Oleh: Tedi Kholiludin
Persis sehari sebelum puasa dilaksanakan, saya sengaja menyambangi wilayah santri di tengah Kota Semarang, Kauman. Setelah memarkir motor di depan Masjid Besar, saya berjalan menuju sebuah toko buku yang juga menjual kitab-kitab kuning yang biasa dikaji para santri di pondok pesantren. Terlihat seorang santri senior memesan 30-an kitab karya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, Ayyuhal Walad. Kitab yang berisi tentang pesan-pesan penting dalam hal pendidikan anak dan juga rohani manusia.
Suasana di toko kitab di siang itu memang tak terlampau ramai, dibanding keriuhan di tempat-tempat lainnya. Entah karena kebetulan atau memang seperti itulah situasinya. Terlalu terburu-buru untuk membuat sebuah simpulan dari pengamatan yang tak terlampau lama. Tak ada tujuan khusus sebenarnya. Saya hanya ingin merasakan energi kesantrian yang terpancar dari wilayah Kauman, melalui bangunan dan hiruk pikuk kehidupan masyarakat setempat menjelang Ramadlan.
Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Jalan Layur untuk menatap sesaat masjid tua disana. Tujuannya sama, menyerap aura historis dari perjalanan Islam mula-mula di Semarang. Tak jauh dari Masjid Menara di Layur, ada Masjid Kyai Soleh Darat. Dan mesjid yang dulu tempat Kyai Soleh mengajar ilmu agama menjadi destinasi berikutnya. Kebetulan saya sudah melaksanakan sholat dluhur. Akhirnya saya menengadahkan tangan, menampung air melalui dua tangan, dan membasuhkannya ke muka.
Oh ya, ada satu yang terlewat. Sesaat sebelum menatap Masjid di Jalan Layur, saya teringat tulisan Liem Thian Joe. Ia berkisah tentang sebuah kelenteng yang pendiriannya sempat dipermasalahkan. Kejadian itu berlangsung di tahun 1900. Liem A Gie berhasil mengkoordinir warga Tionghoa untuk membuat sebuah rumah ibadah, hingga kemudian berdirilah kelenteng disana. Dengan sepeda motor pinjaman seorang teman, saya seperti menapaktilasi jejak kejadian itu melalui petunjuk buku Liem Thian Joe.
Sebelum sampai di Kantor PWNU di Jalan Dr. Cipto, saya kembali teringat sebuah kisah dalam arsip sejarah Sarekat Islam Lokal. Kejadiannya ada di tahun 1913. Saat itu, di Semarang berdiri Sarekat Islam (SI) yang sempat menyulut perkelahian antara orang Tionghoa dengan anggota Sarekat Islam Semarang di Kampung Brondongan pada tanggal 24 Maret 1913. Untuk menapaktilasinya, saya mampir ke Brondongan. Tak ada yang dilakukan, kecuali berimajinasi tentang peristiwa tersebut. Bahkan memotret pun tak sempat.
***
Dalam beberapa kali kesempatan, saya dan Sumanto Al Qurtuby kerap berbincang dan tergelitik untuk melihat secara detail tentang sejarah perkembangan Islam di Semarang. Ada beberapa tulisan yang sudah membahasnya memang. Salah satunya, Amen Budiman dalam Semarang Riwayatmu Dulu. Lalu, Kyai Anasom pernah mengupas Dakwah Islam di Semarang Abad 19 dalam tesisnya di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ada pula yang membahas tentang perbandingan dengan Misi Katolik, Konteks Ruang dalam studi arsitektur dan lainnya. Namun, masih cukup banyak ruang yang bisa dieksplorasi ihwal Islam di Semarang; karakteristiknya, pola penyebarannya, dan sebagainya.
Tak hanya soal sejarah saja sebenarnya. Pergeseran ruang, mobilitas penduduk, interaksi masyarakat dan sejumlah topik lain sangat memungkinkan untuk melihat Semarang. Tubagus Svarajati pernah melontarkan pernyataan unik tentang orang Semarang. “Semarang itu unik lho, kota pesisir, tapi masyarakatnya relatif nrimo. Padahal, karakter masyarakat pesisiran itu umumnya cenderung pekerja keras dan tangguh,” jelasnya.
Tujuan saya meyusuri wilayah-wilayah pemukiman awal di Semarang sejatinya untuk mendalami jiwa sebuah kota. Terus terang, saya orang yang agak gumunan. Ketika masuk ke Kampung Kulitan dan melihat rumah dengan arsitektur lama, sontak terperangah, sembari menggeleng-gelengkan kepala. Pun saat masuk ke Kampung Bustaman yang terkenal dengan pengolahan kambingnya.
Dan saya kembali teringat cerita Djawahir Muhammad (semoga beliau segera diberi kesembuhan). Semarang lama masih cukup kental nuansa santrinya. Di wilayah yang sekarang masuk daerah Kelurahan Dadapsari misalnya, aroma itu masih tercium kuat hingga tahun 1960-an. Kisah ini bisa dibaca di buku “Sinar Damai dari Kota Atlas: Sejarah, Agama dan Budaya Masyarakat Semarang ,” yang diterbitkan eLSA Press.
Hemat saya, karakter yang melekat pada “ruang kesantrian” satu wilayah tidak bisa mengukur wilayah lain. Kaliwungu di Kendal itu sangat kuat nuansa santrinya. Begitu juga Demak atau Kudus misalnya. Semarang? Masyarakat muslim tradisional tentu melekatkan karakter kesantrian itu dengan kota ini, namun, dengan keunikan dan pola yang tak mesti sama dengan kota-kota lain. Kebudayaan santri di Semarang, memiliki corak yang tak sama dengan kota lain, meski juga tetap bersandar pada akar identitas yang sebangun.
Saya kebetulan sedang melakukan riset tentang hal ini. Bagaimana kebudayaan santri di Semarang memainkan peran yang sedikit berbeda dengan kebudayaan santri di tempat lain, khususnya dalam interaksinya dengan kebudayaan Jawa dan Tionghoa. Saya akan mengelaborasinya di kesempatan lain.
Singkatnya, perjalanan yang saya lakukan dalam beberapa jam itu dimaksudkan sebagai cara untuk menyerap semangat multikultural dari sebuah “ruang kesantrian” di beberapa titik di kawasan kota lama Semarang.