Dipa Nusantara Aidit adalah tokoh penting dalam sejarah republik. Pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) ini sangat antipati terhadap Masyumi. Masyumi, dikatakannya sangat tidak menjunjung toleransi untuk demokrasi. Tapi, laki-laki kelahiran Tanjung Pandan, Belitung ini justru mengagumi Nahdlatul Ulama.

[Semarang –elsaonline.com] 29 September 1955, bangsa Indonesia melaksanakan pemilihan umum (pemilu) pertama dalam sejarah republik. Pemilu paling demokratis. Tujuannya, untuk memilih Majelis Perwakilan Rakyat. Pemilu dilanjutkan pada 15 Desember 1955 untuk memilih Dewan Konstituante.
Tampil sebagai pemenang pemilu, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dengan raihan suara 22,32 %. Disusul Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), 20,92 %, Nahdlatul Ulama (NU), 18,41 % dan Partai Komunis Indonesia 16,36 %. Ada di urutan empat besar, menjadikan PKI sebagai partai komunis terbesar di negara non Komunis.
Keberhasilan itu menjadi buah dari kerja keras semua elemen yang ada di partai “palu arit.” Isu yang populis salah satunya. Yang paling berat tentu saja menghidupkan ruh partai setelah nyaris hancur lebur pasca didera kasus Madiun 1948. Sukses tersebut adalah buah dari keputusan yang mereka tetapkan di 1950. “PKI membangun kembali partai dengan cara yang damai dan bertahap, dan dalam rangka memantapkan sebuah landasan yang kuat bagi pengikut sertia partai,” tulis Peter Edman dalam Komunisme Ala Aidit.
Aidit mengatakan hasil ini sebagai kemenangan kaum demokratis dari blok reaksioner. Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) adalah blok yang disebut Aidit reaksioner. Sementara PKI, PNI, NU dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) disebutnya sebagai kekuatan demokratis.
Adalah hal yang sangat mengejutkan ketika NU tiba-tiba menyeruak masuk tiga besar pemilu. Pimpinan Masyumi bahkan kerapkali melontarkan ejekan terhadap partainya masyarakat muslim tradisionalis ini. “NU diberi julukan “kaum teklek (bakiak”, yang secara pendidikan pendidikan dan budaya tidak memadai untuk ikut dalam kancaah politik gaya modern. Salah seorang pemimpin Masyumi mengatakan NU itu kolot, kuno dan ortodoks, dan tidak mampu mengelola pemerintahan karena kebodohannya,” kata Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama.
Tapi Aidit punya pandangan tajam atas besarnya perolehan suara NU ini. Meski dalam susunan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) merupakan dua partai kecil tetapi di arena pemilihan keduanya tiba-tiba menjadi kekuatan besar. Parlemen sementara merupakan badan yang dibentuk sembari menunggu hasil pemilu. PNI dan Masyumi adalah poros yang mengendalikan parlemen sementara. NU hanya menempatkan 7 wakilnya di sana; Zainul Arifin, A.A Achsien, KHA Wahab Chasbullah, KH. Ilyas, A.S. Bachmid, Idham Chalid dan KH. Adnan.
Bagi Aidit, kemenangan NU yang diluar dugaan banyak orang sebenarnya adalah wajar. Tradisi Islam di Indonesia sudah menjangkar berabad-abad. Tradisi NU juga sama. “Tetapi kemenangan NU tidak hanya karena tradisinya saja,” kata Aidit dalam tulisannya bertajuk Selamatkan dan Konsolidasi Kemenangan Front Persatuan.
Aidit tentu saja paham, bahwa kelompok modernis seperti Masyumi kerapkali mengolok-olok NU. “NU adalah kolot, kurang demokratis atau kurang modern dalam soal-soal keagamaan, hal mana PKI tidak akan mencampurinya. Tetapi yang nyata ialah, bahwa dalam soal-soal politik, terutama pidato-pidato pemimpin-pemimpin NU selama kampanye pemilu DPR yang lalu, NU menunjukan toleransi dan kesediaan mewujudkan demokrasi dan menjalankan politik yang bersifat nasional anti kolonialisme,” Aidit menegaskan.
Kekuatan NU sebagai poros demokrasi juga ditunjukan saat mereka masuk menjadi bagian dari kabinet Ali Sostroamidjojo yang dibentuk 1 Agustus 1953. Tercatat tiga wakil NU ada di sini, Zainul Arifin sebagai wakil dua Perdana Menteri, KH. Masykur (Menteri Agama) dan Mohammad Hanafiah (Menteri Pertanian). Terang saja Aidit memuji peran NU, karena PKI sangat mendukung Kabinet Ali.
Dengan lugas, Aidit menolak pandangan jika keluarnya NU dari Masyumi pada tahun 1952 sebagai perlambang menguatnya konservatisme Islam. Kata Aidit ini tidak benar. Kemauan NU bekerjasama dengan PNI dan PKI di Kabinet Ali justru menunjukan hal sebaliknya.
Keluarnya NU dari Masyumi sering mengundang sinisme dari pimpinan Masyumi. Isa Anshori, salah satunya. Kepada Kiai Wahab Chasbullah, Isa bertanya tentang kesiapan NU menjadi sebuah partai politik. “Kiai, jika NU jadi partai politik, apakah sudah mempersiapkan tokoh-tokoh teremukan untuk menjadi menteri, duta besar, gubernur dan sebagainya? Berapa banyak dokter, pengacara, dan insinyur yang dimiliki NU?’ tanya Isa.
Tanpa berpikir panjang, Kiai Wahab memberikan jawaban cerdas. “Jika saya membeli sebuah mobil baru, penjualnya tidak bertanya: ‘Pak, bapak bisa menyetir?’ Pertanyaan semacam itu tidak perlu karena jika saya tidak bisa menyetir saya dapat memasang iklan di koran ‘Dicari Sopir.’ Tidak bisa diragukan akan segera ada antrian calon di depan pintu saya.”
Dalam soal politik, kata Aidit NU menunjukan semangat yang lebih demokratis ketimbang Masyumi dan PSI. “Sehingga banyaknya pemilih NU merupakan bukti kecenderungan masa Islam kepada demokrasi,” urai Aidit. Karena itu, lanjut Aidit penyesuaian agama Islam dengan sifat khusus Indonesia serta politik anti kolonialisme NU lebih menarika masa Islam daripada modernisme Masyumi di lapangan agama dan penyesuaian politik partai ini dengan kepentingan kapital monopoli asing.
NU oleh Aidit diramalkan akan menjadi partai Islam yang terpenting dan terbesar di Indonesia jika mampu melaksanakan beberapa hal. Pertama, menjalankan politik persatuan anti kolonialisme. Kedua, menjalan politik nasional yang demokratis seperti selama kabinet Ali. Ketiga, NU tegas kepada kelompok teror yang berkedok Islam. [elsa-ol/TKh-@tedikholiludin]