[Semarang, elsaonline.com] Fluktuasi kasus bernuansa keagamaan di Jawa Tengah 2022 menunjukan perkembangan kearah yang lebih baik. Secara kuantitas kasus bernuansa keagamaan di Jateng tahun 2022 lebih sedikit dibanding dengan tahun 2021. Pada tahun 2021 secara keseluruhan ada 11 kasus dan jumlah kasus terorisme melibatkan lebih dari 20 orang tersangka. Sementara pada tahun 2022, kasus bernuansa keagamaan di Jateng hanya terjadi 7 kasus dan kasus terorisme hanya melibatkan 8 orang dari dua peristiwa penangkapan.
2 Kasus Berulang
Meski secara kuantitas tak banyak, namun secara kaulitas kasus bernuansa keagamaan di Jateng terbilang cukup berat. Beratnya bobot kasus yang terjadi dapat dilihat dari dua kasus yang berulang-ulang. Dalam perspektif pemantauan kehidupan keagamaan yang selama ini dilakukan ELSA Semarang, jika ada kasus diskriminasi, bullying, atau intoleransi yang persis sama dan terulang, artinya tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menyelesaikan problem intoleransi dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat.
Kasus pemaksaan hijab kembali terjadi di Sragen tepatnya di SMAN 1 Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Padahal kasus serupa juga pernah terjadi 2 tahun lalu, yaitu 2020 di Kecamatan Gemolong, Sragen. Kasus ini bermula ketika seorang guru Matematika melakukan perundungan pada seorang siswi berinisial S yang kesehariannya tak memakai jilbab. Perundungan juga dilakukan oleh kakak kelas yang membuat S semakin didiskriminasi. Buntutnya, siswa yang bersangkutan mengalami traumatis dan tekaknan psikis hingga takut untuk masuk berangkat sekolah.
Pascakasus perundungan karena tak berhijab yang terjadi tahun 2020, banyak pihak yang menyarankan kepada Pemprov Jateng, utamanya pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan penanganan secara serius dan menyeluruh di semua sekolah SMA/SMK di Jateng. Namun tampaknya penanganan yang dilakukan sebatas semangat “pemadam kebakaran”. Tidak melakukan antisipatif dan bertindak ketika terjadi “kebakaran dulu lalu dipadamkan”. Harusnya Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah mempunyai formula yang tepat untuk antisipasi atau mitigasi resiko bullying, intoleransi dan diskriminasi supaya tidak terjadi di sekolah.
Kasus yang sama terulang kembali pada tahun 2022 adalah tidak adanya fasilitasi Pendidikan Kepercayaan di sekolah negeri. Tahun 2021 kemarin terjadi di Kabupaten Magelang sementara tahun 2022 ini terjadi di Kabupaten Cilacap. Pelayanan Pendidikan Pelajaran Kepercayaan di Kabupaten Cilacap masih mengalami kendala setidaknya hingga akhir 2022. Kendala itu dialami hampir di seluruh instansi pendidikan yang terdapat murid Penghayat Kepercayaan.
Ketua Perempuan Penghayat Kepercayaan (Puan Hayati) Kabupaten Cilacap Sri Rahayu menceritakan awal dimulainya kendala yang dialami siswa Penghayat Kepercayaan di sekolah. Anak-anak Penghayat yang mengalami kendala itu notabenenya menempuh pendidikan di sekolah negeri bukan swasta atau milik sebuah yayasan. Kesulitan yang selama ini menjadi kendala diantaranya dimulai dari proses pendaftaran, proses pembelajaran, hingga pengeluaran nilai dan nilai rapot sekolah.
Menurutnya, pihak sekolah menghambat terselenggaranya pendidikan kepercayaan di Kecamatan Adipala. Terkait hambatan tersebut Nini menilai terletak dari lambatnya pihak sekolah untuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran kepercayaan bagi para siswa penghayat di sekolah tersebut. “Kemarin iya betul itu, kita datang ke SD tersebut namun tanggapannya agak lambat, tapi terus kita dorong namun selalu ada alasan dari pihak sekolah dengan alasan belum bertemu dengan pihak pengawas keagamaan. Namun setelah kami dorong terus akhirnya diadakan pertemuan dan terjadi kesepakatan akan mulai difasilitasi untuk siswa penghayat di SD tersebut per mulai tahun 2023,” jelas Nini.
