Oleh: Ahmad Suaedy
Direktur Eksekutif The Wahid Institute
NU kembali ke Civil Society (Masyarakat Sipil) tampaknya menjadi arus utama tawaran para kandidat Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-32, 22-27 Maret lalu di Makassar. Arus ini tampaknya bukan hanya menunjukan bahwa kejenuhan umat NU terhadap perilaku politik praktis para pemimpinnya telah terserap ke dalam pemikiran mereka, tetapi mungkin ini sebuah kebutuhan riil kini dan masa depan. Namun, yang belum didiskusikan dalam internal NU itu sendiri adalah, masyarakat sipil seperti apa yang hendak dibangun? Tulisan ini mencoba urun rembug dalam masalah yang terakhir ini.
B.F. Intan dalam disertasinya (2006) dengan meminjam teori Jose Casanova (1994) menyebut bahwa gerakan keagamaan tahun 1980-90an di Indonesia sebagai Public Religion (Agama Publik). Itu terjadi di antaranya dalam NU yang mengusung kembali ke Khittah 26 sebagai organisasi keagamaan di bawah kepemimpinan Gus Dur. Casanova mendefinisikan Agama Publik sebagai gerakan agama yang kurang lebih berada di tengah-tengah antara doktrin ortodoks sekularisme di mana agama hanya ditempatkan sebagai domain privat dan teokrasi ketika agama menjadi bagian inhern dari kekuasaan politik itu sendiri.
Menurut Casanova, tidak bisa dipungkiri bahwa agama kini kian merangsek ke tengah-tengah masyarakat atau ranah publik dan membawa berbagai isu yang menjadi keprihatinan mereka, seperti kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan. Bahkan isu tentang nasib minoritas pun tidak luput dari concern sejumlah pemimpin agama mayoritas yang notabene berbeda doktrin dengan mereka (Senturk, 2005). Fenomena ini dilihat oleh Casanova sebagai suatu “pemberontakan” terhadap doktrin sekularisme ortodoks tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa agama juga berbahaya jika menjadi bagian inhern dari kekuasaan politik itu sendiri.
Di bawah doktrin Khittah 26 dan kepemimpinan Gus Dur, di tahun 1980-90an, NU menarik diri dari politik praktis yang semula menjadi salah satu faksi dari sebuah partai berideologi Islam, dan kembali ke masyarakat sipil untuk membangun melalui apa yang oleh Gus Dur sendiri disebut strategi sosio-kultural. Yaitu, suatu strategi dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat dan memperkuat kelembagaan masyarakat yang sudah ada dengan tanpa mengubahnya menjadi simbol-simbol Islam, namun tetap mengagendakan perubahan radikal jika diperlukan untuk suatu tatanan yang adil secara universal.
Ia membedakan dari dua strategi lainnya yaitu, strategi kultural yang mencukupkan pada perubahan cara berpikir dan kesadaran tanpa perubahan sosial politik radikal dan strategi sosio-politik yang cenderung pada simbolisasi politik atau Islamisasi struktur politik. Hasilnya justru pencapaian maksimal dengan mengantar Gus Dur sebagai presiden.
Gus Dur melakukan perubahan-perubahan cukup radikal ketika itu di beberapa sektor penting, seperti demiliterisasi dan kesetaraan warga negara tanpa pandang bulu, termasuk minoritas, indigenous people dan kelompok masyarakat yang dalam politik Orde Baru dicap sebagai menanggung “dosa warisan”, petani-PNS, seta perempuan. Di era Suharto, Gus Dur, misalnya, juga melakukan counter discourse dalam interpretasi Pancasila yang oleh Orba digunakan sebagai alat represi dan otoritarian (Ramage, 1993). Bahwa justru karena itu Gus Dur terpental dari kursi presiden, telah memberikan warisan suatu proses awal transformasi radikal yang ditunggu keberlanjutannya.
Strategi ini, sesungguhnya mirip dengan apa yang oleh Antonio Gramsci (dalam Shama dan Gupta 2006: 75-76) disebut sebagai ‘war of position.’ Yaitu, ketika masyarakat belum siap untuk melakukan revolusi maka strategi yang paling baik adalah melakukan penyadaran kepada masyarakat dan membangun jaringan intelektual untuk meraih dukungan moral, kultural, institusional dan intelektual dari masyarakat itu sendiri. Perubahan model ini memang butuh proses panjang dan konsisten, serta terkadang tidak linier. Namun bukan sesuatu yang mustahil.
Lalu modal sosial apakah yang dimiliki oleh NU untuk itu? Mitsuo Nakamura (1980) menyebut NU sebagai gerakan Islam tradisional radikal yang lebih bertumpu pada pemimpin-pemimpin lokal secara tidak terstruktur. Dengan mengamati Muktamar di Semarang 1979, Nakamura menyimpulkan bahwa hanya pemimpin yang patuh pada kemauan para pemimpin daerah atau lokal, maka ia bisa bertahan dan memperoleh simpati. Namun pemimpin daerah yang dimaksud bukanlah pengurus NU, melainkan para patron umat di daerah masing-masing, yaitu para kiai. Para pemimpin formal NU di daerah sesungguhnya hanyalah mediator antara PBNU dan para patron tersebut.
Hingga kini demokrasi di dunia ketiga belum terbukti mengantarkan rakyatnya ke arah keadilan dan kemakmuran. Lihatlah Bangladesh, India, Pakistan, dab Filipina. Indonesia tampaknya sedang menuju ke sana, suatu kesenjangan dan kemiskinan yang tak terjembatani, dimana umat NU berada. Sementara kini NU tampaknya sudah berubah dari berbasis umat melalui para patron kiai ke basis pengurus yang sering berubah menjadi Tim Sukses. Itulah sebabnya NU (baca: pengurus) teralienasi dari umatnya sendiri. Ini pula yang menjelaskan mengapa para politisi gagal meraih dukungan mereka dalam pemilu dan pilkada, karena hanya memperlakukan para kiai layaknya “makanan cepat saji.”
NU kini layak untuk introspeksi dan kembali kepada basis umatnya yang original, suatu bentuk Masyarakat Sipil dengan keunikannya. Pilihan sebagai agama publik tampaknya penting untuk terus diusahakan.