Tahlilan dan Akulturasi Masyarakat Jawa-Lampung

0
1650
Transmigran asal Jawa di Lampung saat kali pertama menginjakkan kaki di ujung pulau Sumater tahun 1939. [Foto: Tropen Museum]

Oleh: Achmad Nasrudin
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim Semarang

Catatan ini merupakan testimoni ringan, pengalaman penulis mengamati dan melakukan ritual sosial tahlilan di Kelurahan Panaragan Jaya, Tulang Bawang barat Lampung, tempat penulis berdomisili beberapa tahun terakhir. Tahlilan sebagai kegiatan biasa, akan tetapi menjadi unik dan menarik karena ia terbukti efektif menjadi media akulturasi sosial, ketika dilakukan oleh suku-suku yang berbeda. Sebagai tradisi masyarakat Islam-Jawa dalam mendoakan arwah leluhur, tahlilan telah bertransformasi menjadi institusi sosial, dalam wujud kegiatan rutin mingguan bagi masyarakat Panaragan Jaya, dengan suku yang beragam, yang diantaranya Jawa, Sunda dan Lampung.

Perlu sekilas diutarakan, bahwa Panaragan Jaya merupakan wilayah program transmigrasi resmi yang dilakukan pemerintah Orde baru pada tahun 1975 -1978. Adapun masyarakat transmigran disini berasal dari berbagai wilayah pulau jawa, diantaranya Banyuwangi, Ponorogo, Bumiayu, Brebes, Banyumas, Klaten, serta Jogjakarta. Namun sebelum ada pendatang, kawasan ini telah dihuni oleh masyarakat asli suku Lampung, terutama yang menempati Kampung Panaragan, ditepi sungai Way Tulang Bawang. Selain kelompok transmigrasi (generasi awal) dan penduduk asli tersebut, populasi terus bertambah dari berbagai latar belakang budaya dan profesi, sehingga menambah keragamanya. Termasuk aliran/mazhab dan organisasi kemasyarakatan agama.

Berbeda dengan beberapa titik transmigrasi lain, interaksi sosial di Panaragan Jaya ini terjalin sangat harmonis. Belum pernah terjadi gesekan antar suku, antara pendatang dan penduduk asli. Berbeda dengan pengalaman penulis yang mengalami benturan keras, konflik antar kelompok suku. Tahun 1999 penulis pernah merasakan langsung suasana “perang” di Padang Ratu Lampung Tengah, dan di wilayah Kabupaten Mesuji pada tahun 2010. Belum lagi puluhan bahkan ratusan peristiwa sejenisnya ditempat dan waktu yang berbeda. Fenomena tersebut memang melibatkan pendatang dan pribumi, namun bukan merupakan konflik yang berlatar belakang masalah budaya. Di Panaragan Jaya, masyarakat hidup dengan budayanya, bahasa, adat masing masing. Namun saling menghargai dan menghormati. Selebihnya, mereka bekerjasama dalam kehidupan sosial, agama dan ekonomi. Sehingga tak ada lagi sekat pergaulan dan bahkan tak jarang terjadi ikatan pernikahan antar suku.

Baca Juga  Ormas Expo Jateng: Sinergi Ormas Rukun Guyub Jateng Gayeng

Barangkali, inilah wujud nyata konsep ideal akulturasi. Menurut Koentjaraningrat, akulturasi dapat diartikan sebagai suatu proses sosial yang timbul apabila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dalam konteks yang lebih luas, salah satu contoh proses akulturasi dapat dilihat pada masyarakat tarnsmigran Jawa yang menyatu dengan kebudayaan lampung tanpa menghilangkan kebudayaan asli yang dimilikinya dan berkembang menjadi kebudayaan Jawa – Lampung.

Satu diantara media akulturasi Jawa – Lampung dikawasan transmigrasi (Panaragan Jaya) ialah Tahlilan. Kata “Tahlil” sendiri secara harfiah berarti berzikir dengan mengucap kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” (tiada yang patut disembah kecuali Allah). Tahlilan merupakan upacara keagamaan yang dilakukan sebagian besar umat Islam Indonesia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari pertama hingga ketujuh, ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga atau ke 1000. Dalam perkembanganya, tahlilan menjadi kegiatan rutinitas setiap pekan, mayoritas pada malam Jum’at. Tahlilan juga dilakukan untuk acara doa bersama selain peristiwa kematian. Diyakini, akar tradisi tahlilan berasal dari ritual nenek moyang suku Jawa dengan bentuk ritual dan sesaji. Oleh para mubaligh Islam (wali atau sunan) digubah dengan pembacaan doa dan amal sedekah.

