Oleh: Tedi Kholiludin
Ia adalah seorang Palestina dan bekerja sebagai Pendeta (Priest) di Gereja Anglikan. Lahir pada 1937 di Beisan, Naim Stifan Ateek, nama pendeta tersebut, juga adalah Pendiri Sabeel Ecumenical Liberation Theology Centre. Seperti nama lembaga yang dipimpinnya Ateek memiliki pengaruh besar dalam konstruksi gagasan Teologi Pembebasan di Palestina.
Naim Stifan Ateek (lahir di desa Palestina Beisan pada tahun 1937) adalah seorang pendeta Palestina di Gereja Anglikan dan pendiri Sabeel Ecumenical Liberation Theology Center di Yerusalem. Ia telah menjadi pemimpin aktif dalam pembentukan teologi pembebasan Palestina. Bahkan, bisa dikatakan, ia yang pertama meletakan dasar ide teologi pembebasan Palestina. Ide besar ini bisa dibaca dalam salah satu bukunya, “Justice and only Justice: A Palestinian Theology of Liberation” yang terbit pada 1989.
Buku yang berasal dari disertasi di Seminari San Fransisco tersebut meletakkan dasar-dasar teologi dalam membahas situasi yang terjadi di Palestina serta mengeksplorasi dimnesi Alkitabiah dari situasi tersebut. Gaung teologi pembebasan yang diramunya tak sekadar proyek akademik, tetapi juga berdasarkan pengalaman personalnya. Pada 1948, Ateek dan keluarga pindah ke Nazareth karena Beisan atau juga biasa disebut Beth Shean, dihancurkan oleh pasukan Israel. Keluarga mereka akhirnya menjadi pengungsi.
Sabeel Ecumenical Liberation Theology Center yang ia dirikan pada 1991 berpusat di Yerusalem. Sabeel Ecumenical Liberation Theology Center (juga dikenal sebagai Sabeel) menggambarkan dirinya sebagai “gerakan teologi pembebasan akar rumput ekumenis di antara orang Kristen Palestina”, yang “mendorong orang Kristen dari seluruh dunia untuk memperjuangkan keadilan dan berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Palestina”.
Selain “Justice and Only Justice,” Naim Stifan Ateek juga menulis satu buku lain yang agak baru (terbit tahun 2017) ihwal Teologi Pembebasan Palestina yang berjudul “A Palestinian Theology of Liberation: The Bible, Justice, and the Palestine-Israel Conflict.” Keduanya berkesimpulan, jika disederhanakan, kalangan Kristen Palestina harus membaca Alkitab dengan perspektif keadilan dan pembebasan, bukan sebagai alat pembenaran bagi penjajahan Israel.
Ateek dalam “Justice and Only Justice,” memperkenalkan konsep Teologi Pembebasan Palestina sebagai respons terhadap penindasan Israel terhadap rakyat Palestina. Mengapa Teologi Pembebasan? Ateek menyadari bahwa sebagian kelompok agama merasa tabu menggunakan ide ini karena dianggap terpengaruh Marxisme. Dengan tegas Ateek mengatakan bahwa gagasan yang dibangunnya didasarkan pada fondasi Alkitab, untuk membuatnya lebih bermakna bagi orang-orang Palestina. Teologi (pembebasan) ini, kata Ateek, menekankan aspek pembebasan dari Firman Allah, yang selama ini telah ada dalam Alkitab, namun dilupakan, dan menolong kita untuk berfokus pada aspek tersebut.
Ateek menjelaskan bahwa figur Yesus adalah model bagi pembebasan. Yesus adalah sosok digambarkan sebagai sosok yang perlu ditiru karena Ia memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Dari sini ia menekankan solusi yang berbasis pada keadilan, bukan sekadar kompromi politik.
Gagasan teologi pembebasannya itu kemudian diteruskan dalam “A Palestinian Theology of Liberation: The Bible, Justice, and the Palestine-Israel Conflict,” selain juga dalam beberapa karya lainnya. Ateek lebih terang dalam melakukan kritik terhadap penggunaan Alkitab dalam membenarkan penjajahan Israel. Katanya, konsep tentang Tanah Perjanjian itu tak berarti bahwa tanah hanya diberikan Tuhan kepada satu bangsa saja. Yesus, bagi Ateek, bukanlah semata juruselamat spiritual tetapi juga teladan dalam memperjuangkan keadilan.
Gagasan Ateek menunjukkan banyak hal. Pertama, ide pembebasan kuat berakar dalam tradisi agama-agama. Tetapi juga sebaliknya, teks agama juga kerap menjadi legitimasi atas penindasan terhadap kelompok lain. Kedua, keadilan menjadi isu bersama yang dihidupi oleh berbagai kelompok untuk memperjuangkan mereka yang tertindas.
Dua buku Ateek memberikan dasar yang kuat bagi Teologi Pembebasan Palestina, yang menempatkan Alkitab sebagai alat perjuangan keadilan, bukan sebagai pembenaran bagi penjajahan. Buku pertama, Justice and only Justice, berfokus pada konsep dasar yang fundamental, sedangkan “A Palestinian Theology of Liberation” lebih menyasar pada aspek politis dan strategis dalam menghadapi realitas saat ini.