Dari dua kasus yang berulang terjadi di lingkungan sekolah di atas dapat ditarik benang merah bahwa hingga saat ini Pemprov Jateng dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan belum mempunyai formula yang tepat dan juga belum ada penanganan yang serius untuk menyelesaikan benih-benih intoleransi di sekolah. Kedepan, Pemprov Jateng melalui Dinas Pendidikan harus lebih serius dalam penanganan potensi intoleransi dan radikalisme baik yang berkembang di level siswa maupun tenaga pendidik. Apabila masih ditangani secara kasus per kasus, maka kedepan sangat dimungkinkan kasus akan terulang kembali.
Selalu ada Kasus di Kota Semarang
Kota Semarang yang sempat masuk pada kategori kota toleran, tampaknya pada tiga tahun terakhir selalu muncul kasus bernuansa keagamaan. Tahun 2020 muncul kasus penolakan Perayaan Asyuro umat Syiah. Menariknya pada tahun 2020 itu pula kemelut kasus pembangunan Gereja Baptis Indonesia (GBI) Tlogosari Kulon, Kota Semarang berakhir. Sempat berlarut-larut namun pada 24 September 2020 Walikota Semarang mengeluarkan keputusan nomor 645.8/1598/DPM-PTSP/IX/Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Gedung Kepada Yayasan Baptis Indonesia.
Pada tahun 2021 Walikota Semarang, Hendar Prihadi, mengeluarkan peraturan mengenai Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Rumah Ibadat di Kota Semarang. Aturan tersebut dimuat dalam Peraturan Walikota (Perwali) nomor 46 tahun 2021 dan ditetapkan pada tanggal 14 Juli 2021 yang pada hakikatnya tetap saja bagi kelompok minoritas kesulitan untuk membangun rumah ibadah.
Masih pada tahun 2021, sempat muncul kasus pembedaan mengakses pekerjaan bagi Penghayat Kepercayaan. Jika dulu kendala kawan-kawan penghayat adalah pengisian kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), saat itu salah satu masalah yang dihadapi oleh penghayat kepercayaan adalah untuk mengakses pekerjaan.
Pada tahun 2022, mencuat kasus penolakan Pembangunan Krematorium Umat Hindu yang sejatinya adalah janji Walikota Semarang. Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Semarang, I Nengah Wirta Darmayana, menyampaikan rencana awal pembangunan Krematorium terletak di Kecamatan Kedungmundu, Kota Semarang. Namun rencana tersebut ditolak sebagian warga dengan alasan tidak ramah lingkungan. I Nengah menjelaskan, warga beralasan pembangunan Rumah Kremasi dikhawatirkan menyebabkan polusi asap pembakaran jenazah.
“Padahal pembangunan krematorium tersebut bersebelahan dengan krematorium yang sudah ada di sampingnya,” terang I Nengah.
Karena ada penolakan, rencana pembangunan akhirnya dialihkan ke lokasi baru di Kecamatan Gunung Pati Semarang. Setelah perundingan dilakukan maka kedua belah pihak baik PHDI maupun Pemkot Semarang bersepakat pembangunan Krematorium dipindahkan ke Kampung Malon, Kecamatan Gunung Pati. Meski lokasi sudah dipindah, namun pembangunan juga tak bisa segera dilakukan.
Sebagai Ibu Kota Jawa Tengah, Kota Semarang dalam tiga tahun tidak pernah absen dalam kasus-kasus keagamaan. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah dan semua elemen masyarakat karena sejak dahulu Semarang adalah kota yang ramah untuk semua kelompok keagamaan. Kasus-kasus yang muncul harus menjadi bahan evaluasi bersama supaya Kota Semarang kembali pada situasi yang ramah dan nyaman untuk semua kelompok keagamaan. Ketegasan dan kebijaksanaan aparat pemerintah harus dibuktikan sehingga kasus-kasus yang muncul tiga tahun terakhir ini terselesaikan. Tentunya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip non-diskriminasi dan toleransi.
“Isu Seksi” Bernuansa Keagamaan
Isu yang juga patut menjadi perhatian pemerintah dan semua elemen masyarakat di Jawa Tengah adalah kasus bernuansa keagamaan. Kasus yang masuk pada “nuansa keagamaan” ini sejatinya bukan kasus intoleransi, diskriminasi atau radikalisme namun masih ada kaitannya dengan situasi keagamaan. Pada tahun 2022, terjadi tiga kasus yang bernuansa keagamaan menyangkut pembangunan masjid di Batang, jual beli bekas Gereja di Klaten yang kemudian menjadi masjid, dan perusakan masjid di Magelang Jawa Tengah. Tiga kasus ini cukup hangat dan cenderung membahayakan kondisi kerukunan jika tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah.
Pertama, kasus pembangunan sebuah masjid di Kabupaten Batang yang sempat gencar diisukan atau dikait-kaitkan dengan sebuah aliran sesat. Lantaran dianggap aliran sesat warga Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah menolak pembangunan Masjid di wilayah tersebut. Terkait hal tersebut pemerintah Kabupaten Batang sebelumnya sudah menggelar rapat koordinasi antar warga yang menolak dan pihak pembangunan masjid pada Senin (7/11/2022).
Salah satu perwakilan warga, Abu Saeri, menyebut Panitia pembangunan Masjid dan pemilik tanah tidak berkoordinasi dan berkomunikasi dengan warga setempat. Selain itu kebutuhan tempat ibadah bagi warga setempat sudah cukup, lantaran sudah memiliki tiga masjid baik dari NU, Muhammadiyah dan Rifaiyah katanya. Menanggapi hal tersebut Machzum Baisa pemilik tanah pembangunan Masjid di Desa Kalipuncang Wetan mengaku sudah berkoordinasi dan izin kepada Pemerintah Desa setempat, bahkan Kepala Desapun ikut dilibatkan dalam hal pembuatan pondasi masjid tersebut serta memastikan tidak ada paham aliran sesat di dalamnya.
Kasus ini hampir menjadi konflik horisontal antara panitia pembangunan masjid dengan pihak warga yang tidak mendukung adanya pembangunan masjid. Menggunakan isu aliran sesat, sebagai dasar penolakan adalah hal yang sangat berbahaya dan bahkan dapat memicu konflik yang mengarah pada kekerasan. Berdasarkan pantauan ELSA, ketika ada kasus yang berbau aliran sesat, sangat mudah untuk memantik emosi masyarakat dan cenderung anarkis.
Beruntung kemudian Pemda Batang cepat tanggap dan berusaha meluruskan isu yang beredar bahwa rencana masjid itu jamaahnya bukan aliran sesat. Meski Pemda Batang tidak memutuskan kelanjutan pembangunan dan proses pembangunan dipasrahkan kembali pada warga, namun setidaknya Pemkab Batang sudah berusaha melakukan mediasi supaya kasus tidak semakin meluas.
Kedua, peristiwa jual beli bekas Gereja di Desa Gentan Jabung, Kecamatan Gantiwarno, Klaten yang berubah fungsi menjadi masjid. Pemberitaan itu mendapat respon dari pihak Gereja Kerasulan Baru yang menggelar klarifikasi yang diunggah di kanal YouTube dengan tajuk, Klarifikasi Langsung Gereja Kerasulan Baru Dijual & Dijadikan Mesjid. Sebagai pembicara, Evangelis Wahyu, dari Gereja Kerasulan Baru, yang bertransaksi dengan pembeli gereja. Wahyu menceritakan semua kronologis pembelian gereja itu.
“Kita tawarkan ke gereja-gereja sekitar. Harganya murah, karena harapannya bisa digunakan untuk pelayanan lagi. Hargnya tidak saya sebutkan, karena harganya memang murah. Namun tidak ada titik temu. Pemewintah desa juga menawar, namun tawarannya sangat rendah,” katanya.
“Datang Mathias. Saya lihat KTP-nya Katholik. Karena yang menawar di depan ragu-ragu, dia yang langsung nyaplok itu. Setelah dia datang, saya diketemukan dengan seseorang namanya Pak Budi. Matias pernah menawar lebih tinggi dari yang saya tawarkan ke gereja-gereja lain, tapi saya tetap pada harga tawaran kita. Karena pikiran saya masih bersih, tanpa prasangka, akan dipakai buat pelayanan (gereja). Yang beli juga saudara seiman (sesama Katolik). KTP-nya jelas (katolik). Saya sampai bertanya, nanti gerejanya apa namanya? Dia sebut gereja Kabar Baik. Kemudian disepakati harga,” katanya.
Kasus di atas cukup menarik untuk dikaji terutama dari sisi keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama. Objek jual beli yang merupakan bangunan eks gereja yang sudah tidak ada jemaatnya ini kemudian oleh pemilik baru difungsikan sebagai masjid. Inilah yang kemudian menjadi viral di media sosial. Mulanya, bekas bangunan Gereja ini dijual karena sudah dilakukan ibadah penutup dan setelah itu ditawarkan ke beberapa pihak untuk dijualbelikan. Pada proses pihak gereja kemudian bertemu dengan seorang calon pembeli yang semula dikira beragama Katolik karena di KTP tertera “agama Katolik”. Namun ternyata dikemudian hari bangunan bekas gereja menjadi masjid dan tidak untuk pelayanan gereja.
Kasus ini sempat memantik reaksi dari masyarakat. Pemerintah dan Kepala Kemenag Klaten segera mengimbau kepada semua pihak supaya menyikapi kasus ini dengan arif. Kasus-kasus seperti ini jika tidak segera dilakukan penyelesaian dengan bijak akan melahirkan isu hangat dan mudah menjadi pemicu konflik horisontal. Beruntung kemudian pemerintah segera mengimbau dan turun tangan dan sejauh pantauan ELSA di media masa, kasus ini sudah reda meski dari pihak penjual kemudian ada klarifikasi di youtube.
Ketiga, kasus sebuah masjid di Magelang dirusak orang tak dikenal hingga berkali-kali. Masjid Al Mahfudz, Dusun Krandan, Desa Kebonrejo, Salaman, Kabupaten Magelang dirusak orang tidak dikenal, Sabtu (10/12/2022). Didugaan sementara, pelaku adalah orang dengan gangguan jiwa. Selain menyebar pembalut wanita dan mengacak-acak kitab serta Al Quran, pelaku sempat membakar tirai pembatas antara jamaah shalat laki-laki dan perempuan.
Kejadian diduga terjadi antara pukul 07.00 WIB hingga pukul 09.00 WIB saat situasi kampung sedang sepi. “Indikasinya orang dalam gangguan jiwa. Ibaratnya nggak punya pikiran sampai kayak gitu. Pembalut berceceran. Ada darah haid begitu,” kata Muhammad Ashar (36 tahun), takmir Masjid Al Mahfudz, Minggu (11/12/2022).
Kasus perusakan fasilitas publik di Magelang dan pelakunya diduga orang gila tidak hanya terjadi kali ini saja. Pada tahun 2019, pernah terjadi perusakan nisan salib pada makan Umat Kristen di TPU Giriloyo, Magelang dan pelakunya diidentifikasi seorang orang dengan gangguan jiwa. Benarkah? Pada kasus 2022 ini, meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, kelanjutan kasusnya harus diungkap di publik. Benar atau salahnya bahwa pelaku orang gila, pihak aparat harus menelisik secara detail karena ada peristiwa hukum berupa perusakan masjid yang bisa mengusik kedamaian dan keharmonisan umat beragama.
Keempat, Kasus merebaknya Khilafatul Muslimin di Jateng. Tim Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jateng menangkap 13 aktivis kelompok Khilafatul Muslimin yang beberapa diantaranya menjadi pentolan atau pimpinan wilayah di Jawa Tengah. Sebanyak 13 itu ditangkap di Brebes, Klaten dan Wonogiri. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah Kombes Polisi Djuhandani Raharjo Puro menyatakan 13 aktivis Khilafatul Muslimin yang ditangkap dan telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan makar dan berita bohong.
“Saat kasus ini mencuat dan dari arahan Mabes Polri, kita langsung bergerak dan melakukan pendalaman. Hasilnya, ada 13 orang yang saat ini sudah kita jadikan tersangka,” ungkap Djuhandani di kantornya, Senin (20/6).
Kontak Person: Dr. Ceprudin, MH (Direktur ELSA Semarang) (081393596036)