Masyarakat asli Lampung mulanya tak memiliki tradisi tahlilan sebagaimana yang dipraktikan oleh umat Islam di Jawa. Mereka memiliki tradisi yang beragam dalam mendoakan arwah keluarga yang meninggal. Hal ini dikarenakan Islam masuk Lampung sekitar abad ke-15 melalui tiga pintu utama yang berbeda. Dari arah barat (Minangkabau) agama ini masuk melalui Belalau (Lampung Barat), dari utara melalui Komering pada masa Adipati Arya Damar (Palembang 1443), dan dari arah selatan (Banten), bisa dilihat dari situs-situs sejarah seperti makam Tubagus Haji Muhammad Saleh di Pagardewa, Tulangbawang Barat dan makam Tubagus Machdum di Teluk betung yang masih keturunan Sultan Hasanuddin dari Banten.

Baca Juga  Sedulur Sikep dan Harapan Gelar Pahlawan untuk Samin Suro Sentiko

Universalitas makna dan tujuan tahlilan telah mempersatukan keragaman suku di Panaragan Jaya. Di sana, ada delapan RW yang masing masing satuan wilayahnya memiliki dua hingga empat kelompok jamaah tahlilan khusus untuk kaum pria. Tiap kelompok rata rata beranggotakan tiga puluh hingga lima puluh. Mereka mengadakan ritual tahlilan setiap pekan pada ba’da shalat magrib (sebagian lagi ba’da Isya) malam jumat, bergiliran dari rumah ke rumah. Selain kelompok Pria, juga terdapat empat kelompok tahlilan khusus wanita, yang rata rata berjumlah lima puluh hingga delapan puluh jamaah. Pola pelaksanaanya sama dengan jamaah Pria, hanya saja dilaksanakan pada siang hari ba’da dhuhur. Selain kegiatan rutin mingguan, tahlilan juga dilakukan secara insidental ketika ada kematian (1 – 7, 40,100 dan 1000 hari), maupun acara selamatan lainya seperti pernikahan, khitanan, mendirikan bangunan dan lainya.

Al-Ikhsan merupakan satu diantara jamaah tahlilan di Panaragan Jaya, berada di RW – 8 (Lingkungan Bambu Kuning). Kelompok ini berdiri sejak awal tahun sembilan puluhan yang masih eksis, meskipun pernah ‘mati suri’, vakum beberapa saat. Dengan jumlah anggota 47 jamaah, berasal dari dua RT, dengan latar belakang tiga suku yakni Lampung (15%), Jawa (65%) dan Sunda (20%). Dari sisi aliran (mazhab), sebagian besar mengaku sebagai warga NU, sebagian lainya adalah warga Muhammadiyah dan terdapat pula yang aktif di Jamaah tabligh. Pemimpin jamaah tahlil ini ialah Ustadz Qodir yang bersuku Sunda dan Haji Basri dari keluarga Lampung Asli, dan juga Pakdhe Wasito yang Jawa tulen. Mereka secara bergantian bertugas membuka acara, memimpin pembacaan yasin dan tahlil dan doa penutup serta menyampaikan mau’idhah hasanah. Selepas waktu maghrib di malam Jumat, para jamaah datang dirumah penerima giliran, kemudian rangkaian acara dimulai dan dilanjutkan dengan shalat Isya berjamaah.

Baca Juga  Mengenal Juche, Agama Sipil Korea Utara

Selesai shalat, mereka sejenak beramah tamah sambil menikmati suguhan berupa minuman dan makanan ringan, terkadang juga menunya berupa hidangan makan malam, sesuai kemampuan shahibul bait. Sesekali, ada juga tuan rumah yang membagi berkat berupa nasi dan lauk pauk, sebagai shadaqah atas hajat tertentu. Berbagai tema bebas dibahas dalam obrolan raham tamah itu, mulai dari pekerjaan, kondisi lingkungan hingga peristiwa nasional internasional yang sedang tranding topic di TV. Ketika dirasa telah cukup, maka satu diantara jamaah mengucap lafadz Shalawat nabi secara keras, pertanda jamaah diperkenankan pulang.

Di forum tahlilan, semua berbaur tanpa melihat stratifikasi dan klasisfikasi sosial. Tahlilan yang pada mulanya kegiatan ritual an sich telah menjelma menjadi wahana komunikasi bagi masyarakat. Tahlilan yang pada mulanya menjadi tradisi khas suku Jawa telah menjadi milik semua, tanpa ada yang merasa lebih berhak, tiada pula yang merasa sebagai penumpang.

Wallahu a’lam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini