan,” tuturnya.

Romo Budi, yang hadir pada kesempatan itu banyak berkisah tentang perkenalannya dengan umat Muslim. Ia berkisah semasa hari lebaran yang menyantap lontong opor, ciri khas makanan Hari Raya Idul Fitri. “Setiap lebaran saya selalu bersilaturrahmi kepada teman-teman Muslim. Termasuk kemarin kami halal bi halal bersama Walikota Semarang (Hendrar Prihadi). Setelah halal bi halal bersama Walikota, kemudian kami mengunjungi pesantren-pesantren,” tutur Romo.

Di antara pondok yang dikunjungi adalah Pesantren Al Islah, Tembalang, Semarang asuhan, Kiai Amin Budi Harjono. “Saya selalu makan lontong opor, sehari sampe makan tiga kali. Kan gak pantes juga, Idul Fitri terus kami makan cap cai,” selorohnya.

Saling Memaafkan
Pada kesempatan keliling halal bi halal, romo mendapat pengalaman yang baru. Perjumpaan dengan pengurus Masjid Kulitan Semarang M Zaeni menjadikan romo lebih memahami dan mengenal tentang tenggang rasa antar sesama.

Baca Juga  Koordinator Pelita Hibah Buku untuk eLSA

“Begitu ketemu, saya mengatakan ‘mohon maaf lahir dan batin’. Kemudian pak Zaeni mengatakan kepada saya jangan basa-basi romo. Romo tak perlu meminta maaf sama saya, karena romo tak punya salah sama saya,” kisah romo, sembari menirukan dialog kala itu.

“Lho kok bisa, yang harus minta maaf njenengan,” timpal romo. “Iya, karena saya yang salah, dan saya yang seharusnya meminta maaf sama romo. Karena saat sahur banyak membangunkan istirahat romo,” lanjut romo, yang masih menirukan Kiai Zaeni. Inilah kisah perdamaian para pemuka agama di Jateng. Harmonis dan tak suka kekerasan. [elsa-ol/Cep-@ceprudin]

spot_imgspot_img

Subscribe

Artikel Terkait

Buka Bersama di Rumah Pendeta

Oleh: Muhamad Sidik Pramono Langit Salatiga Senin sore 18 Maret...

Tak Semua Peperangan Harus Dimenangkan: Tentang Pekerjaan, Perjalanan dan Pelajaran

Tulisan-tulisan yang ada di buku ini, merupakan catatan perjalanan...

Moearatoewa: Jemaat Kristen Jawa di Pesisir Tegal Utara

Sejauh kita melakukan pelacakan terhadap karya-karya tentang sejarah Kekristenan...

Bertumbuh di Barat Jawa: Riwayat Gereja Kristen Pasundan

Pertengahan abad ke-19, Kekristenan mulai dipeluk oleh masyarakat di...

Pengaruh Lingkungan Pada Anak Kembar yang Dibesarkan Terpisah

Anak kembar adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini