
[Semarang –elsaonline.com] Ketika semua agama dan kepercayaan duduk bersama, mari bicarakan kepentingan universal. Kebaikan-kebaikan personal dan universal harus diselaraskan tanpa membanding-bandingkan perbedaan yang berujung kebencian sehinga muncul konflik horisontal.
Demikian refleksi Ketua Pengelola Pura Agung Giri Natha, Anak Agung Ketut Darmaja pada pembukaan acara live in Pondok Damai, Jumat (25/4). Pondok damai ke delapan ini dilaksanakan di Pura Agung Girinatha Gajahmungkur, Semarang.
“Di Temanggung sudah ada akta kelahiran dan KTP sesuai dengan aliran kepercayaan. Tentu saja ini sebagai bentuk kemajuan. Namun ini tergantung niatan dari kepala daerahnya. Ada kepedulian atau tidak,” tuturnya disela-sela sambutan pembukaan.
Agung, sapaan akrabnya, menyampaikan dirinya merasa sangat bangga dengan adanya komunitas muda yang peduli dengan perdamaian. Pada kesematan itu ia merefleksikan keadaan bangsa ini yang kurang perhatia dengan perdamaian. Dia menilai, hidup di negeri ini, untu hidup tenang dan damai pun sulit.
“Mau hidup damai saja kenapa sulit. Padahal menurut saya damai itu mudah, tapi kenapa realitanya rasa damai sulit di dapat. Kami menilai damai itu lebih penting dari pada mempersoalkan perbedaan. Saya tak suka bicara minoritas dan mayoritas, karena itu istilah buatan perbuatan politisi,” imbuhnya.
Aktifis Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Jawa Tengah (FKDM) Jateng ini menilai, istilah minoritas dan mayorotas agama sengaja dibuat oleh segelintir penguasa untuk membuat kerusuhan. Menurutnya, istilah yang harus digemborkan oleh pejabat seharusnya bersifat kemanusiaan (humanisme) dan kebebasan (freedom).
”Kejadian-kejadian berupa kekerasan di masa lalu semoga tak terulang kembali. Saya berharap pegiat-pegiat pondok damai ini bisa menjadi penebar benih-benih damai dari generasi muda. Dengan begitu, hidup damaia dan tenang khususnya warga Semarang bisa tercipta,” tandasnya.
Sejak 2007
Sebagai informasi, komunitas pondok damai di Semarang merupakan kumpulan anak-anak muda dari berbagai agama dan kepercayaan. Dalam komunitas ini tak mengenal kasta berdasarkan agama. Tak ada istilah agama yang diakui negara dan tidak diakui oleh negara, semua sama.
Komunitas pondok damai Semarang telah berdiri sejak tahun 2007 lalu. Berawal dari ide seorang pemuda Kristen, Rony Chandra Kristanto. Ia mulai melaksanakan kegiatan ini sejak 2007. Satu waktu Rony menemukan buku terbitan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang di toko buku Gramedia.
Rony, sapaan akrabnya, menemukan buku berjudul “Dekonstruksi Islam Madzhad Ngaliyan” yang ditulis oleh aktifis-aktifis eLSA. Karena penasaran, lelaki 30 tahun lebih yang baru menikah setahun lalu ini menghubungi penerbit, eLSA melalui surat elektronik.
Setelah email diterima, kemudian Direktur eLSA Semarang Tedi Kholiludin bertemu dengan Rony yang kemudian mengenalkan tentang kegiatan pondok damai di Semarang dan mengajakserta Tedi serta teman-temannya di eLSA untuk terlibat di Pondok Damai. Sejak dilaksanakan kali pertama di tahun 2007, komunitas ini rutin setiap tahun hingga 2014 ini, mengadakan live in pondok damai dengan peserta semua agama dan kepercayaan.
Dihubungi terpisah, Tedi Kholiludin menyampaikan, berdirinya komunitas pondok damai murni karena anak-anak muda Semarang ingin menciptakan hidup damai dan tenang. Menurutnya, semua individu wajib terjamin keamanan dan ketenangannya dalam memilih agama dan keyakinan. “Mereka berharap damai melalui Pondok Damai,” kata Tedi.
“Sejak awal semangat kami adalah untuk menciptakan perdamaian antar agama dan keyakinan. Sejak 2007 lalu, saya setelah dihubungi Rony kemudian mengajak teman dari Katolik, Lukas Awi Kristanto untuk memperkuat pondok damai ini. Kami bersyukur hingga sekarang sudah ada delapan generasi,” tuturnya.
Tedi menyampaikan, semangat yang dibangun oleh anak-anak muda Semarang ini sangat luar biasa. Dia merasa bangga dengan generasi-generasi pondok damai yang tak mengenal lelah untuk terus intens menjalin komunikasi dan melakukan regenerasi setiap tahunnya.
”Awalnya kami khawatir tak ada yang berminat. Karena setiap mengadakan live in, kami mintai kontribusi untuk konsumsi dan akomodasi selama tiga hari acara sebesar Rp 50 ribu. Semua peserta iuran dan karena semangat mereka tinggi, peserta tak merasa terbebani,” ujarnya. [elsa-ol/Cep-@Ceprudin]